Bung
Hatta : Wapres Merangkap Perdana Menteri
Parni
Hadi ; Wartawan dan Aktivis
Sosial
|
SINAR
HARAPAN, 13 Mei 2014
Menentukan
calon wakil presiden (cawapres) ternyata tidak lebih mudah daripada
menetapkan calon presiden (capres). Penyebab utamanya adalah tidak ada partai
politik (parpol) peserta Pemilihan Legislatif (Pileg) 9 April 2014 yang
perolehan suaranya memenuhi presidential threshold, 20 persen kursi DPR atau
25 persen suara sah secara nasional, alias tidak dapat mengusung
capres-cawapres.
Akibatnya,
capres ketiga parpol pemenang terbesar (PDIP, Golkar, dan Gerindra) harus
mencari cawapres dari parpol lain hingga gabungan perolehan suaranya bisa
memenuhi persyaratan ambang pencapresan. Terjadilah koalisi dengan
parpol-parpol lain. Ada mitra koalisi yang mensyaratkan ketua umumnya harus
menjadi cawapres. Wajar saja.
Mengawinkan
capres dan cawpres dari parpol yang berbeda juga tidak mudah. Ada beberapa
persyaratan penting, antara lain potensi perolehan suara gabungan, unsur
suku, agama, dan kemampuan yang saling melengkapi.
Sekalipun
banyak orang sekarang bilang, persyaratan suku (Jawa dan luar Jawa) dan agama
(Islam dan non-Islam) sudah usang, realitas politik tidak demikian. Kedua hal
itu tetap menentukan keberhasilan pasangan capres-cawapres karena jumlah
penduduk yang bersuku dan memeluk agama itu mayoritas.
Kemampuan
pasangan capres-cawapres tidak kalah pentingnya. Tidak ada manusia yang
memiliki kemampuan lengkap, apalagi sempurna. Keduanya harus saling
melengkapi. Misalnya, Jokowi dikenal sederhana dan dapat memikat rakyat,
Prabowo dikenal tegas dan berwibawa, lalu Aburizal Bakrie seorang pengusaha
dan manajer andal. Kemampuan masing-masing itu dinilai belum cukup untuk
memimpin Indonesia.
Perlu
gabungan antara kemampuan dapat memikat rakyat atau solidarity maker dan kemampuan untuk menjalankan roda
pemerintahan atau eksekutif. Indonesia memiliki contoh pasangan presiden dan
wakil presiden ideal, yakni Bung Karno-Bung Hatta.
Bung
Karno, berkat kemampuan retorikanya, adalah seorang solidarity maker. Bung Hatta, yang bukan orator, tapi berkat
disiplin ilmu ekonomi dan ketertiban perilaku hidupnya, adalah seorang
eksekutif andal. Keduanya klop maka disebut dwitunggal.
Dwitunggal
itulah yang menyelamatkan RI pada awal-awal kemerdekaaan, dalam menghadapi
serangan Belanda yang ingin kembali berkuasa di Indonesia, juga konflik
internal antara sesama pelaku sejarah, sesama anak bangsa yang berjuang untuk
kemerdekaan dan kemajuan Indonesia, sesuai keyakinan masing-masing.
Merangkap Perdana Menteri
Sesuai
UUD ‘45, RI menganut sistem pemerintahan kabinet presidensial. Artinya,
presiden adalah kepala negara dan kepala pemerintahan sekaligus. Namun,
sejarah menunjukkan, RI pernah memiliki kabinet parlementer, sekalipun tetap
berdasar UUD ‘45. Kabinet presidensial, yang dibentuk pasca-Proklamasi 17
Agustus 1945 di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh
Hatta, hanya berlangsung sampai 14 November 1945.
Pembentukan
kabinet parlementer itu diusulkan Badan Pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia
Pusat), embrio badan legislatif. Tujuannya menangkis dan membebaskan Presiden
Soekarno atas nama rakyat, dari serangan negara Barat yang selalu menuduh
Bung Karno sebagai kolaborator Jepang. Bagi negara Barat, Perang Dunia II
adalah perang melawan fasisme Jerman di Eropa dan Jepang di Asia-Pasifik.
“Soekarno membicarakan usul itu dengan aku dan
kami setujui maksud mereka itu,” demikian tulis Bung Hatta dalam
autobiografinya, Menuju Gerbang Kemerdekaan. Dikarenakan ada kritik kabinet
parlementer itu bertentangan dengan UUD ’45, dibuat alasan presiden
“mendelegasikan” kekuasaannya kepada perdana menteri, untuk mengatasi kesulitan
pemerintahan sementara waktu.
Terlepas
pro-kontra, dengan kabinet parlementer itu negara-negara Barat, terutama
Amerika Serikat dan Australia, mendukung penyelesaian konflik RI- Belanda
melalui perundingan, bukan perang, dengan menekan Belanda. Sjahrir memimpin
kabinet parlementer tiga kali berturut-turut sampai jatuh pada 26 Juni 1947
karena sayap kiri (komunis) tidak percaya lagi.
Presiden
Soekarno lalu membentuk kabinet baru di bawah Perdana Menteri Amir
Sjarifuddin (kiri). Kabinet Amir bubar karena menteri-menterinya dari Masyumi
(Islam, sayap kanan) dan PNI (nasionalis, tengah) mengundurkan diri. Sebelum
meletakkan jabatan, Amir mengganti pemimpin Angkatan Perang dengan
menyingkirkan Panglima Besar Sudirman.
“Waktu itu, udara politik di Yogyakarta sebagai
ibu kota negara (sejak 4 Januari 1946) panas. Pemuka-pemuka politik di
Yogyakarta, yang berpartai dan tidak, mendesak Soekarno supaya kabinet baru
segera dibentuk di bawah pimpinanku,” demikian tulis Bung Hatta.
Kabinet
Hatta terbentuk pada 29 Januari 1948. Hatta yang wakil presiden merangkap
sebagai perdana menteri dan menteri pertahanan sekaligus.
Kabinet
Hatta melakukan reorganisasi angkatan perang, menyeleisakan konflik
antarpejuang di daerah, dan menghadapi pemberontakan PKI Madiun 1948. Pada
masa ini, Belanda melakukan agresi kedua dan berhasil menduduki Yogyakarta,
menahan Bung Karno dan Bung Hatta, Syahrir, serta sejumlah pemimpin puncak
lainnya.
Dibentuklah
pemerintahan darurat di Bukittinggi, di bawah kepemimpinan Sjafruddin Prawiranegara.
Sjafruddin menyerahkan mandatnya kepada Wakil Presiden/Perdana Menteri, Bung
Hatta, di Yogyakarta, 13 Juli 1949.
Hatta
membentuk kabinet lagi pada 4 Agustus 1949 dengan dirinya sebagai perdana
menteri. Pada masa ini, berlangsung Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda
yang berujung pada pembentukan RIS (Republik Indonesia Serikat). Tanggal 16
Desember 1949, Soekarno dipilih sebagai Presiden RIS dengan suara bulat, di
Kepatihan Yogyakarta. Hari itu juga, kabinet RIS dengan Hatta sebagai perdana
menteri, terbentuk.
Pada 27
Desember 1949, di Amsterdam Belanda menyerahkan kedaulatan Kerajaan Belanda
atas Indonesia kepada RIS, yang diwakili Hatta. Pada hari yang sama di
Jakarta, penyerahan kedaulatan dilakukan HVK Lovink, Wakil Kerajaan Belanda,
kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IX, mewakili RIS. Tanggal 28 Desember 1949,
Bung Karno berangkat ke Jakarta untuk menunaikan tugasnya sebagai Presiden
RIS.
Dari
kisah ini kita punya contoh, jika presiden terpilih 1914-1919 merasa atau
dirasakan kurang mampu memerintah, ia bisa mendelegasikan kekuasaan kepada
wapresnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar