Kamis, 08 Mei 2014

Makna Pemilu bagi Rakyat

Makna Pemilu bagi Rakyat

Dyayadi Hanan  ;   Direktur Riset SMRC; Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina
KOMPAS,  08 Mei 2014
                                               
                                                                                         
                                                      
Sesudah Pemilu Legislatif 9 April lalu, jagat politik Indonesia dipenuhi hiruk-pikuk manuver elite partai. Hasil hitung cepat berbagai lembaga dijadikan pijakan awal dalam membangun koalisi partai/elite untuk memperoleh tiket pemilihan presiden yang segera digelar. Kita disuguhi aneka drama kepentingan elite partai meski dibungkus dengan retorika kepentingan bangsa atau rakyat.

Pemilu semestinya tidak hanya dijadikan arena bagi pertarungan untuk pemenuhan kepentingan elite, tetapi juga harus jadi bagian dari perjuangan untuk memenuhi kepentingan rakyat atau bangsa. Kepentingan rakyat di antaranya tecermin dari pemaknaan yang mereka berikan terhadap pemilu legislatif yang lalu.  Selain itu, masyarakat tentu memiliki sikap dan harapan tersendiri yang didasarkan pada evaluasi terhadap demokratisasi, kinerja pemerintah, dan pelaksanaan pemilu yang diproyeksikannya ke masa depan.

Elite partai atau pemimpin politik seharusnya menggenggam semangat rakyat, tak hanya larut dengan berbagai transaksi dan permainan politik, khususnya menyongsong Pilpres 9 Juli.

Evaluasi atas demokrasi

Pemilu legislatif adalah bagian integral dari demokrasi. Memasuki Pemilu 2014, masyarakat ditengarai memiliki berbagai pertanyaan atas demokrasi dan kinerjanya. Exit poll yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dan Lembaga Survei Indonesia (LSI), 9 April lalu, menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih bersikap positif terhadap demokrasi. Sikap positif ini cenderung konsisten dalam tiga tahun terakhir.

Sebanyak 57 persen masyarakat pemilih menganggap bahwa demokrasi—dengan segala kekurangannya—adalah sistem politik terbaik dibandingkan dengan yang lain. Survei SMRC dari waktu ke waktu menunjukkan bahwa angka ini cenderung stabil sejak 2011 (58 persen), 2012 (55 persen), dan 2013 (58 persen). Ini berarti, sekalipun politik kita sering terlihat gaduh dan hiruk-pikuk, terutama dalam pemberitaan media, komitmen masyarakat Indonesia terhadap demokrasi cenderung kuat dan stabil.

Tingkat kepuasan masyarakat atas praktik demokrasi juga cenderung stabil pada angka positif. Dalam exit poll itu, 64,2 persen pemilih menyatakan cukup puas atau sangat puas dengan praktik demokrasi yang berjalan. Angka ini lebih baik daripada temuan tahun lalu ketika hanya 49,6 persen masyarakat menyatakan puas atau cukup puas dengan kinerja demokrasi. Tingkat ketakpuasan masyarakat juga menurun dari 42 persen (2013) menjadi 28,3 persen (April 2014).

Yang agak rendah adalah evaluasi masyarakat terhadap kinerja pemerintahan. Meski evaluasi masyarakat terhadap kinerja Presiden SBY masih dalam level positif (53 persen), jika evaluasi itu dikaitkan dengan aspek politik, penegakan hukum, dan pemberantasan korupsi, hasilnya menunjukkan persepsi masyarakat cenderung buruk. Pada akhir 2013, sekitar 34 persen masyarakat menilai kondisi politik kita buruk, hanya kurang dari 25 persen yang menganggapnya baik.

Dari segi penegakan hukum, lebih dari 40 persen masyarakat kita menganggapnya buruk dan 26 persen yang menganggap penegakan hukum kita baik. Hal sama terjadi untuk kondisi pemberantasan korupsi. Hampir 80 persen masyarakat menganggap korupsi kian banyak terjadi.

Evaluasi yang rendah ini harus menjadi catatan penting bagi pemerintahan ke depan. Bisa jadi penilaian masyarakat itu lebih banyak terkait dengan persepsi, tetapi tentu persepsi itu tak dapat dilepaskan dari realitas yang ada. Memperbaikinya  bukanlah hal sulit mengingat dukungan dan komitmen masyarakat terhadap demokrasi masih positif meskipun dalam level yang sedang.

Evaluasi terhadap pemilu

Exit poll SMRC dan LSI 9 April lalu juga menunjukkan sikap masyarakat yang positif terhadap pemilu. Yang menarik, meski masyarakat tahu bahwa pemilu adalah hak, mayoritas masyarakat (93,3 persen) menganggap bahwa mengikuti pemilu adalah kewajiban. Bahkan, di antara yang menganggap mengikuti pemilu itu tak wajib, mereka tetap ikut pemilu karena khawatir pemilu akan gagal atau khawatir calon/ partai yang mereka inginkan tak menang (66,2 persen). Jadi, masyarakat menganggap pemilu sangat serius. Berpartisipasi dalam pemilu bagi mereka adalah wujud kepedulian terhadap nasib mereka sendiri dan juga bangsa.

Sepanjang pengalaman mereka di tempat pemungutan suara (TPS), masyarakat menganggap pelaksanaan pemilu cukup atau sangat jujur dan adil (81,3 persen). Konsisten dengan penilaian itu, 88,2 persen pemilih menyata- kan puas dengan pelaksanaan pemilu 9 April lalu. Ini mengisya- ratkan kepada kita, terutama para elite politik yang menduduki kursi legislatif, agar jangan merusak citra positif pemilu.

Maraknya pemberitaan soal kecurangan dalam rekapitulasi, seperti jual beli suara, baik antarpartai maupun internal partai yang terjadi bukan di TPS, pasti akan melukai hati masyarakat. Jangan lupa, masyarakat punya cara sendiri menghukum para elite yang mempermainkan mandat dan suara pemilih.

Yang juga sangat penting, mayoritas masyarakat (79,7 persen) menggantungkan harapan pada Pemilu 2014. Mayoritas mutlak ini memiliki harapan sekaligus keyakinan bahwa pemilu akan menghasilkan wakil rakyat yang akan bekerja membuat negara ini lebih baik.

Dengan sikap positif terhadap demokrasi dan optimistis terhadap hasil pemilu, wajar jika masyarakat menaruh harapan lebih baik di masa depan. Masyarakat tahu dan merasakan  bahwa kondisi ekonomi saat ini  buruk. Mayoritas pemilih (57,3 persen) merasa keadaan ekonomi sekarang tak ada perubahan atau lebih buruk daripada tahun lalu. Hanya 41,8 persen yang merasa ekonomi sekarang lebih baik atau jauh lebih baik daripada tahun lalu.

Optimisme masyarakat pemilih ditunjukkan data exit poll. Mayoritas (71,1 persen) yakin bahwa ekonomi negara kita akan lebih baik atau jauh lebih baik di tahun depan. Masyarakat juga berharap pemberantasan korupsi, penegakan hukum, dan pelaksanaan proses politik akan membaik dan lebih berpihak kepada kepentingan rakyat.

Dengan memberi pemaknaan pemilu yang demikian, tampaknya masyarakat tak terlalu peduli dengan intrik-intrik politik dan peta koalisi yang masih tak terlihat bentuknya hingga sekarang. Hendaknya para elite yang sedang mematut-matut diri saling pinang dan berbagi jabatan selalu ingat dengan makna pemilu yang diberikan rakyat pemilih. Dengan demikian, diskursus dan praktik penjajakan dan pembentukan koalisi untuk pemenangan presiden tak boleh melupakan bahwa bentuk dan proses pemerintahan ke depan harus menempatkan pemaknaan pemilu oleh rakyat ini di tempat utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar