BUMN Pangan
untuk Pemerdekaan
Agus Pakpahan ; Ekonom Kelembagaan dan Sumber Daya Alam
|
KORAN
TEMPO, 10 September 2012
"Apa pendapat Anda tentang
rencana pembentukan BUMN pangan sebagaimana yang sering kita dengar akhir-akhir
ini?" Seorang kawan lama yang biasanya kritis bertanya kepada saya.
Kemudian dengan panjang-lebar ia menjelaskan soal kekayaan pengalaman Indonesia
dalam mengembangkan sistem ketahanan pangan nasional, mulai Bulog, Bimas,
Inmas, hingga KUD. Pada saat menjelaskan PT Pertani, ia berhenti sejenak,
kemudian ia bertanya: "Ke mana, ya, segala kejayaan PT Pertani pada era
1970-an?" Ia juga bergumam, "Sang Hyang Seri juga kurang banyak
terlihat sekarang, kalah pamor dengan Pioneer." Bulog, ia mengatakan,
lebih baik dijadikan LPND kembali saja: "Isinya kan LPND, ganti baju
Perum, ya, enggak bisa, manusianya sama, isinya tetap."
Moral kepemimpinan Menteri BUMN
Dahlan Iskan kelihatannya mengedepankan moral bahwa tidak ada yang tidak
mungkin? semua bisa! Saya pikir ini suatu semangat yang bagus, seperti semangat
Bung Karno sewaktu menyatakan pendapat bahwa merdeka dulu, barulah nanti kita
persiapkan segalanya, karena kemerdekaan adalah gerbang emas untuk mencapai
Indonesia adil-makmur.
Kenyataan yang perlu
dipertimbangkan adalah diperlukannya BUMN pangan yang memiliki sifat dan sikap
serta kapabilitas yang mampu mengantisipasi dan menginternalkan masa depan
melalui perubahan nilai yang mendasar yang melandasi perubahan perilaku yang
mendasar pula pada saat sekarang. Dengan demikian, apakah perubahan struktur
merupakan instrumen strategis utama untuk membangun kinerja baru?
Saya tidak
mengatakan perubahan struktur tidak penting. Tapi ada hal lain yang dapat
dipandang sebagai the first cause of
changes, yaitu perubahan paham atau paradigma.
Sebetulnya, yang paling berat
buat saya adalah perasaan dan pikiran saya saat membaca bahwa BUMN pangan yang
akan dibentuk ini akan membangun sawah 100 ribu hektare. Sepertinya BUMN pangan
ini akan berlomba dengan perusahaan swasta, nasional, atau multinasional, untuk
mencari lahan dan membangunnya sebagai basis usaha baru untuk mendukung
ketahanan pangan.
Terus terang saya tidak
sependapat dengan paham bahwa perusahaan besar layak menguasai lahan yang
mahaluas. Indonesia ini sudah kekurangan lahan untuk para petani. Andaikan saya
ditanya: "Apa yang akan Anda lakukan untuk membangun ketahanan pangan pada
saat lahan sudah tidak ada lagi?" Jawaban saya: "Maka, akan saya
'beli' kembali lahan-lahan yang haknya sudah terkonversi menjadi lahan-lahan
milik perusahaan besar dan akan saya 'jual' kepada para petani. Saya akan
meniru Abraham Lincoln dengan Homestead
Act 1862 untuk Indonesia. Hasil 'penjualan' lahan eks-HGU kepada petani
akan memberikan penerimaan negara yang lebih besar daripada nilai BPHTB HGU
yang besarnya hanya 5 persen dari NJOP. Hasilnya akan saya gunakan buat
membangun infrastruktur dan institusi sosial-ekonomi pedesaan di mana lahan
tersebut berada. Inilah prinsip demokrasi: dari rakyat, oleh rakyat, untuk
rakyat, demi NKRI yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur."
"Lha, nanti dijual lagi
kalau petani memilikinya," kata teman saya tadi. "Lha, kalau dimiliki
perusahaan, apa tidak akan dijual lagi, tidak akan dikonversi lagi?"
Tidak, Bung! BSD, Sentul, dan lain-lain itu dulunya apa? Banyak kasus lahan
perkebunan dikonversi ke penggunaan lain. Jadi: "Petani akan jual lagi,
bukan argumen kuat," saya menyanggah.
Saya berpendapat, bahkan perlu
diundangkan, bahwa lahan pertanian itu hanya untuk petani pada waktu yang akan
datang. Kita sudah berada dalam keadaan "darurat lahan", di mana
sekitar 75 persen rumah tangga petani di Jawa mengolah lahan yang sama atau
kurang dari 0,5 ha dan, secara nasional, rata-rata pemilikan lahan per rumah
tangga petani, menurut sensus 2003, adalah 0,79 ha, menurun dari 0,99 ha pada
1973. Apabila perikanan laut di Selandia Baru diberikan haknya kepada bangsa
Maori, lahan tersisa di Indonesia dijadikan lahan bagi petani. Orang Inggris
saja memberikan jaminan lahan bagi bangsa Maori. Lebih-lebih kita, orang asli
Indonesia, mestinya lebih memperhatikan petani kita yang berada dalam
kesulitan.
Bagaimana mungkin perusahaan
pertanian bisa hidup kalau tidak memiliki lahan? Menarik! Karena inilah akar
masalah paham dunia pada zaman kolonialisme. Zaman pra-industri, kekayaan
adalah lahan-Ricardian rent. Ingat,
kelapa sawit, karet, kakao, kopi, bahkan jagung, juga bukanlah tanaman asli
kita. Semua datang ke Nusantara dari hasil proses pemanfaatan ilmu pengetahuan
dan teknologi dengan dukungan legal untuk mengeksploitasi natural comparative advantage Indonesia. Sekarang zaman sudah
berubah, zaman serba iptek. Ilmu pengetahuan, keahlian, dan seni merupakan
hasil akal-budi manusia yang telah banyak menggantikan hasil dari sumber daya
alam.
Dalam zaman iptek ini juga, kita
menyaksikan, kecuali untuk perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet, kopi,
lada, kakao, tebu, dan seluruh komoditas perkebunan lainnya didominasi oleh
petani. Apalagi padi dan palawija, semua diusahakan oleh petani. Tampak sekali
bahwa, dalam bidang pertanian ini, petani adalah the real investors. Situasi
semacam ini terjadi juga di negara maju, dengan luas lahan pertanian yang makin
meningkat dari waktu ke waktu.
Nestle dapat dijadikan referensi
perusahaan di bidang pangan yang melarang dirinya sendiri memiliki perkebunan
kakao atau peternakan sapi dan memilih kerja sama atau membeli produk hasil
petani. Pendapatan dan keuntungan Nestle pada 2007 masing-masing adalah US$
79,872,1 juta dan US$ 7,335,9 juta, dengan posisi peringkat ke-56 dunia dalam
Fortune 500. Keuntungan Nestle tersebut hampir setara dengan keseluruhan
keuntungan BUMN Indonesia pada tahun yang sama, yaitu Rp 70,77 triliun. Sikap
Nestle yang berkaitan dengan tanah sangat penting untuk dicatat, apalagi zaman
sekarang land grabbing kembali menjadi isu dunia.
Mengapa kita tidak membangun BUMN
pangan ala Nestle? Membuat industri pangan berbasis tepung padi, jagung,
pisang, ubi jalar, ubi kayu, sukun sagu, dan bahan baku tepung lainnya yang
dihasilkan seluruh petani Indonesia? Mengapa tidak membangun BUMN yang
bermitra-mesra dengan para petani, sehingga petani juga makin bergairah
berproduksi?
Sejarah perkebunan lebih dari 100
tahun memberi pembelajaran bahwa membangun industri tidak dapat diserahkan
kepada pihak lain. Moral "mulung-muntah" atau menunggu relokasi atau
menargetkan bangsa sendiri menjadi kuli juga merupakan moral keliru. Dalam hal
ini, kita bisa berguru kepada Tata Tea,
yang melambangkan pembelian Tetley,
perusahaan teh Inggris terbesar, sebagai simbol daya saing dan pemerdekaan. Tata Tea juga berhasil mengembangkan
de-estatifikasi perkebunan tehnya.
Bisa disimpulkan bahwa BUMN
pangan yang diperlukan adalah BUMN pangan yang memiliki sifat dan sikap yang
selalu meningkatkan kapabilitasnya demi pemerdekaan NKRI di bidang pangan yang
bermitra-mesra dengan petani. Apa yang akan dicapai pada 2045, 33 tahun dari
sekarang, pada saat kita merayakan 100 tahun NKRI? Semoga BUMN pangan baru
dapat memberikan sumbangsihnya bagi NKRI yang merdeka, bersatu, berdaulat,
adil, dan makmur. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar