Rabu, 14 Mei 2014

Jangan Pidanakan KPU

Jangan Pidanakan KPU

Topo Santoso  ;   Ahli Pidana Pemilu; Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia
KOMPAS,  14 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
AKHIR rekapitulasi suara pemilu legislatif ternyata berlangsung heboh dan dramatis. Beberapa pihak menyatakan, KPU bisa dipidana. Bagi saya, mengancam KPU dengan pidana bukan jawaban. Salah satu kesalahan besar kita dalam menyusun UU Pemilu adalah menyerahkan nasib pada ancaman pidana dan bukan pada upaya perbaikan sistem.

Penyelenggara pemilu, khususnya KPU dan seluruh jajarannya, hingga ke bawah, memang diancam banyak pasal pidana. Dari sekitar 48 tindak pidana pemilu dalam UU Nomor 8 Tahun 2012, pelaksana pemilu mulai dari KPPS, PPS, PPK, hingga KPU diancam dengan sekitar 18 tindak pidana pemilu. Seolah mereka bekerja di bawah ancaman senjata.

Seperti biasa kita bersikap reaktif  dan bukan melakukan kajian mendalam sebelum memutuskan membuat ketentuan pidana. Ketika KPU/KPUD mengabaikan rekomendasi dari pengawas pemilu, lahirlah banyak pasal yang mengancam pidana bagi pengabaian rekomendasi Panwaslu. Ketika pelaksana pemilu telat menyelesaikan tugasnya, lahir pasal-pasal yang mengancam hal itu. Ancaman bukan hanya ketika sengaja, melainkan juga tatkala lalai.

Kecenderungan di atas dapat dibaca dengan dua hal. Pertama, sikap reaktif. Kedua, mencari pendekatan penalti (pidana) untuk menyelesaikan semua hal. Sikap pertama terlihat dari lahirnya pasal karena berbagai keluhan dan tidak melalui kajian mendalam.

Maka, ketika banyak tudingan KPU/KPUD mengabaikan rekomendasi pengawas pemilu, lahirlah pasal-pasal pidananya. Hal itu masih ditambah diperkuatnya posisi pengawas pemilu menjadi badan tetap. Lahirlah DKPP yang menyoroti etika penyelenggara pemilu. Maka, KPU/KPUD kini bekerja di bawah ancaman pidana dan pemecatan.

Sikap kedua, begitu mudahnya kita mengancam banyak hal dengan ancaman pidana. Hal ini bukanlah khas UU Pemilu. Hampir semua UU memiliki ancaman pidana. Kecenderungannya pun makin lama makin berat dan makin banyak, dibuat  secara kumulatif (pidana dan penjara), ada pidana minimal khusus, dan sebagainya. Intinya sanksi pidana dianggap bisa menanggulangi berbagai persoalan, termasuk masalah-masalah dalam pemilu. 

Sebenarnya, bukan maksud penulis menghilangkan tanggung jawab pidana dari penyelenggara pemilu. Jika penyelenggara pemilu menerima uang untuk mengubah hasil pemungutan suara atau rekapitulasi suara, ya, memang pantas diancam pidana. Jika penyelenggara pemilu sengaja menghambat proses pemilu sehingga menimbulkan ketidakpastian kenegaraan, pantas diancam pidana.

Subyek tindak pidana

Di sejumlah negara, subyek atau pelaku tindak pidana pemilu juga bisa berbagai kalangan, seperti peserta pemilu, pemilih, pemantau, penyelenggara, dan anggota polisi/militer. Mereka yang menjadi subyek tindak pidana, bukan lembaganya. Salah satu kekeliruan UU Nomor 8 Tahun 2012 adalah kadang lembaga diancam pidana, tetapi ancaman pidananya tidak nyambung. Lembaga tentu tidak bisa diancam penjara, hanya bisa diancam denda, sementara di UU tersebut ancamannya kumulatif penjara dan denda.

Dalam kehebohan rekapitulasi beberapa hari lalu, semua pihak tenggelam dalam ketidakmampuan KPU melakukan tugasnya secara cepat dan jawabannya, seperti biasa di negara kita: perpu dan diseret ke meja hijau dengan sanksi pidana. Ke depan, hal ini tidak boleh terjadi lagi. Setiap kali pemilu kita heboh, seakan negara darurat dan anggota KPU diancam pidana. Seharusnya dicari apa akar masalahnya sehingga rekapitulasi bisa molor dan tidak cepat hingga membuat jantung hampir copot.

Apa akar masalahnya? Menurut hemat penulis, kehebohan di atas terjadi karena terlalu lamanya proses rekapitulasi di level di bawah (PPS, PPK, KPU kabupaten/kota dan provinsi). Mengapa lama? Sebab, pemungutan suara dan penghitungan suara dilakukan secara manual. Teknis penghitungan suara secara manual mengakibatkan dua hal. Pertama, terlalu lama prosesnya diselingi berbagai keberatan/protes dan sebagainya. Kedua, maraknya kecurangan, penyuapan terhadap petugas, penggelembungan suara, dan jual beli suara.

Masalah di atas harus diatasi dengan perubahan sistem atau mekanisme pemilu, bukan kriminalisasi. Apa solusinya? Mahkamah Konstitusi dalam putusannya sudah memungkinkan diselenggarakannya e-voting. Namun, melaksanakan e-voting di Indonesia saat ini masih banyak kendala dan banyak pihak keberatan. Saya lebih memilih, kita menggunakan e-counting, yakni penghitungan secara elektronik, bukan pemungutannya. Kita perlu rapid and objective result. Proses sekarang ini kurang menjamin kedua hal ini.

Dengan mekanisme ini, beberapa jam sesudah pemungutan suara di TPS surat suara yang terbaca dengan mesin pemindai (scanner) dikirim dengan teknologi. Beberapa jam setelah itu, mungkin 90 persen hasil pemungutan suara di TPS terkumpul di kabupaten/kota, provinsi, hingga pusat. Perlu dicatat bahwa di TPS kondisi cukup bersih dan transparan serta banyak saksi.

Kecurangan banyak terjadi dalam perjalanan suara dari TPS ke PPS, PPK, dan seterusnya. Dengan e-counting, semua itu tidak terjadi karena suara langsung dikirim ke kabupaten/kota, provinsi, dan pusat.

Penerapan ini bukan tanpa masalah dan kritik. Tentu saja ada isu teknologi, logistik, akseptabilitas, dan perlu security measures atau pelindung mekanisme ini dari berbagai penyimpangan. Ancaman pidana tetap diperlukan bagi pihak yang mengganggu sistem ini bekerja. Ini justru tantangannya. Membangun sistem yang aman, cepat, dan obyektif. Siapkah kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar