Rabu, 14 Mei 2014

Visi Reformasi : Ilusi

Visi Reformasi : Ilusi

Moh Yamin  ;   Mantan Mahasiswa Aktivis,
Dosen di Universitas Lambung Mangkurat (Unlam), Banjarmasin
SINAR HARAPAN,  13 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Reformasi 1998 yang ditandai tragedi Trisakti 12 Mei, kemudian berlanjut pada 21 Mei yang berbentuk lengsernya Soeharto dari singgasananya merupakan awal era baru bagi kehidupan berbangsa di negeri ini secara multidimensi.

Rakyat Indonesia selanjutnya berharap, Reformasi memberikan angin baru bagi seluruh sendi kehidupan di republik tercinta ini, baik politik, ekonomi, pendidikan, hukum, budaya, ekonomi, dan lain sebagainya.

Permasalahannya, kendati pun usia Reformasi sudah berjalan lebih dari 16 tahun, tepat pada 21 Mei 2014, ternyata belum menampakkan hasil nyata dan konkret bagi perubahan bangsa ini. Rakyat tetap miskin. Hukum masih abu-abu. Politik masih kental intrik-mengintrik. Ekonomi tetap berpihak kepada para kapitalis dan begitu seterusnya.

Setiawan Djody dengan mengutip pendapat Ronald Reagan mengatakan, “Kita adalah sebuah bangsa yang memiliki pemerintahan, bukan sebaliknya.” (Reformasi dan Elemen-elemen Revolusi, 20096). Pertanyaannya, apakah bangsa ini sudah memiliki pemerintah ataukah pemerintahan yang menguasa bangsa ini

Pengertiannya, bila bangsa ini mempunyai pemerintahan, itu akan dijalankan dengan semangat keterbukaan, kejujuran, profesionalisme, dan begitu seterusnya. Sementara itu, bila pemerintahannya menguasai bangsa, di sini terjadi sebuah bentuk pemerintahan yang dilakukan atas dasar kepentingan pribadi dan golongan, dikerjakan secara sewenang-wenang, ditunaikan demi melancarkan agenda sektarian untuk tercapainya sebuah kepentingan sesaat.

Terlepas apa pun jawabannya, paling jelas di depan mata, pemerintahan kita adalah bentuk pemerintahan yang sudah dikuasai para bandit yang sudah tidak lagi memikirkan kepentingan bangsa di atas segala-galanya.

Para bandit tersebut justru berada dalam lingkungan pemerintahan yang semata berkehendak memuaskan libido politiknya, tanpa membangkitkan kesadaran politik sangat profetis serta konstruktif bagi keterwujudan masyarakat yang steril dari kemiskinan dan lain sebagainya. Inilah yang dikhawatirkan Setiawan Djodi, memang kita belum keluar dari kubangan pemerintahan yang kerdil dan represif.

Walaupun sudah berkali-kali berganti presiden saat Reformasi, tetap saja gaya kepemimpinan yang dibuat bukanlah bernurani rakyat dan kerakyatan. Setiap pemimpin selalu meletakkan program pribadi dan golongan sebagai panglima yang harus ditunaikan terlebih dahulu.

Presiden produk Reformasi tetap memertahankan strategi dan tujuan berperang melawan rakyat, menjadikan rakyat sebagai tumbalnya, membodohi rakyat, dan melahirkan kebijakan-kebijakan yang eksklusif sehingga melukai nurani rakyat, merugikan kepentingan bersama di atas segala-galanya, mengabaikan hak dasar setiap rakyat agar mereka mendapatkan pelayanan terbaik dari negara.

Pemerintah dan yang menjalankannya sudah absen terhadap mandat tersebut. Mereka sangat abai terhadap segala kebutuhan dan kepentingan rakyat, lebih menjatuhkan politik supaya agenda yang sebatas bermuara kepada pemenuhan personal dan koletif an sich menjadi sebuah hal yang niscaya untuk digelar dengan sedemikian rupa.

Apakah rakyat akan semakin berada dalam lubang kenestapaan akibat akrobat pemerintahan yang sangat luar biasa anarkistis dan destruktif Para bandit yang berkuasa di takhta kekuasaannya menutup mata dan telinga dengan sedemikian rapatnya. Reformasi, dengan demikian, hanya menguntungkan sejumlah pihak yang sedang mengejar kekuasaan.

Reformasi bukanlah dimaknai sebagai gerakan dan pergerakan sangat fundamental untuk mengubah cara pandang dan berpikir dari tutup menuju terbuka, dari destruktif menuju dinamis, dari statis menuju dinamis.

Reformasi bukan dimaknai sebuah jendela untuk menatap hari esok yang lebih baik bagi kemaslahatan bersama. Reformasi bukan pula ditujukan menciptakan impian-impian bersama yang bernama pemerintahan yang bersih, rakyat yang cerdas, rakyat yang sejahtera, dan begitu seterusnya.

Visi reformasi sebagaimana yang diteriakkan aktivis mahasiswa hingga harus menggadaikan nyawanya kemudian menjadi sebuah ilusi belaka yang tidak pernah diperjuangkan para elite negeri ini.

Jalan Buntu

Pertanyaan selanjutnya, apakah mereka yang kini menjadi pejabat atau elite di negeri ini sudah kehilangan tanggung jawab untuk bisa berbicara menggunakan suara hati nurani Jauh-jauh hari, Plato dalam magnum opus-nya berjudul “Republik” mengatakan, pemimpin yang dekat dengan rakyat adalah mereka yang bisa mendengar suara rakyat, menerjemahkan suara-suara rakyat dalam bentuk kebijakan-kebijakan pro rakyat.

Mereka yang mampu mendengar dan menerjemahkan suara hati nurani rakyat selanjutnya disebut para filsuf atau memiliki kebijaksanaan tingkat tinggi sehingga setiap keputusan atau kebijakan yang diambilnya selalu berpatokan kepada jiwa kearifan dan kebijaksanaan, menggunakan nalar semangat membangun kehidupan bangsa yang dibalut dengan kebaikan dan kebajikan. Mereka kemudian dinamakan para negarawan.

Sementara itu, mereka yang justru sudah mengabaikan jiwa kearifan dan kebijaksanaan kemudian disebut para politikus yang hanya berpandangan ibarat kacamata kuda, tidak meluas, sangat sempit. Analoginya, Reformasi telah gagal melahirkan para negarawan yang bisa menuntaskan persoalan-persoalan bangsa ini. Reformasi berada di jalan buntu yang kemudian tidak berujung kepada jalan yang terang, jelas, dan konkret ke hasil yang semestinya dituju.

Reformasi hanya memproduksi para politikus yang lebih suka menjilat sana-sini, saling menjatuhkan, saling membunuh, saling memfitnah, saling bertengkar karena hanya persoalan pembagian kekuasaan serta kursi yang tidak sama dan begitu seterusnya (baca pemilu ke pemilu saat Reformasi).

Reformasi semakin menjauhkan kehidupan bangsa yang beradab. Reformasi justru menjadi kuda tunggangan sejumlah kelompok yang lebih mengejar kekuasaan dengan mencoba menghalalkan cara. Mereka yang berada di takhta kekuasaan seolah berjuang demi kepentingan rakyat, namun kenyataannya nol. Mereka yang sudah diamanati memenuhi hajat hidup orang banyak ternyata melakukan pengingkaran janji, melakukan kebohongan serta pembohongan publik.

Pepesan Kosong

Hal yang harus dipersoalkan, apakah Reformasi kini hanya sebatas pepesan kosong yang tidak bermakna Ia diproduksi bukan lagi sebagai gerakan membawa perubahan yang lebih baik ke depannya. Ia tidak lagi memiliki kontribusi signifikan bagi arah perjalanan bangsa ini. Reformasi yang dilakukan sudah kehilangan orientasi karena dibajak para politiskus yang bermental koruptif.

Kini publik mulai meragukan implimentasi Reformasi, apakah benar-benar ditujukan membenahi dan memperbaiki sendi-sendi kehidupan berbangsa atau hanya jargon belaka.

Rakyat sekali lagi jangan selalu diperalat guna sebuah tujuan yang sangat luar biasa elitis dan eksklusif. Rakyat sudah terlalu lama hidup dalam penjara kemelaratan. Mereka sudah terlalu cukup sabar dan nrimo terhadap yang selama ini dilakukan negara. Walaupun bersikap demikian, rakyat bukan berarti selalu diam tanpa bereaksi dan beraksi.

Ibarat api dalam sekam, mereka suatu saat bisa menjadi api besar yang membakar apa yang ada di sekitar. Kini, negara (pemerintah) harus segera membangun kesadaran kritis dan profetis untuk mampu memelototi keadaan di tengah kehidupan rakyat, bukan selalu berada di atas menara gading.

Melakukan yang terbaik untuk bangsa sebagai amanat Reformasi 1998 merupakan sebuah hal niscaya untuk dibumikan. Rakyat menunggu kerja konkret negara, bukan hanya pintar beretorika untuk membenarkan diri. Apakah kinerja kepemimpinan nasional pasca Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden 2014 akan sama dengan kepemimpinan nasional sebelumnya atau lebih baik? Kita tunggu saja kinerja konkretnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar