Energi (Bukan) Modal Pembangunan
Eddy Purwanto ; Mantan
Deputi BP Migas
|
KOMPAS,
14 September 2012
Dewan Energi Nasional sampai
kini belum juga memastikan skema payung hukum Rancangan Kebijakan Energi
Nasional, apakah berbentuk peraturan presiden, peraturan pemerintah, atau
bahkan undang-undang. Yang sudah pasti, Dewan
Energi Nasional (DEN) akan segera mengajukan Rancangan Kebijakan Energi
Nasional (KEN) kepada DPR untuk dibahas dan disiapkan regulasinya. Selepas
payung hukum ditetapkan, langkah berikutnya menggodok Rencana Umum Energi
Nasional (RUEN) yang akan menjadi petunjuk teknis pelaksanaan kebijakan
nasional di bidang energi.
DEN yang diketuai oleh
presiden telah menyiapkan rancangan KEN berdasarkan perubahan paradigma
pengelolaan energi nasional. Paradigma baru yang diangkat di dalam KEN adalah
menetapkan energi sebagai ”modal pembangunan nasional”. Paradigma sebelumnya,
energi hanya dipandang sebagai komoditas ekspor atau sumber penerimaan negara.
Rancangan KEN akan jadi pedoman dalam pengelolaan energi nasional untuk
mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi serta mendukung pembangunan
nasional yang berkelanjutan.
Seandainya benar paradigma
KEN yang baru adalah energi sebagai modal pembangunan nasional, tampaknya DEN
perlu lebih bijak dan waspada karena kelak seluruh kebijakan yang akan disusun
harus sejalan dengan paradigma yang sudah ditetapkan. Paradigma energi selaku
modal pembangunan mengingatkan kita pada masa Orde Baru di mana migas masih
mendominasi sumber penerimaan negara. Kontribusi migas dalam APBN pernah
melebihi 70 persen. Indonesia masih jadi negara eksportir neto minyak karena
produksi masih di atas 1 juta barrel per hari, konsumsi BBM dalam negeri belum
setinggi sekarang. Orde Baru berhasil memanfaatkan migas sebagai tulang
punggung perekonomian negara sekaligus modal pembangunan nasional melalui
program Trilogi Pembangunan (Stabilitas, Pertumbuhan, dan Pemerataan) sehingga
wajar bila Soeharto kemudian dianugerahi gelar Bapak Pembangunan Nasional.
Pada era Reformasi, perlukah
DEN mengulang ”sukses” Orde Baru dengan menjadikan energi modal pembangunan
nasional? Akibat minyak dipandang sebagai modal pembangunan, cadangan minyak
hingga kini telah terkuras sedikitnya 22,3 miliar barrel sehingga cadangan
terbukti yang tersisa tinggal 3,9 miliar barrel. Sementara konsumsi BBM terus
melonjak, bahkan impor minyak mentah dan BBM telah melebihi dua kali lifting
(minyak siap jual) bagian negara. Diperkirakan dalam dua dasawarsa mendatang
bauran energi fosil khususnya migas masih di atas 50 persen.
Jangan Diulang Lagi
Sejatinya modal adalah aset
yang diharapkan tidak akan habis bahkan diupayakan terus berkembang. Kekeliruan
Orde Baru hingga kini adalah seluruh penerimaan dari SDA yang tak terbarukan,
khususnya migas, langsung disetor ke APBN sehingga menggerus modal bangsa.
Penerimaan migas seyogianya jadi ”modal pembangunan bangsa” dalam arti yang
sebenarnya. Idealnya sebelum disetor bulat-bulat ke APBN dikembangkan terlebih
dulu melalui instrumen atau wadah khusus, kemudian hasil atau keuntungan
pengembangan dana boleh disetor dan diperlakukan sebagai pendapatan di RAPBN.
Sayangnya, sejak rezim Orde
Baru Indonesia menganut sistem APBN defisit. Kondisi ini yang memaksa
pemerintah dengan restu DPR mempraktikkan penggerusan ”modal bangsa” secara
sistemik khususnya migas selaku kekayaan alam tak terbarukan.
Apabila DEN dalam paradigma
baru KEN menjadikan energi, khususnya migas sebagai ”modal pembangunan”,
identik dengan memanfaatkan hasil penerimaan migas sebagai modal atau belanja
pembangunan dalam APBN. Dengan demikian, DEN akan dipandang turut melegalkan
praktik penggerusan modal bangsa yang setiap tahun dikukuhkan DPR lewat UU
APBN.
Kompensasi Energi Fosil
UUD 1945 mengamanatkan kekayaan
alam digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Rakyat yang dimaksud para
pendiri Republik tentunya bukan hanya generasi zaman DEN sekarang, tetapi juga
generasi mendatang yang sama-sama punya hak atas sumber daya alam, terutama
yang tidak terbarukan.
Setiap generasi memikul
tanggung jawab untuk memperpanjang masa manfaat kekayaan alam selama mungkin
sehingga generasi berikutnya turut menikmati haknya. Namun, dengan praktik APBN
yang berlaku saat ini, diyakini kekayaan alam yang tidak terbarukan, terutama
migas, akan terkuras dalam waktu tak terlalu lama. DEN perlu memikirkan bentuk
kompensasi untuk menjamin keberlanjutan asas manfaat migas bagi generasi
anak-cucu dan menghindari sinyalemen bahwa APBN kita inkonstitusional.
Status cadangan minyak
terbukti Indonesia hanya tinggal 3,9 miliar barrel, sedangkan indeks Laju
penggantian cadangan dalam lima tahun terakhir jatuh di bawah angka satu,
artinya akumulasi penemuan cadangan baru
tak mampu mengimbangi laju produksi minyak sehingga produksi cenderung menurun
terus.
DEN harus merancang bentuk
”kompensasi” atas penggerusan modal bangsa khususnya cadangan migas. Indonesia
wajib menyisihkan sebagian porsi hasil kegiatan hulu migas jadi ”dana abadi
migas nasional” dengan tujuan utama memperpanjang masa manfaat keberadaan
migas, menjaga keberlanjutan sektor hulu migas, mempertahankan nilai riil
kekayaan migas, dan menjamin kesinambungan asas manfaat migas bagi generasi
mendatang.
Memang berat bagi pemerintah
jika seluruh penerimaan migas tak langsung diperlakukan sebagai pendapatan
karena dipastikan defisit akan membengkak sehingga Indonesia sulit bernapas.
Sebagai gambaran dalam APBN-P 2012 defisit akan mencapai Rp 190,1 triliun
kendati seluruh penerimaan migas sudah dimasukkan sebagai pendapatan negara
sehingga perlu instrumen lain dalam bentuk ”pembiayaan” meliputi pinjaman luar
negeri, privatisasi, penerbitan surat utang, dan sebagainya.
Apabila seluruh penerimaan
migas tiba-tiba ditarik dari sektor pendapatan APBN, defisit akan sangat
membengkak sehingga akan mengundang krisis baru yang akan mengantar Indonesia
menjadi ”negara gagal”. Dengan demikian, ”kompensasi” atas pengurasan kekayaan
migas tak harus seluruh penerimaan negara, tetapi cukup sejumlah persentase
tertentu yang disetor dalam akun khusus yang dikelola dan dikembangkan oleh
lembaga independen sehingga diharapkan tidak mengganggu APBN bahkan kelak akan
meringankan APBN.
Dana ”kompensasi” sangat
bermanfaat untuk mengundang investor melalui pembiayaan akuisisi data kebumian
yang lebih lengkap. Selama ini kampanye eksplorasi kurang bergema, dan diyakini
salah satu penyebabnya adalah minimnya data geologi dan geofisika yang matang
dan bermutu khususnya di Indonesia Timur dan kawasan perbatasan pada mana masa
depan migas Indonesia dipertaruhkan.
Dalam rancangan KEN
ditetapkan target bauran energi primer khususnya porsi energi baru dan
terbarukan (EBT) pada 2025 sebesar 25 persen dan pada 2050 menjadi 40 persen,
target ini wajib dicapai oleh siapa pun yang akan memegang tampuk pemerintahan.
Energi EBT inilah sejatinya energi hijau yang dapat dijadikan modal pembangunan
bangsa karena tidak menggerus aset sumber daya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar