Senin, 03 September 2012

Bina Damai dalam Pendidikan


Bina Damai dalam Pendidikan
Benni Setiawan ;  Dosen Luar Biasa di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
MEDIA INDONESIA , 03 September 2012


KONFLIK horizontal semakin menjadi. Seluruh aspek kehidupan seperti menjadi pemantik kerusuhan dan konfl ik, mulai perebutan lahan (persoalan ekonomi), harga diri (sosial), kepercayaan terhadap Tuhan (agama), dan etnisitas.

Peristiwa tersebut tergambar jelas di Indonesia saat ini. Pada Agustus saja setidaknya ada empat peristiwa kerusuhan di Nusantara. Minggu (19/8), konflik SARA pecah di Sukabumi, Jawa Barat. Tepatnya di perkampungan Tarekat AtTijaniyah Mutlak di Kampung Cisaloka, Desa Bojong Tipar, Kecamatan Jampang Tengah, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Tujuh rumah jemaat At-Tijaniyah dibakar massa. Pembakaran itu dipicu meninggalnya seorang ustaz di daerah tersebut. Jenazah sang ustaz ditemukan tak jauh dari perkampungan Tarekat AtTijaniyah. Tarekat ini pernah divonis sesat dan menyesatkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat.

Senin (20/8), bentrok antara warga dua kampung pun menghiasi indahnya silaturahim dan bermaaf-maafan di Hari Raya Idul Fitri di Sigi, Sulawesi Tengah. Satu korban tewas ditemukan dalam bentrok di Sigi dan puluhan luka, termasuk seorang wartawan Nuansa TV. Bentrok juga terjadi di Kelurahan Mangga Dua dan Toboko, Ternate, Maluku Utara. Jatuhnya korban tidak bisa dihindari di tengah garang dan emosi massa yang tak terkendali.

Penembakan juga terjadi pada Selasa (21/8) di Enarotali, Kabupaten Paniai. Penembakan yang dilakukan anggota Organisasi Papua Merdeka itu menewaskan Brigadir Polisi Yohan Kisiwaito. Dalam enam hari terakhir, lima warga dan polisi di Papua tewas ditembak di lima tempat berbeda.

Teranyar ialah konflik di Sampang, Madura (26/8). Bentrokan antara kelompok anti-Syiah dan Syiah itu mengakibatkan dua orang meninggal dan lima lainnya terluka. Korban tewas ialah Hemama, 40, dan adiknya, Thohir, 35. Keduanya dikenal sebagai penganut Syiah. Korban luka berasal dari kelompok anti-Syiah, yakni Syaiful, Samsul, Syaifuddin, Hasyim, dan Mat Soleh. Selain korban dari warga, Kapolsek Omben AK Aries Dwi terluka parah di dahi karena lemparan warga saat mencoba melerai bentrokan. Yang terjadi tidak hanya bentrok. Beberapa rumah warga Syiah di Sampang pun hangus dibakar massa. Kini warga Syiah diungsikan guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Sebuah potret kebangsaan yang tercoreng.

Semakin tingginya intensitas konflik di Indonesia menimbulkan sebuah tanda tanya besar. Mengapa hal tersebut menjadi biasa di tengah euforia demokratisasi? Bagaimana pendidikan berperan dalam membangun keadaban bangsa tanpa konflik?

Dua Simpul Konflik

Menurut Jacques Bertrand dalam Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia, ada dua simpul masalah umum yang bisa menyebabkan konflik. Prinsip pertama, yang terkait dengan pertanyaan mengenai inklusi dan ekslusi keanggotaan, menyerupai pembedaan antara nasionalisme sipil dan etnis. Kriteria inklusi paling luas cenderung merupakan kriteria yang paling mendukung kestabilan, sementara yang paling mengekang, kerap terkait dengan jenis nasionalisme etnik terburuk, yang cenderung memunculkan kekerasan terhadap mereka yang disingkirkan.

Kekerasan juga bisa terjadi ketika kelompok-kelompok tercakup sebagai individu-individu, tetapi mereka tidak diakui sebagai kelompok. Dalam kasus ini, inklusi bersifat luas dan mengikuti kriteria individualis menurut prinsip-prinsip liberal, tetapi tidak ada pengakuan atas kelompok-kelompok tertentu, perbedaan budayanya, dan kepentingan yang muncul dari perbedaan tersebut. Penolakan pengakuan yang berulangulang bisa menyebabkan kekerasan.

Prinsip kedua yang menentukan model kebangsaan terkait dengan ketentuan-ketentuan dan saran inklusi. Meski kriteria keanggotaan bisa saja luas dan beberapa kelompok diakui, inklusi mereka mungkin memberikan bagian yang lebih besar kepada budaya atau preferensi tertentu dari suatu kelompok yang hegemonis.

Dalam hal ini, bahasa resmi, kurikulum pendidikan, simbol nasional, praktik agama, atau representasi formal dalam lembaga-lembaga politik bisa memunculkan debat dan konflik. Perundingan bisa berlang sung melalui jalan damai jika pemerintah dilengkapi saluran atau wadah yang memadai untuk menyuarakan keluhan dan menciptakan tekanan terhadap kelompok yang dominan. Kelompok bisa membuat klaim dan mengedepankan kepentingan mereka melalui sarana kelembagaan formal seperti representasi dalam legislatif, atau sarana-sarana yang lebih informal seperti kritik terbuka melalui media ataupun protes politik damai.

Humanisasi

Lebih lanjut, konflik dan ke kerasan yang terjadi saat ini menunjukkan kepada kita betapa keadaban publik sudah mulai luntur. Proses humanisasi dalam term pembudayaan ala Driyarkara pun sudah semakin terpinggirkan.

Proses humanisasi adalah perjalanan tiap pelaku, aktor, subjek manusia Indonesia yang berjuang dengan cerdas, batin hening untuk mencipta struktur-struktur hidup bersama yang semakin manusiawi, berharkat hingga keragaman sebagai bangsa yang satu mengarah menuju bernegara yang demokratis dan berkepastian hukum dengan setiap kemajemukan dihormati dengan keberlain annya dan belajar untuk hidup saling damai sebagai warga negara Indonesia.

Humanisasi pun bermakna kerja kerja peradaban yang semakin mencipta kondisi hidup bersama semakin manu siawi, semakin menyejahterakan satu sama lain, karena orang-orangnya juga saling mengem bangkan kemanusiaan sesama dan dirinya. Humanisasi dari kondisi sosial manusia saling mengerkah sesamanya sebagai serigala (homo homini lupus) menuju ke kondisi hidup bersama ketika manusia memperlakukan sesamanya dan hidup bersama sebagai sahabat (homo homini socius) (Mudji Sutrisno, 2009).

Tiga Tahap

Guna mewujudkan hal tersebut, dalam sejarah filsafat pendidikan kita jumpai tokoh-tokoh yang menekankan aspek penyesuaian kurikulum dan cara mendidik dengan tahap-tahap perkembangan peserta didik. Heinrich Pestalozzi (1746-1827), misalnya, membedakan tiga tahap dalam perkembangan anak yang perlu diperhatikan dalam mendidik mereka.

Pada tahap pertama itu pikiran anak biasanya masih cukup kabur dan belum terpilah-pilah. Pada tahap kedua, objek-objek pemikiran disadari dengan jelas dalam berbagai bentuk dan sifatnya. Pada tahap terakhir, objek-objek tersebut dapat dimengerti sebagai contoh perwujudan konsep umum. Dalam proses melewati tahap-tahap tersebut, sebagai peserta didik anak perlu secara aktif dilibatkan agar ia sendiri memperoleh dan memperdalam pengetahuannya.

Ketiga tahap perkembangan anak menurut Pentalozzi tersebut menampakkan gema pengaruhnya dalam paham Alfred N Whitehead (1896-1947) tentang ritme pendidikan. Menurut paham tersebut, dalam proses pendidikan dapat dibedakan tiga tahap yang secara ritmis perlu dijaga kelangsungannya.

Tahap pertama disebut tahap romantis, yakni tahap orang mendapatkan pengetahuan: bahannya masih terasa segar karena baru, tetapi banyak hal masih belum jelas; ada daya tarik untuk lebih mengerti; pengertian masih bersifat intuitif. Tahap kedua, tahap presisi, adalah tahap analisis untuk mendapatkan ketepatan pengertian. Bahan yang diperoleh secara umum dan global dalam tahap romantis dianalisis, disistematisasikan, dan diolah pada tahap ini. Tahap ketiga, tahap generalisasi, adalah tahap sintesis dengan pengetahuan yang diperoleh dapat ditempatkan dalam kerangka suatu sistem pemikiran tertentu (Alex Lanur, 2000).

Tampak jelas betapa tahapan di sekolah mempunyai peran masing-masing. Pendidikan dasar (pendidikan anak usia dini, taman kanak-kanak, dan sekolah dasar) menjadi fondasi utama tahap perkembangan peserta didik. Di lembaga tersebut sifat dasar peserta didik dibentuk dan dibangun.

Benarlah ungkapan Romo YB Mangunwijaya, pendidikan dasar punya peran penting dalam pembentukan karakter bangsa. Di tingkat itu setiap ajaran dan ujuran akan selalu diingat peserta didik. Kegagalan dalam pendidikan ini akan bersifat fatal dalam kehidupan peserta didik kelak.

Karena itu, bina damai dalam pendidikan sudah selayaknya disemai pada tingkat tersebut. Pengenalan hal-hal sederhana seperti tolongmenolong, menghormati guru dan teman, dan mau mengakui kesalahan menjadi hal penting.

Hal-hal sederhana tersebut akan mampu membudaya dalam diri peserta didik. Basis kesadaran itulah yang kemudian dirasionalisasi dan diteorisasikan dalam tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Keberhasilan rasionalisasi dan teorisasi tentunya tidak dapat lepas dari pendidikan dasar.

Pada akhirnya, bina damai dalam pendidikan khususnya di tingkat pendidikan dasar sudah selayaknya kembali menjadi agenda kebangsaan di tengah intensitas konflik yang meninggi. Tanpa hal itu, bangsa Indonesia akan selalu dirundung masalah dan bara api permusuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar