Visi
Reformasi : Ilusi
Moh
Yamin ; Mantan
Mahasiswa Aktivis,
Dosen di
Universitas Lambung Mangkurat (Unlam), Banjarmasin
|
SINAR
HARAPAN, 13 Mei 2014
Reformasi
1998 yang ditandai tragedi Trisakti 12 Mei, kemudian berlanjut pada 21 Mei
yang berbentuk lengsernya Soeharto dari singgasananya merupakan awal era baru
bagi kehidupan berbangsa di negeri ini secara multidimensi.
Rakyat
Indonesia selanjutnya berharap, Reformasi memberikan angin baru bagi seluruh
sendi kehidupan di republik tercinta ini, baik politik, ekonomi, pendidikan,
hukum, budaya, ekonomi, dan lain sebagainya.
Permasalahannya,
kendati pun usia Reformasi sudah berjalan lebih dari 16 tahun, tepat pada 21
Mei 2014, ternyata belum menampakkan hasil nyata dan konkret bagi perubahan
bangsa ini. Rakyat tetap miskin. Hukum masih abu-abu. Politik masih kental
intrik-mengintrik. Ekonomi tetap berpihak kepada para kapitalis dan begitu
seterusnya.
Setiawan
Djody dengan mengutip pendapat Ronald Reagan mengatakan, “Kita adalah sebuah
bangsa yang memiliki pemerintahan, bukan sebaliknya.” (Reformasi dan
Elemen-elemen Revolusi, 20096). Pertanyaannya, apakah bangsa ini sudah
memiliki pemerintah ataukah pemerintahan yang menguasa bangsa ini
Pengertiannya,
bila bangsa ini mempunyai pemerintahan, itu akan dijalankan dengan semangat
keterbukaan, kejujuran, profesionalisme, dan begitu seterusnya. Sementara
itu, bila pemerintahannya menguasai bangsa, di sini terjadi sebuah bentuk
pemerintahan yang dilakukan atas dasar kepentingan pribadi dan golongan,
dikerjakan secara sewenang-wenang, ditunaikan demi melancarkan agenda
sektarian untuk tercapainya sebuah kepentingan sesaat.
Terlepas
apa pun jawabannya, paling jelas di depan mata, pemerintahan kita adalah
bentuk pemerintahan yang sudah dikuasai para bandit yang sudah tidak lagi
memikirkan kepentingan bangsa di atas segala-galanya.
Para
bandit tersebut justru berada dalam lingkungan pemerintahan yang semata berkehendak
memuaskan libido politiknya, tanpa membangkitkan kesadaran politik sangat
profetis serta konstruktif bagi keterwujudan masyarakat yang steril dari
kemiskinan dan lain sebagainya. Inilah yang dikhawatirkan Setiawan Djodi,
memang kita belum keluar dari kubangan pemerintahan yang kerdil dan represif.
Walaupun
sudah berkali-kali berganti presiden saat Reformasi, tetap saja gaya
kepemimpinan yang dibuat bukanlah bernurani rakyat dan kerakyatan. Setiap
pemimpin selalu meletakkan program pribadi dan golongan sebagai panglima yang
harus ditunaikan terlebih dahulu.
Presiden
produk Reformasi tetap memertahankan strategi dan tujuan berperang melawan
rakyat, menjadikan rakyat sebagai tumbalnya, membodohi rakyat, dan melahirkan
kebijakan-kebijakan yang eksklusif sehingga melukai nurani rakyat, merugikan
kepentingan bersama di atas segala-galanya, mengabaikan hak dasar setiap
rakyat agar mereka mendapatkan pelayanan terbaik dari negara.
Pemerintah
dan yang menjalankannya sudah absen terhadap mandat tersebut. Mereka sangat
abai terhadap segala kebutuhan dan kepentingan rakyat, lebih menjatuhkan
politik supaya agenda yang sebatas bermuara kepada pemenuhan personal dan
koletif an sich menjadi sebuah hal yang niscaya untuk digelar dengan
sedemikian rupa.
Apakah
rakyat akan semakin berada dalam lubang kenestapaan akibat akrobat
pemerintahan yang sangat luar biasa anarkistis dan destruktif Para bandit
yang berkuasa di takhta kekuasaannya menutup mata dan telinga dengan
sedemikian rapatnya. Reformasi, dengan demikian, hanya menguntungkan sejumlah
pihak yang sedang mengejar kekuasaan.
Reformasi
bukanlah dimaknai sebagai gerakan dan pergerakan sangat fundamental untuk
mengubah cara pandang dan berpikir dari tutup menuju terbuka, dari destruktif
menuju dinamis, dari statis menuju dinamis.
Reformasi
bukan dimaknai sebuah jendela untuk menatap hari esok yang lebih baik bagi
kemaslahatan bersama. Reformasi bukan pula ditujukan menciptakan impian-impian
bersama yang bernama pemerintahan yang bersih, rakyat yang cerdas, rakyat
yang sejahtera, dan begitu seterusnya.
Visi
reformasi sebagaimana yang diteriakkan aktivis mahasiswa hingga harus
menggadaikan nyawanya kemudian menjadi sebuah ilusi belaka yang tidak pernah
diperjuangkan para elite negeri ini.
Jalan Buntu
Pertanyaan
selanjutnya, apakah mereka yang kini menjadi pejabat atau elite di negeri ini
sudah kehilangan tanggung jawab untuk bisa berbicara menggunakan suara hati
nurani Jauh-jauh hari, Plato dalam magnum opus-nya berjudul “Republik”
mengatakan, pemimpin yang dekat dengan rakyat adalah mereka yang bisa
mendengar suara rakyat, menerjemahkan suara-suara rakyat dalam bentuk
kebijakan-kebijakan pro rakyat.
Mereka
yang mampu mendengar dan menerjemahkan suara hati nurani rakyat selanjutnya
disebut para filsuf atau memiliki kebijaksanaan tingkat tinggi sehingga
setiap keputusan atau kebijakan yang diambilnya selalu berpatokan kepada jiwa
kearifan dan kebijaksanaan, menggunakan nalar semangat membangun kehidupan
bangsa yang dibalut dengan kebaikan dan kebajikan. Mereka kemudian dinamakan
para negarawan.
Sementara
itu, mereka yang justru sudah mengabaikan jiwa kearifan dan kebijaksanaan
kemudian disebut para politikus yang hanya berpandangan ibarat kacamata kuda,
tidak meluas, sangat sempit. Analoginya, Reformasi telah gagal melahirkan
para negarawan yang bisa menuntaskan persoalan-persoalan bangsa ini.
Reformasi berada di jalan buntu yang kemudian tidak berujung kepada jalan
yang terang, jelas, dan konkret ke hasil yang semestinya dituju.
Reformasi
hanya memproduksi para politikus yang lebih suka menjilat sana-sini, saling
menjatuhkan, saling membunuh, saling memfitnah, saling bertengkar karena
hanya persoalan pembagian kekuasaan serta kursi yang tidak sama dan begitu
seterusnya (baca pemilu ke pemilu saat Reformasi).
Reformasi
semakin menjauhkan kehidupan bangsa yang beradab. Reformasi justru menjadi
kuda tunggangan sejumlah kelompok yang lebih mengejar kekuasaan dengan
mencoba menghalalkan cara. Mereka yang berada di takhta kekuasaan seolah
berjuang demi kepentingan rakyat, namun kenyataannya nol. Mereka yang sudah
diamanati memenuhi hajat hidup orang banyak ternyata melakukan pengingkaran
janji, melakukan kebohongan serta pembohongan publik.
Pepesan Kosong
Hal yang
harus dipersoalkan, apakah Reformasi kini hanya sebatas pepesan kosong yang
tidak bermakna Ia diproduksi bukan lagi sebagai gerakan membawa perubahan
yang lebih baik ke depannya. Ia tidak lagi memiliki kontribusi signifikan
bagi arah perjalanan bangsa ini. Reformasi yang dilakukan sudah kehilangan
orientasi karena dibajak para politiskus yang bermental koruptif.
Kini
publik mulai meragukan implimentasi Reformasi, apakah benar-benar ditujukan
membenahi dan memperbaiki sendi-sendi kehidupan berbangsa atau hanya jargon
belaka.
Rakyat
sekali lagi jangan selalu diperalat guna sebuah tujuan yang sangat luar biasa
elitis dan eksklusif. Rakyat sudah terlalu lama hidup dalam penjara
kemelaratan. Mereka sudah terlalu cukup sabar dan nrimo terhadap yang selama
ini dilakukan negara. Walaupun bersikap demikian, rakyat bukan berarti selalu
diam tanpa bereaksi dan beraksi.
Ibarat
api dalam sekam, mereka suatu saat bisa menjadi api besar yang membakar apa
yang ada di sekitar. Kini, negara (pemerintah) harus segera membangun
kesadaran kritis dan profetis untuk mampu memelototi keadaan di tengah
kehidupan rakyat, bukan selalu berada di atas menara gading.
Melakukan
yang terbaik untuk bangsa sebagai amanat Reformasi 1998 merupakan sebuah hal
niscaya untuk dibumikan. Rakyat menunggu kerja konkret negara, bukan hanya
pintar beretorika untuk membenarkan diri. Apakah kinerja kepemimpinan
nasional pasca Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden 2014 akan sama
dengan kepemimpinan nasional sebelumnya atau lebih baik? Kita tunggu saja
kinerja konkretnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar