Warisan
Yudhoyono
Eep
Saefulloh Fatah ; Pendiri dan Pemimpin PolMark Indonesia Inc,
Pusat Riset dan Konsultasi Political Marketing
|
KOMPAS,
08 Mei 2014
Sejarah
Reformasi mengajarkan, mempertahankan kekuasaan di tengah sistem demokratis
yang dinamis dan kompetitif tantangan tak mudah. Pergantian cepat dari
Presiden BJ Habibie ke Abdurrahman Wahid, lalu ke Megawati Soekarnoputri,
kemudian ke Susilo Bambang Yudhoyono membuktikan itu. SBY-lah yang kemudian
terbukti bisa mengelola tantangan tak mudah itu. Jika tak ada aral melintang,
20 Oktober 2014 nanti usia kepresidenannya genap 10 tahun. Pertanyaannya,
dengan berkesempatan memimpin satu dekade, adakah yang diwariskan SBY? Jika
ada, apa?
Kepemimpinan adaptif
Warisan
penting SBY adalah memperkenalkan sebuah gaya baru dalam kepemimpinan
politik. Saya ingin menyebutnya ”kepemimpinan adaptif”. Gaya kepemimpinan
adaptif adalah resep di balik sukses SBY bertahan dua termin. Alih-alih
bertarung secara keras dengan politisi dan partai-partai, SBY justru
beradaptasi dengan mereka. Adaptasi dilakukan SBY terutama ketika berhadapan
dengan tiga hal: (1) preferensi publik pada isu-isu politik dan ekonomi
besar; (2) kepentingan politisi dan partai-partai untuk ikut memerintah (dan
menikmati keuntungan darinya); dan (3) potensi resistensi parlemen berkaitan
kebijakan pokok.
SBY
adalah presiden yang dilahirkan oleh sistem pemilihan presiden langsung. Ia
tahu benar suara pemilih adalah palu hakim yang bisa memvonis dirinya (dan
partai yang ia kelola) dengan kejam dalam pemilu berikutnya. Karena itu, ia
tahu benar arti penting menampilkan wajah ramah di hadapan pemilih. Bagi SBY,
popularitas di hadapan calon pemilih adalah vital, sekalipun bukan segalanya.
Bagi
pemimpin adaptif, kebijakan terbaik adalah kebijakan populis. Jika perlu,
aspek teknokratis dari kebijakan bisa sewaktu-waktu diabaikan atas nama
pemeliharaan popularitas. Tetapi, SBY tahu, vonis publik itu terutama
mengancam saat pemilu mendekat. Di luar masa pemilu, ia berbagi kue secara
layak dengan para politisi dan partai-partai jadi keharusan yang tak
terhindarkan. Maka, dalam dua termin pemerintahannya, SBY senantiasa berusaha
menghimpun lebih dari 75 persen kekuatan partai dalam rangkulan koalisinya
(76,4 persen dalam periode 2004-2009 dan 75,5 persen selama 2009-2014).
Dalam
praktiknya, koalisi tambun itu memang berjalan terseok-seok karena miskin
disiplin. Tapi, harus diakui, tanpa koalisi ini, SBY mudah didorong ke
pinggir jurang oleh lawan politiknya. Sekalipun miskin disiplin, dalam
keadaan genting, koalisi itu bisa berlaku sebagai pagar di sepanjang tebing
jurang itu. Persoalannya, koalisi besar minus disiplin akan bekerja berbasis
”teori” Annie dan teman-temannya. Dalam buku anak bergambar, Annie and the
Wild Animals (1985), Jan Brett menceritakan pertemanan manis Annie dengan
para binatang penghuni sebuah hutan musim dingin. Annie senang membagikan kue
jagung ke teman-temannya.
Tapi, makin lama ia makin direpotkan oleh ketidakseimbangan
antara jumlah kue jagungnya yang terbatas dan jumlah pencari kue yang terus
bertambah. Makin hari situasi pertemanan semakin rawan pertikaian. Hanya
kemampuan Annie beradaptasi dengan tuntutan para pemakan kue yang bisa
menyelamatkan keadaan.
Begitulah,
SBY beradaptasi dengan keadaan semacam itu dengan cara membiarkan banyak
kebijakan pokok dikelola oleh tiap-tiap peserta koalisi. Prinsip kerjanya
”politik swalayan”. Para peserta koalisi dibiarkan mencari cara sendiri
memetik keuntungan dari pos dan jabatan yang sudah terbagi. Yang diperlukan
dari sang pemimpin hanya sikap permisif. Berbagai kasus di peradilan korupsi
yang melibatkan banyak pejabat dan sejumlah kementerian adalah buah dari
prinsip kerja politik swalayan itu.
Menilik
apa yang sudah dan sedang dilakukan SBY dalam konteks di atas, tak dibutuhkan
perdebatan sengit untuk menyebut SBY ”sang master adaptasi politik”.
Kepiawaiannya beradaptasi mengingatkan kita pada salah satu unsur hukum
evolusi: yang kerap kali bisa bertahan bukanlah yang paling kuat, tapi yang
paling adaptif.
Warisan sistemik
Kepiawaian
adaptasi politik SBY selama dua termin telah membuat SBY bisa menggapai
banyak ”capaian harian”. ”Capaian harian” adalah keberhasilan kinerja
pemerintahan mengelola kebijakan sehari-hari. Indikatornya data statistik
pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, jumlah orang miskin, dan
lain-lain.
Tapi,
inilah pokok persoalannya. Di bawah kendali politik adaptasi, capaian harian
mesti digapai dengan biaya amat mahal: terbengkalainya perbaikan sistemik.
Selama 10 tahun terakhir, pemerintahan sibuk mengurusi capaian harian, tapi
abai pada penguatan sistem demokrasi. Walhasil, sulit menemukan warisan
sistemik SBY. Akibat tak ada penataan sistemik yang saksama, sekadar contoh,
mekanisme transaksi makin mencengkeram dan memenjarakan demokrasi. Dalam 10
tahun terakhir, tak ada langkah berarti SBY untuk menata pendanaan politik (political financing) yang sangat
krusial bagi kesehatan sistem demokrasi.
Ada tiga
jenis langkah yang semestinya dilakukan. Pertama, mengatur aliran masuk dana
ke politisi dan partai. Dalam kerangka ini, yang diregulasi batas atas jumlah
dana yang boleh diterima, mekanisme akuntabilitas publiknya, dan transparansi
informasi aliran dana masuk itu.
Kedua,
mengatur ihwal dana keluar dari politisi dan partai. Selayaknya diatur dalam
kaitan ini batas atas pembelanjaan iklan politik dan dana kontestasi,
proporsi besaran dana kontestasi dengan situasi keuangan daerah/nasional
tempat kompetisi berlangsung, mekanisme akuntabilitas publiknya, dan
transparansi aliran dana keluar itu.
Ketiga,
mengatur larangan berikut sanksinya bagi praktik balas budi finansial. Aspek
ini berkait dengan larangan bagi para penyumbang dana bagi politisi dan
partai untuk mendapat imbal balik melalui kebijakan-kebijakan yang memihak
setelah politisi dan partai itu mengendalikan jabatan publik. Dalam 10 tahun
terakhir, SBY hanya berhasil menyentuh aspek pertama dan abai pada dua aspek
sisanya. Langkah sepertiga hati ini pun tak menghasilkan perbaikan sistemik.
Dibandingkan keadaan 2004, keadaan transaksi politik berbasis politik uang
saat ini alih-alih membaik, malah jauh lebih buruk.
Mengapa
kita berharap pada presiden sementara partai-partai dalam parlemen sama-sama
punya otoritas membuat regulasi? Sederhana: regulasi pendanaan politik yang
akan meredam politik transaksi berbasis uang akan serta-merta ditolak partai
karena bakal mengganggu kepentingan pragmatis mereka. Sebagaimana terjadi di
banyak negara demokrasi baru, presidenlah selayaknya jadi petarung politik
dan memperjuangkan regulasi krusial semacam itu berhadapan dengan politisi
dan partai penentangnya. Tapi, prinsip kepemimpinan adaptif menjauhkan SBY
dari kualitas petarung politik itu. Ia justru sibuk beradaptasi dengan
kepentingan pragmatis politisi dan partai. Atas nama adaptasi, prinsip kerja
kepemimpinannya menjadi ”ketika pemilu presiden usai, bakti pada negara
dimulai, tapi bakti pada partai tak boleh berakhir”.
Di luar
contoh politik uang, cengkeraman transaksi, dan regulasi pendanaan politik
itu, kita bisa membuat daftar panjang contoh lain setara. Semua menunjukkan,
sukses SBY bertahan menggunakan jurus kepemimpinan adaptif membuatnya tak
meninggalkan warisan sistemik bagi penyehatan demokrasi. Walhasil, menjelang
akhir masa jabatannya, SBY akan bersusah payah menjawab pertanyaan: ”Warisan sistemik apakah yang Anda
tinggalkan untuk Indonesia?” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar