Jumat, 07 September 2012

Kemana Arah Listrik Kita?


Kemana Arah Listrik Kita?
Dewi Aryani ; Anggota Fraksi PDI Perjuangan; Ketua PP ISNU     
SINDO, 07 September 2012


Rencana kenaikan tarif tenaga listrik (TTL) yang diusulkan pemerintah melalui Rencana APBN 2013 saat ini menjadi sorotan banyak pihak. Usulan kenaikan tarif listrik yang direncanakan akan dilakukan secara otomatis per tiga bulan ini dinilai belum memperhatikan banyak aspek dalam masyarakat,salah satunya aspek sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. 

Jika rencana kenaikan tarif listrik ini benar terjadi, tentu akan semakin menambah himpitan ekonomi bagi lebih dari 29,13 juta masyarakat Indonesia yang saat ini masih berada dalam kemiskinan. Selain itu, rencana kenaikan ini seharusnya sudah diperkirakan eksternalitasnya, khususnya bagi industri kecil dan menengah yang sangat menggantungkan aktivitas produksi mereka pada listrik.

Pemerintah harusnya memperhitungkan apakah rencana kenaikan listrik ini akan menurunkan produksi industri kecil dan menengah Indonesia yang saat ini berada di tengah terpaan barang impor yang harganya lebih murah dan semakin menyerbu pasar Indonesia. Di antara alasan pemerintah merencanakan kenaikan tarif listrik ini adalah dalam rangka mengurangi anggaran subsidi energi RAPBN 2013 yang salah satunya diperuntukkan bagi subsidi listrik, yaitu sekitar Rp80,9 triliun.

Pemerintah berdalih bahwa jika anggaran subsidi listrik dapat ditekan,anggaran tersebut dapat dialokasikan bagi biaya pembangunan lainnya. Selain itu, peningkatan tarif listrik juga diharapkan dapat meningkatkan kinerja PLN dan rasio elektrifikasi Indonesia. Alih-alih berencana menaikkan tarif listrik, harusnya pemerintah justru mengevaluasi kinerja PLN dan kualitas pelayanan yang dihasilkan.

Rasio elektrifikasi Indonesia yang hanya 74,3% jauh tertinggal dari negara-negara di kawasan seperti Singapura (100%), Brunei Darussalam (99,7%), Malaysia (99,4%), Thailand (99%),Vietnam 97,6%,dan bahkan Filipina (89,7%). Listrik pun masih sering byar-pet. Pemerintah harusnya malu, dengan kualitas manajemen kelistrikan yang masih tergolong karut-marut seperti sekarang ini, pemerintah kembali menengadahkan tangannya kepada masyarakat untuk membantu menyelesaikan persoalan yang menjadi tanggung jawabnya.

Memilih Solusi 

Rencana kenaikan tarif listrik ini sesungguhnya bukan menjadi solusi utama dan satusatunya solusi untuk menyelesaikan beberapa masalah kelistrikan. Ada beberapa solusi lain bagi pemerintah dan PLN yang dapat dilakukan. Pertama,pemerintah secara konstan dan berkesinambungan harus mengusahakan penggunaan batu bara dan BBG sebagai pengganti BBM bagi pembangkit listrik.

Penggunaan batu bara dan BBG ini akan menurunkan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik yang sebelumnya Rp3.500 per KWh dengan BBM menjadi hanya Rp600- Rp700 per KWh dengan batu bara dan BBG (Komaidi Notonegoro,okezone.com). Kedua, untuk menunjang proses substitusi BBM dengan energi alternatif lainnya, perlu dilakukan audit teknologi terhadap pembangkit listrik yang berbasis BBM menjadi pembangkit listrik yang berbasis gas dan batubara.

Dengan cadangan energi dari gas dan batu bara yang lebih melimpah dibandingkan dengan minyak, langkah ini akan semakin menjaga kontinuitas PLN dalam menyediakan listrik bagi negara. Ketiga, pemerintah harus mulai memaksimalkan penggunaan energi alternatif lain yang sumber dayanya tersebar di berbagai daerah di Indonesia seperti panas bumi, air, angin, surya, bahkan energi dari gelombang laut.

Potensi berbagai energi tersebut sangat besar, tetapi sayang pemanfaatannya masih sangat minim. Keempat, karena berbagai sumber energi alternatif tersebut tersebar di berbagai daerah dan penyebarannya relatif tidak merata, yang harus dilakukan pemerintah adalah melokalisasi berbagai sumber energi tersebut untuk memproduksi listrik setempat.

Sebagai contoh, suatu daerah yang memiliki potensi air terjun yang besar, seharusnya yang dibangun adalah pembangkit listrik tenaga air, bukan justru memindahkan BBM ke daerah tersebut dan membangun pembangkit listrik yang berbahan bakar minyak. Kelima, efisiensi penggunaan energi. Gerakan efisiensi penggunaan energi ini jangan hanya sekadar jargon dan himbauan semata.

Pemerintah harus mampu menciptakan kebijakan yang mendorong kesadaran masyarakat untuk juga melakukan efisiensi energi, khususnya listrik. Efisiensi energi ini sebenarnya tidak hanya dapat dilakukan di hilir, tapi juga di hulu, yaitu dengan menggunakan teknologi yang efisien energi dan ramah lingkungan bagi pembangkit listrik yang ada.

Pilihan Terakhir 

Dengan beberapa langkah yang disebutkan di atas, rencana kenaikan tarif listrik seharusnya menjadi kebijakan terakhir untuk diambil pemerintah. Hal ini sesuai dengan definisi kebijakan publik yang disampaikan Lemieux bahwa kebijakan publik diartikan sebagai “the product of activities aimed at the resolution of public problems in the environment by political actors whose relationships are structured.The entire process evolves over time”.

Jika kenaikan tarif listrik justru menciptakan permasalahan publik yang baru, pemerintah seharusnya tidak memilihnya sebagai prioritas kebijakan yang ada. Terlepas dari berbagai solusi yang telah disebutkan di atas, peran PLN sebagai BUMN yang mengelola listrik dari hulu hingga ke hilir tentunya tidak boleh dilupakan. Pertanyaannya kemudian, apakah saat ini monopoli PLN terhadap penyelenggaraan listrik Indonesia telah efektif? Jawabannya tentu sangat relatif.

Namun tentu jika melihat PLN sebagai organisasi publik dengan struktur yang besar, efektivitas harus ditempatkan sejajar dengan efisiensi. PLN harus menciptakan manajemen yang efisien sehingga peran monopolinya menjadi efektif. Oleh karenanya, ide untuk melakukan resizing PLN juga perlu dipertimbangkan pemerintah. Apakah peran PLN sebagai BUMN yang memonopoli penyelenggaraan listrik Indonesia harus tetap dipertahankan?

Hal ini kembali harus dikaji ulang karena terkait erat dengan kontrol, khususnya external control yang sejauh ini dapat dikatakan kurang. Pada akhirnya, kita semua harus kembali merujuk pada konstitusi negara kita, khususnya Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”; serta “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Konstitusi negara kita telah mengatur bahwa listrik, sebagai salah satu dari barang publik yang dikuasai oleh pemerintah harus menjadi hak seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Jangan sampai rencana kenaikan ini dirasa sepihak oleh masyarakat karena masyarakat merasa tidak memiliki pengetahuan atas pertimbangan yang digunakan Pemerintah untuk memutuskan kenaikan itu sendiri. Dengan keselarasan antara pemerintah, PLN, DPR, dan masyarakat, cita-cita listrik bagi pembangunan tentu tidak hanya akan menjadi sebuah slogan belaka, tetapi akan menjadi realita bagi masa depan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar