Kamis, 13 September 2012

Akademi Komunitas Jangan Menjadi Akademi Fantasi


Akademi Komunitas
Jangan Menjadi Akademi Fantasi
JC Tukiman Taruna ;  Dosen Pascasarjana untuk Mata Kuliah Analisis Organisasi Pendidikan; Ketua Dewan Penyantun Unika Soegijapranata Semarang
KOMPAS, 13 September 2012


Apa yang paling ”orisinal” dari Undang Undang Pendididikan Tinggi—yang belum ada nomornya—dan telah disahkan DPR 13 Juli?

Salah satunya adalah disepakatinya sebuah bentuk perguruan tinggi baru, yakni Akademi Komunitas yang dibedakan dari Akademi (Pasal 59). Maka, sekarang bentuk perguruan tinggi tidak hanya universitas, institut, sekolah tinggi, politeknik, dan akademi, tetapi ditambah akademi komunitas.

Menurut Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UUPT), akademi komunitas adalah perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan vokasi setingkat diploma satu dan/atau diploma dua dalam satu atau beberapa cabang ilmu pengetahuan dan/atau teknologi tertentu, berbasis keunggulan lokal atau untuk memenuhi kebutuhan khusus (Pasal 59 Ayat 7).

Apa bedanya dengan akademi? Batasan yang diberikan oleh UU PT nyaris sama. Namun, kata kunci Akademi Komunitas (AK) terletak pada (a) setingkat diploma satu atau dua, (b) berbasis keunggulan lokal, dan (c) untuk memenuhi kebutuhan khusus.
Pemerintah akan segera mendirikan 20 AK percontohan (Kompas, 27/8/2012), dengan harapan ke depan di setiap kabupaten/kota terdapat AK negeri ataupun swasta untuk meningkatkan daya saing tenaga kerja Indonesia. Prioritas pendirian AK adalah daerah penyedia tenaga kerja dan daerah dengan sumber daya alam melimpah.

Kontradiksi

Akademi komunitas sesuai UUPT adalah jenis pendidikan tinggi vokasi (Pasal 16), bukan jenis pendidikan akademik ataupun profesi (Pasal 15 dan Pasal 17). Tugasnya melaksanakan pendidikan tinggi program diploma dengan menyiapkan mahasiswa untuk pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu.

Penegasan pada Pasal 16 diperjelas Pasal 21 yang menyebutkan bahwa program diploma merupakan pendidikan vokasi untuk mengembangkan keterampilan dan penalaran dalam penerapan ilmu pengetahuan dan/atau teknologi. Tegasnya, program diploma ini menyiapkan mahasiswa menjadi praktisi terampil untuk masuk dunia kerja sesuai bidang keahliannya.

Pasal 16 dan Pasal 21 mengandung substansi yang kontradiktif bila dibandingkan Pasal 59. Batasan AK pada Pasal 59 (7) sudah sangat realistis dan operasional, tetapi Pasal 16 dan 21 tidak menegaskan makna penting AK. Saya melihat, gagasan tentang AK tiba-tiba saja muncul ketika dibahas bentuk perguruan tinggi pada Bab IV.

Seperti diketahui, Pasal 16 dan Pasal 21 ada di bawah Bab II tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Bab IV berjudul Perguruan Tinggi. Anehnya, Bab III UU PT ini mencantumkan judul Penjaminan Mutu. Maka lengkaplah kontradiksi itu mengingat tidak runutnya penalaran yang dibangun lewat bab-babnya. Seolah-olah yang terkait dengan penjaminan mutu hanyalah penyelenggaraan pendidikan tinggi, sedangkan perguruan tinggi tidak dituntut apa pun berkaitan dengan penjaminan mutu.

Keunggulan Lokal

Tulisan Wapres Boediono ”Pendidikan Kunci Pembangunan” (Kompas, 27/8/2012 hal 6) sangat inspiratif. Boediono menekankan perlunya melakukan sesuatu yang substantif bagi pendidikan kita dengan membekali mahasiswa tentang delapan kemampuan, yakni kemampuan berkomunikasi, berpikir jernih dan kritis, mempertimbangkan segi moral permasalahan, menjadi warga negara yang efektif, mencoba mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda, hidup dalam masyarakat yang mengglobal, memiliki minat luas mengenai hidup, serta kesiapan untuk bekerja.

Dalam konteks AK sesuatu yang substantif (dan orisinal), menurut pendapat saya, tentulah terletak pada upaya menggali dan mengembangkan secara ilmiah keunggulan lokal yang dimiliki setiap daerah.

Pergulatan menemukan keunggulan lokal membutuhkan waktu panjang. Kalau tergesa-gesa, yang akan terjadi adalah meniru belaka substansi yang telah dirumuskan oleh suatu daerah. Sebutlah, misalnya, keunggulan lokal membatik atau ukir-ukiran daerah tertentu, sangat besar kemungkinannya akan menjadi keunggulan lokal daerah lain dengan dalih ”batik kami berbeda/khas”, atau bahkan menuduh ”batik kami paling asli, yang lain meniru kami”.

Keunggulan lokal harus menunjukkan sesuatu yang khas baik sebagai substansi ataupun produk. Oleh karena itu, sesuatu yang khas di komunitas kecil di suatu wilayah, dapat dikaji mendalam sehingga nantinya dapat menjadi ikon daerah tersebut.

Arah ke depan AK sebaiknya tidak ditekankan pada fantasi tentang kesiapan tenaga kerja Indonesia untuk bersaing di pasar global, tetapi untuk menciptakan pencinta-pencinta keunggulan lokal sehingga kelak mereka itulah yang akan memelihara, mengembangkan, dan meneruskan kebanggaan lokal lewat produk seni, budaya, makanan, hasil pertanian, dan seterusnya yang dikembangkan melalui AK.

Rasanya sudah sangat memadai kalau dua kemampuan terakhir—kemampuan memiliki minat luas mengenai hidup dan kemampuan memiliki kesiapan untuk bekerja—dipakai sebagai pemacu dan pemicu di AK yang akan didirikan di sejumlah daerah. Jauhkan mahasiswa AK dari fantasi-fantasi yang tidak realistis, sebaliknya tanamkan sekecil apa pun yang substansial bagi bangsa dan negara ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar