Rabu, 14 Mei 2014

Bung Hatta : Wapres Merangkap Perdana Menteri

Bung Hatta : Wapres Merangkap Perdana Menteri

Parni Hadi  ;   Wartawan dan Aktivis Sosial
SINAR HARAPAN,  13 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Menentukan calon wakil presiden (cawapres) ternyata tidak lebih mudah daripada menetapkan calon presiden (capres). Penyebab utamanya adalah tidak ada partai politik (parpol) peserta Pemilihan Legislatif (Pileg) 9 April 2014 yang perolehan suaranya memenuhi presidential threshold, 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah secara nasional, alias tidak dapat mengusung capres-cawapres.

Akibatnya, capres ketiga parpol pemenang terbesar (PDIP, Golkar, dan Gerindra) harus mencari cawapres dari parpol lain hingga gabungan perolehan suaranya bisa memenuhi persyaratan ambang pencapresan. Terjadilah koalisi dengan parpol-parpol lain. Ada mitra koalisi yang mensyaratkan ketua umumnya harus menjadi cawapres. Wajar saja.

Mengawinkan capres dan cawpres dari parpol yang berbeda juga tidak mudah. Ada beberapa persyaratan penting, antara lain potensi perolehan suara gabungan, unsur suku, agama, dan kemampuan yang saling melengkapi.

Sekalipun banyak orang sekarang bilang, persyaratan suku (Jawa dan luar Jawa) dan agama (Islam dan non-Islam) sudah usang, realitas politik tidak demikian. Kedua hal itu tetap menentukan keberhasilan pasangan capres-cawapres karena jumlah penduduk yang bersuku dan memeluk agama itu mayoritas.

Kemampuan pasangan capres-cawapres tidak kalah pentingnya. Tidak ada manusia yang memiliki kemampuan lengkap, apalagi sempurna. Keduanya harus saling melengkapi. Misalnya, Jokowi dikenal sederhana dan dapat memikat rakyat, Prabowo dikenal tegas dan berwibawa, lalu Aburizal Bakrie seorang pengusaha dan manajer andal. Kemampuan masing-masing itu dinilai belum cukup untuk memimpin Indonesia.

Perlu gabungan antara kemampuan dapat memikat rakyat atau solidarity maker dan kemampuan untuk menjalankan roda pemerintahan atau eksekutif. Indonesia memiliki contoh pasangan presiden dan wakil presiden ideal, yakni Bung Karno-Bung Hatta.

Bung Karno, berkat kemampuan retorikanya, adalah seorang solidarity maker. Bung Hatta, yang bukan orator, tapi berkat disiplin ilmu ekonomi dan ketertiban perilaku hidupnya, adalah seorang eksekutif andal. Keduanya klop maka disebut dwitunggal.

Dwitunggal itulah yang menyelamatkan RI pada awal-awal kemerdekaaan, dalam menghadapi serangan Belanda yang ingin kembali berkuasa di Indonesia, juga konflik internal antara sesama pelaku sejarah, sesama anak bangsa yang berjuang untuk kemerdekaan dan kemajuan Indonesia, sesuai keyakinan masing-masing.

Merangkap Perdana Menteri

Sesuai UUD ‘45, RI menganut sistem pemerintahan kabinet presidensial. Artinya, presiden adalah kepala negara dan kepala pemerintahan sekaligus. Namun, sejarah menunjukkan, RI pernah memiliki kabinet parlementer, sekalipun tetap berdasar UUD ‘45. Kabinet presidensial, yang dibentuk pasca-Proklamasi 17 Agustus 1945 di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh Hatta, hanya berlangsung sampai 14 November 1945.

Pembentukan kabinet parlementer itu diusulkan Badan Pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), embrio badan legislatif. Tujuannya menangkis dan membebaskan Presiden Soekarno atas nama rakyat, dari serangan negara Barat yang selalu menuduh Bung Karno sebagai kolaborator Jepang. Bagi negara Barat, Perang Dunia II adalah perang melawan fasisme Jerman di Eropa dan Jepang di Asia-Pasifik.

“Soekarno membicarakan usul itu dengan aku dan kami setujui maksud mereka itu,” demikian tulis Bung Hatta dalam autobiografinya, Menuju Gerbang Kemerdekaan. Dikarenakan ada kritik kabinet parlementer itu bertentangan dengan UUD ’45, dibuat alasan presiden “mendelegasikan” kekuasaannya kepada perdana menteri, untuk mengatasi kesulitan pemerintahan sementara waktu.

Terlepas pro-kontra, dengan kabinet parlementer itu negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat dan Australia, mendukung penyelesaian konflik RI- Belanda melalui perundingan, bukan perang, dengan menekan Belanda. Sjahrir memimpin kabinet parlementer tiga kali berturut-turut sampai jatuh pada 26 Juni 1947 karena sayap kiri (komunis) tidak percaya lagi.

Presiden Soekarno lalu membentuk kabinet baru di bawah Perdana Menteri Amir Sjarifuddin (kiri). Kabinet Amir bubar karena menteri-menterinya dari Masyumi (Islam, sayap kanan) dan PNI (nasionalis, tengah) mengundurkan diri. Sebelum meletakkan jabatan, Amir mengganti pemimpin Angkatan Perang dengan menyingkirkan Panglima Besar Sudirman.

“Waktu itu, udara politik di Yogyakarta sebagai ibu kota negara (sejak 4 Januari 1946) panas. Pemuka-pemuka politik di Yogyakarta, yang berpartai dan tidak, mendesak Soekarno supaya kabinet baru segera dibentuk di bawah pimpinanku,” demikian tulis Bung Hatta.

Kabinet Hatta terbentuk pada 29 Januari 1948. Hatta yang wakil presiden merangkap sebagai perdana menteri dan menteri pertahanan sekaligus.

Kabinet Hatta melakukan reorganisasi angkatan perang, menyeleisakan konflik antarpejuang di daerah, dan menghadapi pemberontakan PKI Madiun 1948. Pada masa ini, Belanda melakukan agresi kedua dan berhasil menduduki Yogyakarta, menahan Bung Karno dan Bung Hatta, Syahrir, serta sejumlah pemimpin puncak lainnya.

Dibentuklah pemerintahan darurat di Bukittinggi, di bawah kepemimpinan Sjafruddin Prawiranegara. Sjafruddin menyerahkan mandatnya kepada Wakil Presiden/Perdana Menteri, Bung Hatta, di Yogyakarta, 13 Juli 1949.

Hatta membentuk kabinet lagi pada 4 Agustus 1949 dengan dirinya sebagai perdana menteri. Pada masa ini, berlangsung Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda yang berujung pada pembentukan RIS (Republik Indonesia Serikat). Tanggal 16 Desember 1949, Soekarno dipilih sebagai Presiden RIS dengan suara bulat, di Kepatihan Yogyakarta. Hari itu juga, kabinet RIS dengan Hatta sebagai perdana menteri, terbentuk.

Pada 27 Desember 1949, di Amsterdam Belanda menyerahkan kedaulatan Kerajaan Belanda atas Indonesia kepada RIS, yang diwakili Hatta. Pada hari yang sama di Jakarta, penyerahan kedaulatan dilakukan HVK Lovink, Wakil Kerajaan Belanda, kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IX, mewakili RIS. Tanggal 28 Desember 1949, Bung Karno berangkat ke Jakarta untuk menunaikan tugasnya sebagai Presiden RIS.

Dari kisah ini kita punya contoh, jika presiden terpilih 1914-1919 merasa atau dirasakan kurang mampu memerintah, ia bisa mendelegasikan kekuasaan kepada wapresnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar