Jangan
Pidanakan KPU
Topo
Santoso ; Ahli Pidana
Pemilu; Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
14 Mei 2014
AKHIR
rekapitulasi suara pemilu legislatif ternyata berlangsung heboh dan dramatis.
Beberapa pihak menyatakan, KPU bisa dipidana. Bagi saya, mengancam KPU dengan
pidana bukan jawaban. Salah satu kesalahan besar kita dalam menyusun UU
Pemilu adalah menyerahkan nasib pada ancaman pidana dan bukan pada upaya perbaikan
sistem.
Penyelenggara
pemilu, khususnya KPU dan seluruh jajarannya, hingga ke bawah, memang diancam
banyak pasal pidana. Dari sekitar 48 tindak pidana pemilu dalam UU Nomor 8
Tahun 2012, pelaksana pemilu mulai dari KPPS, PPS, PPK, hingga KPU diancam
dengan sekitar 18 tindak pidana pemilu. Seolah mereka bekerja di bawah
ancaman senjata.
Seperti
biasa kita bersikap reaktif dan bukan
melakukan kajian mendalam sebelum memutuskan membuat ketentuan pidana. Ketika
KPU/KPUD mengabaikan rekomendasi dari pengawas pemilu, lahirlah banyak pasal
yang mengancam pidana bagi pengabaian rekomendasi Panwaslu. Ketika pelaksana
pemilu telat menyelesaikan tugasnya, lahir pasal-pasal yang mengancam hal
itu. Ancaman bukan hanya ketika sengaja, melainkan juga tatkala lalai.
Kecenderungan
di atas dapat dibaca dengan dua hal. Pertama, sikap reaktif. Kedua, mencari
pendekatan penalti (pidana) untuk menyelesaikan semua hal. Sikap pertama
terlihat dari lahirnya pasal karena berbagai keluhan dan tidak melalui kajian
mendalam.
Maka,
ketika banyak tudingan KPU/KPUD mengabaikan rekomendasi pengawas pemilu,
lahirlah pasal-pasal pidananya. Hal itu masih ditambah diperkuatnya posisi
pengawas pemilu menjadi badan tetap. Lahirlah DKPP yang menyoroti etika
penyelenggara pemilu. Maka, KPU/KPUD kini bekerja di bawah ancaman pidana dan
pemecatan.
Sikap
kedua, begitu mudahnya kita mengancam banyak hal dengan ancaman pidana. Hal
ini bukanlah khas UU Pemilu. Hampir semua UU memiliki ancaman pidana.
Kecenderungannya pun makin lama makin berat dan makin banyak, dibuat secara kumulatif (pidana dan penjara), ada
pidana minimal khusus, dan sebagainya. Intinya sanksi pidana dianggap bisa
menanggulangi berbagai persoalan, termasuk masalah-masalah dalam pemilu.
Sebenarnya,
bukan maksud penulis menghilangkan tanggung jawab pidana dari penyelenggara
pemilu. Jika penyelenggara pemilu menerima uang untuk mengubah hasil
pemungutan suara atau rekapitulasi suara, ya, memang pantas diancam pidana.
Jika penyelenggara pemilu sengaja menghambat proses pemilu sehingga
menimbulkan ketidakpastian kenegaraan, pantas diancam pidana.
Subyek tindak pidana
Di
sejumlah negara, subyek atau pelaku tindak pidana pemilu juga bisa berbagai
kalangan, seperti peserta pemilu, pemilih, pemantau, penyelenggara, dan
anggota polisi/militer. Mereka yang menjadi subyek tindak pidana, bukan
lembaganya. Salah satu kekeliruan UU Nomor 8 Tahun 2012 adalah kadang lembaga
diancam pidana, tetapi ancaman pidananya tidak nyambung. Lembaga tentu tidak
bisa diancam penjara, hanya bisa diancam denda, sementara di UU tersebut
ancamannya kumulatif penjara dan denda.
Dalam
kehebohan rekapitulasi beberapa hari lalu, semua pihak tenggelam dalam
ketidakmampuan KPU melakukan tugasnya secara cepat dan jawabannya, seperti
biasa di negara kita: perpu dan diseret ke meja hijau dengan sanksi pidana.
Ke depan, hal ini tidak boleh terjadi lagi. Setiap kali pemilu kita heboh,
seakan negara darurat dan anggota KPU diancam pidana. Seharusnya dicari apa
akar masalahnya sehingga rekapitulasi bisa molor dan tidak cepat hingga
membuat jantung hampir copot.
Apa akar
masalahnya? Menurut hemat penulis, kehebohan di atas terjadi karena terlalu
lamanya proses rekapitulasi di level di bawah (PPS, PPK, KPU kabupaten/kota
dan provinsi). Mengapa lama? Sebab, pemungutan suara dan penghitungan suara
dilakukan secara manual. Teknis penghitungan suara secara manual
mengakibatkan dua hal. Pertama, terlalu lama prosesnya diselingi berbagai
keberatan/protes dan sebagainya. Kedua, maraknya kecurangan, penyuapan
terhadap petugas, penggelembungan suara, dan jual beli suara.
Masalah
di atas harus diatasi dengan perubahan sistem atau mekanisme pemilu, bukan
kriminalisasi. Apa solusinya? Mahkamah Konstitusi dalam putusannya sudah
memungkinkan diselenggarakannya e-voting.
Namun, melaksanakan e-voting di
Indonesia saat ini masih banyak kendala dan banyak pihak keberatan. Saya
lebih memilih, kita menggunakan e-counting,
yakni penghitungan secara elektronik, bukan pemungutannya. Kita perlu rapid and objective result. Proses sekarang
ini kurang menjamin kedua hal ini.
Dengan
mekanisme ini, beberapa jam sesudah pemungutan suara di TPS surat suara yang
terbaca dengan mesin pemindai (scanner)
dikirim dengan teknologi. Beberapa jam setelah itu, mungkin 90 persen hasil
pemungutan suara di TPS terkumpul di kabupaten/kota, provinsi, hingga pusat.
Perlu dicatat bahwa di TPS kondisi cukup bersih dan transparan serta banyak
saksi.
Kecurangan
banyak terjadi dalam perjalanan suara dari TPS ke PPS, PPK, dan seterusnya.
Dengan e-counting, semua itu tidak
terjadi karena suara langsung dikirim ke kabupaten/kota, provinsi, dan pusat.
Penerapan
ini bukan tanpa masalah dan kritik. Tentu saja ada isu teknologi, logistik,
akseptabilitas, dan perlu security
measures atau pelindung mekanisme ini dari berbagai penyimpangan. Ancaman
pidana tetap diperlukan bagi pihak yang mengganggu sistem ini bekerja. Ini
justru tantangannya. Membangun sistem yang aman, cepat, dan obyektif. Siapkah
kita? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar