Selasa, 20 Mei 2014

Konsep Manajemen Gotong Royong

Konsep Manajemen Gotong Royong

Adenk Sudarwanto  ;   Ketua STIE Semarang, Konsultan Manajemen
SUARA MERDEKA,  19 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
“Konsep manajemen gotong royong lebih mengutamakan interaksi sosial dalam aspek kehidupan ekonomi”

KONSEP gotong royong mengutamakan aspek kehidupan bersama, namun sayang banyak orang salah merepresentasikan budaya itu, yang seharusnya mengakar dalam jiwa bangsa Indonesia. Sejak era Orde Baru hingga kini, gotong royong menjadi konsepsi dua proses paralel usaha memperluas kekuasaan negara. Padahal konsep gotong royong kental menggambarkan kehidupan sosial masyarakat, terutama komunitas masyarakat Jawa di desa-desa.

Konsep itu mewujud dalam bentuk hubungan sosial yang tulus, kerja sama, tanggung jawab, keterbukaan, dan kepedulian terhadap pihak lain. Yang terpenting adalah mengutamakan aspek kehidupan bersama. Budaya itu antara lain digambarkan oleh kesediaan masyarakat pertanian desa yang mau bekerja untuk pihak lain, dengan tidak mengharapkan upah. Dari realitas itu, kita bisa mengartikannya sebagai aktivitas sosial.

Gotong royong juga merupakan filosofi, sebagai bagian dari budaya bangsa, dan bukan hanya filosofi beberapa kelompok. Ada lima unsur yang terkandung di dalamnya, pertama; usaha atau kegiatan kerja bersama. Kedua; tiap partisipan berpartisipasi menurut kemampuan masing-masing. Ketiga; berdasarkan keikhlasan dan sukarela. Keempat; tanpa pamrih, dan kelima; kerja atau usaha tersebut bermanfaat bagi kepentingan bersama.

Adapun prinsip kegiatan gotong royong, yaitu pertama; kegiatan dilakukan oleh orang-orang yang menjadi anggota kesatuan desa/kampung, pelajar suatu sekolah, organisasi tertentu, dan sebagainya. Kedua; keikutsertaannya berdasarkan atas kesadaran bahwa kegiatan itu demi   kepentingan anggota, sebagai kesatuan atau keluarga. Ketiga; tidak terpaksa atau punya pamrih kecuali hanya ingin menolong sesama   

Ada empat manfaat gotong royong. Pertama; meringankan beban, waktu, dan biaya. Kedua;  meningkatkan solidaritas dan rasa kekeluargaan terhadap sesama. Ketiga; menambah kekokohan rasa persatuan dan kesatuan. Keempat; mempertinggi ketahanan bersama. Namun sayang, budaya itu yang seharusnya mengakar pada jiwa bangsa kerap salah direpresentasikan. Dalam era Orde Baru bahkan hingga kini, gotong royong menjadi konsepsi berkait dua proses paralel usaha memperluas kekuasaan negara.

Adapun Koentjaraningrat (1974) dalam Bowen (1986) mengatakan bahwa gotong royong sebagai sikap tolong menolong kini hanyalah sejarah. Saat ini, kita kerap melihat gotong royong berubah menjadi salah satu cara untuk mendapatkan tenaga tambahan dalam kegiatan tertentu, seperti panen, atau  bentuk tolong-menolong ketika ada tetangga/saudara mengalami kejadian atau akan mengadakan kegiatan, seperti berduka, tertimpa bencana, atau hajatan. Kini gotong royong merambah kehidupan politik pragmatis untuk tujuan tertentu dan bersifat sesaat.

Roh Koperasi

Padahal konsep gotong royong sudah menjadi roh UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkopera­sian. Ada tiga bagian yang menegaskan hal itu, yakni pertama; amanat Bab V Ayat 1 regulasi itu bahwa nilai-nilai koperasi yang jadi dasar kegiatan koperasi adalah tanggung jawab, kekeluargaan, demokratis, dan keadilan. Kedua; amanat Ayat 2 yang menyebutkan nilai-nilai yang menjadi keyakinan koperasi dalam menjalankan bisnis adalah kejujuran, keterbukaan, dan kepedulian kepada pihak lain.

Ketiga; Bab VI yang mengamanatkan bahwa nilai-nilai gotong royong menjadi prinsip koperasi, yaitu pedoman dalam menjalankan aktivitas usaha. Hal itu dimanifestasikan dalam wujud partisipasi aktif anggota, membentuk jaringan kerja sama, dan menyelenggarakan pendidikan. Dalam praktik, kita melihat pertentangan konsep ekonomi gotong royong versus teori ekonomi Barat.

Banyak bisnis multinasional dijalankan berdasarkan teori berbasis literatur dunia asing, yang terwujudkan lewat konsep individualisme, liberalisme, kapitalisme dan feodalisme. Teori itu meyakini kehidupan di masyarakat akan aman andai berjalan sendiri-sendiri. Teori itu menganalogikan bumi, matahari, bintang yang beredar menurut tata surya masing-masing, dan tak pernah terjadi tabrakan.

Padahal individualisme yang bakal berkembang menjadi liberalisme, kapitalisme dan feodalisme, tak bisa membedakan antara organ organik dan yang bersifat  biologis atau interaksi sosial. Manusia, sebagai pelaku bisnis, sejatinya makhluk sosial yang mengutamakan budaya untuk hidup berdampingan.  

Konsep gotong royong lebih mengutamakan interaksi sosial dalam aspek kehidupan   ekonomi. Hanya konsep itu kini makin kurang diperkenalkan, bahkan banyak fakultas eknomi di Indonesia lebih banyak mengintroduksi konsep ekonomi ala Barat yang berakar dari teori individulalisme. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tumbuh dan berkembang dengan tidak menghilangkan  budayanya sebagai identitas jati diri.

Jadi, sebenarnya gotong royong bukan hanya filsafat hidup melainkan bisa menjadi manajemen dalam aspek kehidupan nasional. Gotong royong merupakan usaha bersama dalam membanting tulang, memeras keringat, dan beramal untuk kemanfaatan semua orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar