Senin, 03 September 2012

Jejak Syiah di Nusantara (1)


Jejak Syiah di Nusantara (1)
Muslich Shabir ;  Guru Besar Fakultas Syariah
dan Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang
SUARA MERDEKA , 03 September 2012


SECARA sederhana bisa dikatakan saat ini terdapat dua kelompok utama dalam kalangan umat Islam, yakni Sunni (lengkapnya ahlus sunnah wal jamaah) yang merupakan mayoritas, dan Syiah (Syi’ah), minoritas. Kemunculan Syiah berawal dari masalah politik terkait dengan siapa yang paling berhak menggantikan kedudukan Nabi Muhammad saw sebagai pemimpin umat atau ’’kepala negara’’.

Kelompok Sunni tak pernah menentukan siapa yang harus menggantikannya karena umat Islam telah diberi kewenangan dan kekuasaan menunjuk salah seorang yang menjadi pemimpin mereka. Pemilihan empat khalifah pertama dalam Islam, al-khulafa ar-rasyidun (Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib), meskipun dalam bentuk berbeda-beda, dilaksanakan atas dasar pemilihan umat.

Di samping kelompok Sunni yang berpendirian seperti itu, ada kelompok kecil yang memiliki pendapat berbeda. Kelompok ini berpendapat bahwa sebelum wafat, Beliau telah menentukan penggantinya, yakni Ali bin Abu Thalib, sepupu sekaligus menantu (suami dari Fathimah, putri Rasulullah). Kelompok inilah yang dikenal dengan nama Syiah, lengkapnya Syi’atu Ali yang berarti ’’Partai Ali’’.

Kelompok ini berkeyakinan penunjukan Ali terjadi ketika Nabi saw dalam perjalanan pulang dari ibadah haji wada’ pada 18 Zulhijah tahun 11 Hijriah (tahun 632 Masehi) di suatu tempat bernama Ghadir Khumm, dekat Juhfah, jalan antara Makkah dan Madinah.

Dengan demikian, golongan Syiah berkesimpulan pengangkatan ketiga khalifah sebelum Ali bin Abu Thalib tidak sah, bahkan ketiganya dituduh merampas hak Ali. Masalah imamah inilah yang menjadi salah satu sumber ’’perpecahan’’ antara Sunni dan Syiah. Kendati awalnya perbedaan itu menyangkut politik kekuasaan, dalam perkembangannya mengait keagamaan. Misalnya rukun iman, bila di kalangan Sunni ada 6, yakni iman kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir, dan qadar maka di Syiah hanya 5, yakni tauhid (keesaan Allah), nubuwwah (kenabian), ma’ad (hari kiamat), imamah (kepemimpinan), dan keadilan.  

Perbedaan yang cukup mencolok adalah tentang nikah mut’ah. Perkawinan jenis ini pernah dilakukan semasa Rasulullah dan khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq khususnya dalam keadaan perang dan para sahabat yang berjihad itu tidak membawa istri-istrinya. Untuk menjaga kehormatan supaya tidak terjatuh dalam zina maka Rasulullah mengizinkan mereka melakukannya.

Menurut Syiah, pada masa khalifah Umar bin Khattab, nikah mut’ah dilarang dengan alasan untuk menghindari penyalahgunaan sehingga mereka sangat menyayangkan pelarangan itu. Di sisi lain, golongan Sunni mengharamkan mut’ah dan berpendapat bahwa larangan itu sudah ada pada masa Rasulullah saw, bukan pada masa Umar bin Khattab.

Sejarah Islam mencatat bahwa ketika dinasti Bani Umayah berkuasa, dalam setiap khutbah diselipkan ’’pelaknatan’’ terhadap Ali bin Abu Thalib. Bisa dimaklumi karena pendiri dinasti ini, yakni Mu’awiyah bin Abu Sufyan adalah musuh bebuyutan Ali. Kebencian dinasti ini terhadap Ali dan keturunannya (dikenal dengan ahlul bait) tidak hanya dalam kata-kata tetapi juga tindakan.

Terbukti dengan dibunuhnya Husein putra Ali (cucu kesayangan Nabi saw) di Karbala pada masa pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah. Dengan adanya perlakuan yang tidak menyenangkan ini, ahlul bait para pengikutnya yang kebanyakan berpaham Syiah mengungsi ke Persia, India, China, Asia Tengah, Afrika, bahkan ada yang ke Nusantara.

Masuk Indonesia

Berkait masuk dan berkembangnya Syiah di Nusantara dari perspektif sejarah masih menjadi hal kontroversial. Kerajaan pertama Islam di Nusantara, yakni Kerajaan Peureulak (Perlak) yang konon didirikan tahun 845 M oleh pelaut-pedagang muslim asal Persia, Arab, dan Gujarat. Mereka kemudian mengangkat Sayid Maulana Abdul Aziz Syah yang berpaham Syiah sebagai sultan. Karenanya paham Syiah menyebar di Kesultanan Peureulak dan sekitarnya namun paham Syiah mendapat perlawanan dari penganut paham Sunni. Pada masa kekuasaan Sultan Syi’ah yang ketiga yakni Alauddin Sayid Maulana Abbas (memerintah 888-913), golongan Sunni memberontak sampai dua tahun sebelum berhasil ditindas penguasa Syiah.

Pemberontakan golongan Sunni kembali muncul pada akhir masa Sultan Alauddin Maulana Ali Mughayat Syah (memerintah 915-918) yang berhasil menumbangkan kekuasaan sultan yang Syiah ini, dan kemudian membentuk kekuasaan Sunni dengan Sultan Makhdum Alauddin Abdul Qadir Syah Johan Berdaulat (memerintah 918-922) sebagai penguasa.

Pada masa pemerintahan Sultan Makhdum (memerintah 946-973), golongan Syiah memberontak selama empat tahun, dan akhirnya ada kompromi; Kerajaan Peureulak dipecah dua. Peureulak Pesisir dikuasai Syiah dengan sultannya Alauddin Sayid Maulana Mahmud Syah dan Peureulak Pedalaman dikuasai Sunni dengan sultannya Makhdum Alauddin Malik Ibrahim Syah. Tidak lama kemudian, Sultan Peureulak Pesisir yang Syiah tewas ketika Kerajaan Sriwijaya menyerang Peureulak sehingga akhirnya sultan yang berpaham Sunni itulah menguasai seluruh Peureulak.

Meskipun sultan yang berpaham Syiah itu sudah tidak eksis, paham Syiah sudah terlanjur berkembang di Nusantara. Paham yang sudah diyakini kebenarannya oleh para pengikutnya sulit untuk lenyap dari permukaan bumi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar