Pola
Acak Kandidasi Pilpres 2019
Gun Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN
Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 02 April 2018
POLA hubungan politik
menjelang tahapan penting kandidasi calon presiden dan calon wakil presiden
masih bersifat acak. Setiap kekuatan intensif membangun komunikasi politik
dengan ragam simpul kekuatan pihak lain sebagai keniscayaan dalam penjajakan
dan pemetaan. Yang paling menyita perhatian elite juga publik saat ini tentu
saja menyangkut paket pasangan capres dan cawapres yang akan menentukan
konfigurasi pertarungan nyata di Pilpres 2019. Pola acak itu diprediksi masih
akan berjalan hingga Juli bahkan sangat mungkin hingga menit-menit akhir
jelang pendaftaran di awal Agustus.
Memaksimalkan
keuntungan
Sosok yang sudah hampir
bisa dipastikan melaju ke gelanggang pertarungan presiden di 2019 ialah
petahana (incumbent), Joko Widodo. Agendanya saat ini memilih dan memilah
calon pendamping yang bisa menguatkan posisinya, baik saat pilpres maupun
saat memimpin pemerintahan di periode mendatang, jika mereka terpilih
kembali.
Oleh karenanya, agenda
Jokowi saat ini adalah memaksimalkan beragam keuntungan dari posisinya
sebagai petahana dengan tingkat elektabilitas tinggi, untuk berkomunikasi
dengan beragam kekuatan politik baik yang sudah mendeklarasikan dukungan
kepadanya maupun belum. Dengan demikian, tingkat keacakan pola hubungan bukan
pada pengisian kursi RI-1, melainkan pada penentuan siapa yang paling
berpeluang mendampinginya.
Secara faktual, Jokowi
berpotensi sangat besar diusung PDIP, Golkar, NasDem, PPP, dan Hanura.
Partai-partai ini sudah mendeklarasikan dukungannya secara terbuka kepada
Jokowi untuk melaju ke periode kedua. Jika mengacu ke hasil Pemilu Legislatif
2014, dukungan kumulatif sementara pada Jokowi dari kelima partai tersebut
berkisar di angka 51,9% kursi DPR atau 52,21% suara.
Namun demikian, bukan
berarti Jokowi akan menang mudah. Politik bukanlah semata-mata permainan
angka di atas kertas. Proses aksi-reaksi, stimulus-respons, dan teramat
jarang berpola searah. Segala hal masih mungkin terjadi, termasuk masih
mungkin muncul "efek kejut" dari situasi yang tak terprediksi hari
ini. Ada Gerindra dan PKS yang semakin mengonsolidasikan kekuatan dan
berpotensi mengusung pasangan dengan modal 20,1% kursi DPR, melampaui
ketentuan presidential threshold.
Masih juga ada peluang
poros ketiga, yang sangat mungkin diinisiasi Partai Demokrat, PKB, dan PAN.
Kumulasi ketiga partai ini 27% kursi DPR atau 26,82% suara.
Dalam kondisi acak seperti
ini, semua calon petarung harus menghitung cermat setiap strategi pemainan
menuju gelanggang. Dalam tulisan Roger B Myerson, Game Theory: Analysis of
Conflict (1991), teori permainan merupakan studi tentang pengambilan
keputusan strategis. Teori itu awalnya dikembangkan Emile Borel pada 1921 dan
selanjutnya disempurnakan John van Neemann dan Oskar Morgenstern. Inti teori
ini menekankan dalam situasi bersaing di antara beberapa orang atau kelompok
kecenderungannya para pemain akan memilih strategi untuk memaksimalkan
kemenangan mereka dan meminimalkan kemenangan lawan.
Dalam perspektif game
theory terdapat dua karakteristik strategi. Pertama strategi murni (pure
strategy game) yang biasanya menerapkan strategi tunggal, yakni mengupayakan
capaian maksimum. Dalam konteks kandidasi saat ini, Jokowi sepertinya
cenderung menjalankan strategi ini. Pencapresan Jokowi sudah pasti sehingga
seluruh pergerakan komunikasi politik dimaksimalkan untuk mengukuhkan
kemenangan kandidat. Safari politik Jokowi dengan beragam elite utama partai
lain seperti dengan Muhaimin Iskandar (PKB), Romahurmuziy (PPP), Airlangga
Hartarto (Golkar), dan Zulkifli Hasan (PAN) lebih diposisikan sebagai pencarian
pendamping Jokowi.
Kedua, strategi campuran
(mixed strategy game) intinya pemain akan menggunakan beragam varian strategi
untuk memastikan hasil optimal di tengah realitas kesulitan mereka
menjalankan strategi utama. Strategi inilah yang sepertinya akan dijalankan
Gerindra, PKS, PKB, Demokrat, dan PAN.
Khusus untuk Gerindra dan
PKS, keduanya berpotensi besar berkongsi ulang di 2019 mengingat pola
hubungan keduanya sangat intens dan terfasilitasi beragam agenda bersama yang
saling menguatkan. Misalnya saat sama-sama memenangi Pilkada DKI di 2017,
selain juga konsisten memosisikan diri di luar pemerintahan sejak kalah dalam
pertarungan di Pilpres 2014.
Meskipun Gerindra dan PKS
berpotensi besar berkongsi, paket pasangan yang akan diusung mereka masih acak.
Akankah Prabowo kembali menjadi "petarung" di 2019, ataukah akan
menjadi king maker bagi paket pasangan baru yang dijadikan strategi baru
untuk mengalahkan Jokowi? Belakangan, mengemuka nama-nama seperti mantan
Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, Gubernur DKI Anies Baswedan,
dan Gubernur NTB Muhammad Zainul Majdi alias Tuan Guru Bajang. Nama-nama
tersebut belum bergaung kuat mengingat banyak pihak masih meyakini penantang
utama Jokowi di 2019 ialah Prabowo Subianto.
Prediksi akan terjadinya pertandingan
ulang (rematch) Jokowi versus Prabowo memang sangat mungkin terjadi. Sosok
Prabowo hingga sekarang konsisten menjadi icon penantang di luar kekuasaan
sejak 2014. Bagi Gerindra, sebagai partai utama pendukung Prabowo, menjadikan
sosok figur utama partai mereka menjadi calon presiden diyakini dapat memberi
coat-tail effect, atau pesona figur yang bisa menaikkan perolehan suara
partai di pemilu legislatif.
Oleh karenanya, hampir
seluruh elite utama Gerindra hingga saat ini tetap menjadikan nama Prabowo di
list utama calon presiden mereka. Namun demikian, peluang Prabowo menjadi
calon presiden juga sepertinya tidak menutup kemungkinan adanya opsi-opsi
lain sebagai alternatif terbaiknya.
Hal itu tersirat dari
pernyataan Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra Hashim Djojohadikusumo.
"Yang menentukan semua Tuhan Yang Maha Esa. Anda percaya itu. Anything
is possible," kata Hashim di Gedung DPR, kompleks parlemen, Senayan,
Jakarta, Rabu (28/3/2018). Ada dua faktor penting yang kita tangkap dari pernyataan
Hashim, yakni faktor kesehatan dan logistik sebelum memastikan mendukung
Prabowo. Yang menarik lagi pernyataan Hashim, "Kalau cawapresnya nanti
ada akses ke logistik itu, Alhamdulillah, Puji Tuhan."
Hal itu mengingatkan kita
pada perspektif yang biasanya digunakan para elite dalam menentukan dukungan,
yang biasanya disebut sebagai struktur peluang (opportunity structure).
Meminjam analisis Gary W Cox dalam bukunya, Making Vote Count (1997), soal
strategic entry menghitung tiga pertimbangan penting.
Pertama, biaya memasuki
arena (cost of entry), hal ini terkait dengan siapa pemodal dan berapa yang
harus dikeluarkan selama pilpres berlangsung. Pertarungan pilpres tentunya
berbiaya mahal. Oleh karenanya, pernyataan Hashim menjadi realistis dan akan
dihitung cermat oleh kubu Prabowo.
Kedua, beragam keuntungan
yang didapat jika duduk di kekuasaan (benefits
of office). Hal ini terkait dengan orientasi kekuasaan ke depan jika
kandidat memenangi kontestasi. Semua partai pasti menghitung potensi mereka
untuk berada di kekuasaan mendatang. Apakah melalui dirinya langsung sebagai
fighter atau melalui posisinya sebagai king maker.
Ketiga, kemungkinan
perolehan dukungan dari para pemilih (probably of receiving electoral
support). Itu terkait dengan paket figur yang dibuat apakah diprediksi laku
di pasar pemilih atau tidak. Hal ini tentu terkait dengan potensi branding,
segmenting, dan positioning dalam pemasaran politik Prabowo di ceruk pasar
pemilih mengingat Prabowo sudah mengalami kekalahan di Pilpres 2009 dan 2014,
selain kekalahan dalam konvensi calon presiden di Partai Golkar pada 2004.
Jika Prabowo kembali
menjadi calon presiden di 2019, tentunya akan menguntungkan Gerindra. Oleh
karena pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden bersamaan waktunya,
partai yang figur utamanya menjadi capres biasanya akan berpotensi besar
menaikkan perolehan suara partai. Namun demikian, untuk memenangi kontestasi
di pilpres, Prabowo dan siapa pun yang akan mendampinginya sangat membutuhkan
kerja keras untuk mengalahkan Jokowi selaku petahana.
Poros
ketiga, mungkinkah?
Di luar rivalitas Jokowi
dan Prabowo, kita juga sebaiknya tak mengabaikan kemungkinan lainnya, yakni
potensi terbentuknya poros ketiga. Dari aspek peluang, kemungkinan poros
ketiga ini terbentuk memang kecil. Hal itu disebabkan beberapa faktor.
Pertama, besar kemungkinan
beberapa partai yang berpotensi menjadi pengusung poros ketiga tak mau
mengambil risiko untuk zero sum game atau bertarung habis-habisan tanpa
mempertimbangkan keuntungan dalam kekuasaan pasca-Pilpres 2019.
Dilema ini akan dialami
PKB, Demokrat, dan juga PAN. PKB memiliki sosok Muhaimin yang piawai dalam
menjalin lobi dan negosiasi dengan pihak lain. Di era kepemimpinan Muhaimin,
PKB senantiasa berada di kekuasaan baik saat pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) maupun pemerintahan Jokowi. Jika PKB memutuskan diri
membentuk poros ketiga, ada risiko mereka tak ikut gerbong pihak yang
berpotensi besar memenangi pertarungan.
Demokrat juga akan
mengalami hal serupa mengingat mereka sedang berinvestasi membesarkan sosok
Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang sedang berusaha keras merebut simpati
banyak orang menuju 2024. Demikian juga dengan Zulkifli Hasan, selaku Ketua
Umum PAN, yang kerap bermain "aman" dengan sikapnya yang hati-hati.
Berbeda dengan seniornya, Amien Rais, yang sangat keras mengkritik
pemerintahan Jokowi, Zulkifli Hasan lebih banyak membangun pola komunikasi
konstruktif. Hal ini tak lepas dari upaya Zulkifli dalam membaca segala
peluang yang mungkin bisa memaksimalkan posisinya di 2019.
Kedua, kesulitan dalam
menentukan pasangan yang bisa diterima semua pihak. Koalisi tiga partai
dengan kepentingan masing-masing untuk menjagokan figur utama mereka menjadi
capres dan cawapres bukanlah hal mudah. Kerap muncul ego sektoral tentang siapa
yang paling layak mengisi posisi calon presiden dan calon wakil presiden.
Pengalaman di masa lampau, penggalangan kekuatan untuk membentuk poros
alternatif kerap terkendala oleh tidak tercapainya pemahaman bersama (mutual
understanding) dan keuntungan bersama (mutual benefits) yang menyebabkan
gagalnya kesepakatan.
Sekalipun demikian, di
atas kertas terbentuknya poros ketiga di Pilpres 2019 masih mungkin terjadi.
Perolehan suara sah nasional maupun jumlah kursi Demokrat, PKB, dan PAN
melampaui syarat presidential threshold 20% kursi DPR atau 25% suara sah
nasional. Selain itu, juga sangat mungkin ada situasi tidak tercapainya
kesepakatan dalam politik akomodasi dari kubu Jokowi maupun kubu Prabowo.
Dengan kondisi semua
partai menyodorkan nama cawapres baik pada Jokowi maupun Prabowo, itu
berpotensi terjadinya deadlock dalam pengambilan nama kandidat cawapres dari
barisan partai politik. Semua partai penyokong Jokowi dan Prabowo berhitung
betapa strategisnya posisi cawapres jelang alih generasi kepemimpinan di
2024.
Dalam kondisi ini, baik
Jokowi maupun Prabowo bisa saja tetap mengambil wakil mereka dari figur utama
salah satu partai politik yang mengusung mereka. Risikonya akan ada
partai-partai yang tak jadi bergabung dengan kubu mereka karena merasa tak
terakomodasi sehingga membentuk poros baru alias poros ketiga. Kecuali, jika
baik Jokowi maupun Prabowo mengambil figur cawapres mereka dari sosok
nonpolitikus dan bisa diterima oleh semua jangkar parpol penyokong
masing-masing.
Jika situasi ini terjadi,
poros ketiga tak akan pernah terbukti! Pola acak perlahan tapi pasti akan
terurai dan semakin jelas saat mendekati masa pendaftaran capres/cawapres
4-10 Agustus 2018. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar