Jumat, 14 September 2012

Energi (Bukan) Modal Pembangunan


Energi (Bukan) Modal Pembangunan
Eddy Purwanto ;  Mantan Deputi BP Migas
KOMPAS, 14 September 2012


Dewan Energi Nasional sampai kini belum juga memastikan skema payung hukum Rancangan Kebijakan Energi Nasional, apakah berbentuk peraturan presiden, peraturan pemerintah, atau bahkan undang-undang. Yang sudah pasti, Dewan Energi Nasional (DEN) akan segera mengajukan Rancangan Kebijakan Energi Nasional (KEN) kepada DPR untuk dibahas dan disiapkan regulasinya. Selepas payung hukum ditetapkan, langkah berikutnya menggodok Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang akan menjadi petunjuk teknis pelaksanaan kebijakan nasional di bidang energi.

DEN yang diketuai oleh presiden telah menyiapkan rancangan KEN berdasarkan perubahan paradigma pengelolaan energi nasional. Paradigma baru yang diangkat di dalam KEN adalah menetapkan energi sebagai ”modal pembangunan nasional”. Paradigma sebelumnya, energi hanya dipandang sebagai komoditas ekspor atau sumber penerimaan negara. Rancangan KEN akan jadi pedoman dalam pengelolaan energi nasional untuk mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi serta mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan.

Seandainya benar paradigma KEN yang baru adalah energi sebagai modal pembangunan nasional, tampaknya DEN perlu lebih bijak dan waspada karena kelak seluruh kebijakan yang akan disusun harus sejalan dengan paradigma yang sudah ditetapkan. Paradigma energi selaku modal pembangunan mengingatkan kita pada masa Orde Baru di mana migas masih mendominasi sumber penerimaan negara. Kontribusi migas dalam APBN pernah melebihi 70 persen. Indonesia masih jadi negara eksportir neto minyak karena produksi masih di atas 1 juta barrel per hari, konsumsi BBM dalam negeri belum setinggi sekarang. Orde Baru berhasil memanfaatkan migas sebagai tulang punggung perekonomian negara sekaligus modal pembangunan nasional melalui program Trilogi Pembangunan (Stabilitas, Pertumbuhan, dan Pemerataan) sehingga wajar bila Soeharto kemudian dianugerahi gelar Bapak Pembangunan Nasional.

Pada era Reformasi, perlukah DEN mengulang ”sukses” Orde Baru dengan menjadikan energi modal pembangunan nasional? Akibat minyak dipandang sebagai modal pembangunan, cadangan minyak hingga kini telah terkuras sedikitnya 22,3 miliar barrel sehingga cadangan terbukti yang tersisa tinggal 3,9 miliar barrel. Sementara konsumsi BBM terus melonjak, bahkan impor minyak mentah dan BBM telah melebihi dua kali lifting (minyak siap jual) bagian negara. Diperkirakan dalam dua dasawarsa mendatang bauran energi fosil khususnya migas masih di atas 50 persen.

Jangan Diulang Lagi

Sejatinya modal adalah aset yang diharapkan tidak akan habis bahkan diupayakan terus berkembang. Kekeliruan Orde Baru hingga kini adalah seluruh penerimaan dari SDA yang tak terbarukan, khususnya migas, langsung disetor ke APBN sehingga menggerus modal bangsa. Penerimaan migas seyogianya jadi ”modal pembangunan bangsa” dalam arti yang sebenarnya. Idealnya sebelum disetor bulat-bulat ke APBN dikembangkan terlebih dulu melalui instrumen atau wadah khusus, kemudian hasil atau keuntungan pengembangan dana boleh disetor dan diperlakukan sebagai pendapatan di RAPBN.

Sayangnya, sejak rezim Orde Baru Indonesia menganut sistem APBN defisit. Kondisi ini yang memaksa pemerintah dengan restu DPR mempraktikkan penggerusan ”modal bangsa” secara sistemik khususnya migas selaku kekayaan alam tak terbarukan.

Apabila DEN dalam paradigma baru KEN menjadikan energi, khususnya migas sebagai ”modal pembangunan”, identik dengan memanfaatkan hasil penerimaan migas sebagai modal atau belanja pembangunan dalam APBN. Dengan demikian, DEN akan dipandang turut melegalkan praktik penggerusan modal bangsa yang setiap tahun dikukuhkan DPR lewat UU APBN.

Kompensasi Energi Fosil

UUD 1945 mengamanatkan kekayaan alam digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Rakyat yang dimaksud para pendiri Republik tentunya bukan hanya generasi zaman DEN sekarang, tetapi juga generasi mendatang yang sama-sama punya hak atas sumber daya alam, terutama yang tidak terbarukan.

Setiap generasi memikul tanggung jawab untuk memperpanjang masa manfaat kekayaan alam selama mungkin sehingga generasi berikutnya turut menikmati haknya. Namun, dengan praktik APBN yang berlaku saat ini, diyakini kekayaan alam yang tidak terbarukan, terutama migas, akan terkuras dalam waktu tak terlalu lama. DEN perlu memikirkan bentuk kompensasi untuk menjamin keberlanjutan asas manfaat migas bagi generasi anak-cucu dan menghindari sinyalemen bahwa APBN kita inkonstitusional.

Status cadangan minyak terbukti Indonesia hanya tinggal 3,9 miliar barrel, sedangkan indeks Laju penggantian cadangan dalam lima tahun terakhir jatuh di bawah angka satu, artinya akumulasi penemuan cadangan baru tak mampu mengimbangi laju produksi minyak sehingga produksi cenderung menurun terus.

DEN harus merancang bentuk ”kompensasi” atas penggerusan modal bangsa khususnya cadangan migas. Indonesia wajib menyisihkan sebagian porsi hasil kegiatan hulu migas jadi ”dana abadi migas nasional” dengan tujuan utama memperpanjang masa manfaat keberadaan migas, menjaga keberlanjutan sektor hulu migas, mempertahankan nilai riil kekayaan migas, dan menjamin kesinambungan asas manfaat migas bagi generasi mendatang.

Memang berat bagi pemerintah jika seluruh penerimaan migas tak langsung diperlakukan sebagai pendapatan karena dipastikan defisit akan membengkak sehingga Indonesia sulit bernapas. Sebagai gambaran dalam APBN-P 2012 defisit akan mencapai Rp 190,1 triliun kendati seluruh penerimaan migas sudah dimasukkan sebagai pendapatan negara sehingga perlu instrumen lain dalam bentuk ”pembiayaan” meliputi pinjaman luar negeri, privatisasi, penerbitan surat utang, dan sebagainya.

Apabila seluruh penerimaan migas tiba-tiba ditarik dari sektor pendapatan APBN, defisit akan sangat membengkak sehingga akan mengundang krisis baru yang akan mengantar Indonesia menjadi ”negara gagal”. Dengan demikian, ”kompensasi” atas pengurasan kekayaan migas tak harus seluruh penerimaan negara, tetapi cukup sejumlah persentase tertentu yang disetor dalam akun khusus yang dikelola dan dikembangkan oleh lembaga independen sehingga diharapkan tidak mengganggu APBN bahkan kelak akan meringankan APBN.

Dana ”kompensasi” sangat bermanfaat untuk mengundang investor melalui pembiayaan akuisisi data kebumian yang lebih lengkap. Selama ini kampanye eksplorasi kurang bergema, dan diyakini salah satu penyebabnya adalah minimnya data geologi dan geofisika yang matang dan bermutu khususnya di Indonesia Timur dan kawasan perbatasan pada mana masa depan migas Indonesia dipertaruhkan.

Dalam rancangan KEN ditetapkan target bauran energi primer khususnya porsi energi baru dan terbarukan (EBT) pada 2025 sebesar 25 persen dan pada 2050 menjadi 40 persen, target ini wajib dicapai oleh siapa pun yang akan memegang tampuk pemerintahan. Energi EBT inilah sejatinya energi hijau yang dapat dijadikan modal pembangunan bangsa karena tidak menggerus aset sumber daya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar