Jumat, 03 Juli 2015

Alutsista Tua Para Pengawal Negeri

Alutsista Tua Para Pengawal Negeri

   Hery Ratno  ;   Military and Aviation Enthusiast
JAWA POS, 02 Juli 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

TSUNAMI dahsyat 26 Desember 2004 meluluhlantakkan Serambi Makkah dan menewaskan ratusan ribu jiwa. TNI adalah unsur pertama yang bergerak cepat mengevakuasi korban. Sayang, semangat para prajurit untuk misi kemanusiaan tersebut terkendala minimnya alat utama sistem persenjataan (alutsista) pendukung. Misi yang amat sulit karena beratnya medan dan besarnya skala bencana itu akhirnya teratasi dengan bantuan tim SAR negara sahabat yang dilengkapi helikopter, pesawat, dan bahkan kapal rumah sakit terapung.

Bencana dahsyat tersebut memberikan pelajaran bahwa TNI yang kuat dengan alutsista yang lengkap serta modern ternyata sangat dibutuhkan untuk menunjang misi operasi militer selain perang. Presiden SBY yang baru saja dilantik saat itu menyaksikan sendiri kekurangberdayaan TNI lantaran minimnya dukungan alutsista.

Menyadari besarnya anggaran yang dibutuhkan, presiden menyusun rencana modernisasi jangka panjang yang dinamakan Military Essential Forces (MEF) tiga tahap. MEF I dilaksanakan 2009–2014 dengan target 30 persen penguatan dan modernisasi alutsista TNI. MEF tahap II 2014–2019 dan tahap III 2019– 2024. Anggaran Rp 150 triliun pun digelontorkan untuk MEF tahap I.

Saat ini, pemerintah sudah membeli lima kapal perang landing platform dock (LPD) dari Korsel. Dua kapal terakhir sepenuhnya dibuat PT PAL Surabaya. Kapal LPD yang berbobot mati 11.000 ton tersebut bisa didarati dan menampung 3–5 helikopter dan dilengkapi fast landing craft. Kapal itu juga mampu memuat berbagai peralatan berat untuk misi perang maupun nonperang, mengakomodasi ribuan personel, dan menjadi kapal komando.

LPD pertama dikonversi menjadi kapal rumah sakit dan dinamakan KRI dr Soeharso. Presiden pun membentuk Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) demi kemandirian industri alutsista untuk jangka panjang. Sampai akhir 2014, ratusan alutsista baru berdatangan dari luar negeri maupun dalam negeri. Namun, tetap saja modernisasi tersebut belum mampu sepenuhnya menggantikan ribuan alutsista tua yang masih menjadi alat TNI dalam menjalankan berbagai misi.

Pada tragedi AirAsia QZ8501, TNI dan Basarnas tampil jauh lebih sigap serta profesional. Dukungan alutsista dan peralatan yang jauh lebih baik daripada dekade sebelumnya membuat pencarian dan evakuasi berjalan relatif cepat serta lancar. Tim SAR terpadu Indonesia itu bahkan ditahbiskan pengamat sebagai tim SAR terbaik Asia.

Seandainya saat itu kapal survei hidro-oseanografi tercanggih di Asia milik TNI-AL, KRI Rigel 933, yang dipesan dari Prancis sudah datang, bisa jadi pencarian dan evakuasi jauh lebih cepat serta akurat. Musibah tersebut semakin menguatkan fakta pentingnya penguatan dan modernisasi alutsista TNI untuk misi operasi militer selain perang.

Hercules A-1310 yang Nahas

Salah satu alutsista tua yang tetap diandalkan TNI adalah Hercules C-130, terutama seri B. Pada 1959, Presiden AS J.F. Kennedy bersedia memberikan alutsista terbaru berupa 10 pesawat angkut berat Hercules kepada Indonesia sebagai ’’barter’’ pembebasan Allen Pope, pilot mantan CIA yang memperkuat AUREV- Permesta, yang pesawatnya ditembak jatuh oleh P-51 Mustang yang dipiloti Kapten Dewanto.

Sepuluh pesawat yang terdiri atas delapan varian transpor C-130B dan dua varian tanker KC-130B itu diterbangkan secara feri ke tanah air dengan menempuh 13.000 mil laut pada 18 Maret 1960. Saat itu, Indonesia menjadi negara pertama di luar AS yang mengoperasikan Hercules. Dua pesawat tanker KC-130 tersebut diberi nomor registrasi A-1309 dan A-1310 yang lantas jatuh pada 30 Juni 2015 di Medan. Jadi, secara teknis, Hercules A-1310 sudah mengabdi di negeri ini selama 55 tahun!

Saat ini, TNI mempunyai 30an Hercules berbagai varian dan rata-rata telah uzur. Penambahan terakhir sembilan Hercules C-130H dilakukan pada 2014 dengan empat pesawat berstatus hibah dan lima lainnya dibeli. Jenis Hercules bekas pakai AU Australia itu lebih baru dari milik TNI, meski bukan yang terbaru. Varian terbaru, C-130J, berbanderol selangit, sekitar USD 67,3 juta (Rp 875 miliar) per unit.

Sampai saat ini, keandalan C-130 tetap tidak tertandingi. Kompetitor Hercules, Airbus A-400M, belum beroperasi malah jatuh di Spanyol saat uji terbang. Beberapa negara pemesan membatalkan pesanannya dan beralih ke Hercules C-130J. Presiden Jokowi seyogianya menambah anggaran pengadaan alutsista untuk TNI seiring membaiknya ekonomi.

Menurut World Bank, persentase anggaran militer Indonesia dari GDP merupakan yang terendah di Asia. Berdasar laporan 2013, rasio anggaran terhadap GDP Indonesia adalah 0,90 persen, jauh di bawah Singapura (3,30 persen); Brunei (2,60 persen); Vietnam (2,20 persen); Tiongkok (2,10 persen); Timor Leste (1,80 persen); Kamboja (1,60 persen); Malaysia (1,50 persen); Thailand (1,50 persen); dan Filipina (1,30 persen).

Berbagai pesawat tua semacam Hercules seri B, penempur F-5E, dan pesawat intai maritim Nomad sudah wajib diganti. Meski perawatan rutin dan modernisasi avionik telah dilakukan, struktur pesawat pada saatnya tetap akan mengalami metal fatigue yang bisa berakibat fatal. Belum lagi alutsista tua di matra lain seperti fregat kelas Ahmad Yani (Van Speijk Class) buatan Belanda 1967 yang masih mengarungi samudra.

Bahkan, masih ada kapal LST peninggalan PD II yang beroperasi! Juga, tank amfibi PT-76 yang telah uzur serta banyak lagi. Prajurit TNI dikenal amat tangguh, militan, dan profesional. Tetapi, jangan lagi ada prajurit perkasa pengawal kedaulatan negeri tercinta ini yang harus gugur sia-sia karena alutsista tua yang tetap mereka gunakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar