Kamis, 02 Juli 2015

Tragedi Hercules dan Keselamatan Perwira

Tragedi Hercules dan Keselamatan Perwira

   M Sya’roni Rofii  ;   Dirut Jawa Pos Koran
JAWA POS, 01 Juli 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

BANGSA Indonesia kembali berduka seiring dengan jatuhnya pesawat pengangkut milik TNI-AU, Hercules C-130, di Medan, Sumatera Utara. Para perwira yang jatuh patut mendapat penghargaan khusus dari negara. Pada saat bersamaan, keluarga yang ditinggalkan perlu mendapat santunan dari institusi TNI.

Kejadian ini tentu saja bukan sesuatu yang diharapkan semua pihak, tak terkecuali oleh para perwira yang menjadi korban. Mereka menjalankan setiap perintah dari atasan kapan pun dan di mana pun, sebuah sistem yang melekat dalam institusi ketentaraan. Berdebat dengan atasan karena usia pesawat yang tak lagi muda dan menghalangi mereka terbang tentu bukan tradisi yang dipelihara dalam institusi mereka.

Dalam pernyataan Kepala Staf TNI-AU Marsekal Agus Supriyatna, pesawat tersebut merupakan andalan TNI kendati sudah berusia uzur karena diproduksi pada 1964 dengan mengandalkan sistem pemeliharaan yang teratur. ’’Sangat diandalkan. Kita berusaha keras dengan sistem pemeliharaan yang betul.’’ (Viva, 30/6). Sangat sulit menyembunyikan fakta bahwa pesawat produksi 1964 itu kini memasuki usia 46 tahun sehingga kemungkinan untuk terjadinya kecelakaan relatif tinggi. Idealnya, semua pesawat dengan usia 20 tahun sudah harus dikandangkan karena sifat metal yang mudah mengalami penuaan seiring dengan rutinitas kerja mereka di angkasa.

Menghargai Perwira

Kapten Penerbang Sandy Permana adalah satu di antara 30 korban pesawat nahas itu. Berdasar keterangan yang dilansir TNI-AU lewat situs resminya, Sandy adalah prajurit TNI-AU yang berprestasi. Dia mendapat anugerah sebagai siswa terbaik Perwira Siswa (Pasis) Sekolah Komando Kesatuan TNI Angkatan Udara (Sekkau) Angkatan ke-97 pada 15 Juni 2015 (TNI-AU, 30/6).
Melihat profil yang bersangkutan semakin membuka mata kita bahwa mereka yang menjadi korban adalah masa depan penerbangan di institusi TNI-AU. Sebab, mereka ini adalah calon perwira yang akan menentukan denyut jantung pertahanan Indonesia di udara.

Membiarkan mereka menerbangkan pesawat uzur adalah bentuk kelalaian negara terhadap para prajuritnya. Maka, sudah seharusnya pemerintah menjadikan peristiwa ini sebagai catatan terakhir tragedi yang mengorbankan prajurit karena faktor alutsista yang tua.

Kebijakan Alutsista

Dari peristiwa ini, ada beberapa hal yang patut menjadi perhatian pemerintah. Pertama, melakukan audit terhadap seluruh armada terbang milik TNI. Dari beberapa kecelakaan yang selama ini terjadi, bisa dikatakan salah satu faktor yang dominan adalah usia alutsista yang tak lagi bersahabat. Pesawat TNI yang jatuh di Magetan, Jawa Timur, pada 2009 juga merupakan pesawat dari jenis yang sama. Hercules dengan sejumlah keunggulan yang dimiliki, mulai pendaratan dan lepas landas dari runway yang pendek, sebagai pengangkut yang efektif, pengamatan cuaca, pengisian bahan bakar di udara, pemadam kebakaran udara, serta ambulans udara, perlu diperbanyak namun dengan jenis yang baru.

Kedua, mengalokasikan dana lebih besar bagi TNI-AU. Matra udara termasuk matra yang tidak mendapatkan porsi cukup dalam rencana anggaran belanja TNI. Sudah menjadi rahasia umum, dalam sejarah TNI, ada kecenderungan mengalokasikan dana alutsista untuk kebutuhan darat seperti pembelian tank.

Padahal, potensi ancaman yang jauh lebih besar datang dari luar sehingga tindakan preventif hanya bisa dilakukan oleh matra udara dan laut. Kebijakan alokasi anggaran TNI perlu mendapat perhatian serius baik oleh TNI selaku pengguna anggaran maupun DPR selaku pengawas anggaran. Sebab, kesalahan dalam mengalokasikan anggaran yang jumlahnya meningkat dari tahun ke tahun hanya akan membuat keterputusan antara alokasi dan tujuan penggunaan anggaran.

Ketiga, menghentikan kebiasaan menerima hibah. Hibah alutsista bukan hal terlarang dalam doktrin pertahanan. Namun, kebiasaan menerima hibah dengan tanpa mengindahkan standar tinggi hanya akan mengakibatkan masalah di kemudian hari. Barang hibah umumnya telah memasuki usia tua dan efektif digunakan maksimal satu dekade. Dengan demikian, dalam fase ini alat-alat pertahanan tersebut membutuhkan perawatan yang sangat ketat dan memakan biaya yang tidak sedikit. Secara sederhana, bisa dikatakan barang hibah adalah barang tua yang menunggu masa kedaluwarsa.

Dari sudut pandang yang lebih luas, sangat wajar mengalamatkan kritik terhadap pengguna anggaran yang tidak mengalokasikan anggaran pertahanan secara tepat. Kejadian sebuah helikopter milik negara tetangga dengan kode YM-YHM yang bebas terbang di Nunukan, Kalimantan Utara, baru-baru ini juga menjadi catatan lain yang butuh perhatian dalam rangka mengevaluasi titik lemah alutsista kita (JPNN, 28/06). Bebasnyapesawatmilikasingterbang tanpa izin di wilayah Indonesia membuktikan instalasi radar dalam jumlah besar di perbatasan belum mendapat prioritas dari TNI. Dan, bagaimana merespons situasi tersebut, tampaknya, belum dianggap urgen.

Akhir kata, semoga kejadian ini tidak menyurutkan semangat para penerbang TNI untuk tetap siaga menjaga kedaulatan udara Republik Indonesia dan menjadi catatan serius bagi pemerintah untuk segera membenahi alutsista yang mendesak untuk diremajakan. Sekali lagi, turut berdukacita untuk para korban dan keluarga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar