Konsep
Manajemen Gotong Royong
Adenk
Sudarwanto ; Ketua STIE
Semarang, Konsultan Manajemen
|
SUARA
MERDEKA, 19 Mei 2014
|
“Konsep manajemen gotong royong lebih mengutamakan
interaksi sosial dalam aspek kehidupan ekonomi”
KONSEP
gotong royong mengutamakan aspek kehidupan bersama, namun sayang banyak orang
salah merepresentasikan budaya itu, yang seharusnya mengakar dalam jiwa
bangsa Indonesia. Sejak era Orde Baru hingga kini, gotong royong menjadi
konsepsi dua proses paralel usaha memperluas kekuasaan negara. Padahal konsep
gotong royong kental menggambarkan kehidupan sosial masyarakat, terutama
komunitas masyarakat Jawa di desa-desa.
Konsep
itu mewujud dalam bentuk hubungan sosial yang tulus, kerja sama, tanggung
jawab, keterbukaan, dan kepedulian terhadap pihak lain. Yang terpenting
adalah mengutamakan aspek kehidupan bersama. Budaya itu antara lain
digambarkan oleh kesediaan masyarakat pertanian desa yang mau bekerja untuk pihak
lain, dengan tidak mengharapkan upah. Dari realitas itu, kita bisa
mengartikannya sebagai aktivitas sosial.
Gotong
royong juga merupakan filosofi, sebagai bagian dari budaya bangsa, dan bukan
hanya filosofi beberapa kelompok. Ada lima unsur yang terkandung di dalamnya,
pertama; usaha atau kegiatan kerja bersama. Kedua; tiap partisipan
berpartisipasi menurut kemampuan masing-masing. Ketiga; berdasarkan
keikhlasan dan sukarela. Keempat; tanpa pamrih, dan kelima; kerja atau usaha
tersebut bermanfaat bagi kepentingan bersama.
Adapun
prinsip kegiatan gotong royong, yaitu pertama; kegiatan dilakukan oleh
orang-orang yang menjadi anggota kesatuan desa/kampung, pelajar suatu
sekolah, organisasi tertentu, dan sebagainya. Kedua; keikutsertaannya
berdasarkan atas kesadaran bahwa kegiatan itu demi kepentingan anggota, sebagai kesatuan atau
keluarga. Ketiga; tidak terpaksa atau punya pamrih kecuali hanya ingin
menolong sesama
Ada
empat manfaat gotong royong. Pertama; meringankan beban, waktu, dan biaya.
Kedua; meningkatkan solidaritas dan
rasa kekeluargaan terhadap sesama. Ketiga; menambah kekokohan rasa persatuan
dan kesatuan. Keempat; mempertinggi ketahanan bersama. Namun sayang, budaya itu
yang seharusnya mengakar pada jiwa bangsa kerap salah direpresentasikan.
Dalam era Orde Baru bahkan hingga kini, gotong royong menjadi konsepsi
berkait dua proses paralel usaha memperluas kekuasaan negara.
Adapun
Koentjaraningrat (1974) dalam Bowen (1986) mengatakan bahwa gotong royong
sebagai sikap tolong menolong kini hanyalah sejarah. Saat ini, kita kerap
melihat gotong royong berubah menjadi salah satu cara untuk mendapatkan
tenaga tambahan dalam kegiatan tertentu, seperti panen, atau bentuk tolong-menolong ketika ada tetangga/saudara
mengalami kejadian atau akan mengadakan kegiatan, seperti berduka, tertimpa
bencana, atau hajatan. Kini gotong royong merambah kehidupan politik
pragmatis untuk tujuan tertentu dan bersifat sesaat.
Roh Koperasi
Padahal
konsep gotong royong sudah menjadi roh UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang
Perkoperasian. Ada tiga bagian yang menegaskan hal itu, yakni pertama;
amanat Bab V Ayat 1 regulasi itu bahwa nilai-nilai koperasi yang jadi dasar
kegiatan koperasi adalah tanggung jawab, kekeluargaan, demokratis, dan
keadilan. Kedua; amanat Ayat 2 yang menyebutkan nilai-nilai yang menjadi
keyakinan koperasi dalam menjalankan bisnis adalah kejujuran, keterbukaan,
dan kepedulian kepada pihak lain.
Ketiga;
Bab VI yang mengamanatkan bahwa nilai-nilai gotong royong menjadi prinsip
koperasi, yaitu pedoman dalam menjalankan aktivitas usaha. Hal itu
dimanifestasikan dalam wujud partisipasi aktif anggota, membentuk jaringan
kerja sama, dan menyelenggarakan pendidikan. Dalam praktik, kita melihat
pertentangan konsep ekonomi gotong royong versus teori ekonomi Barat.
Banyak
bisnis multinasional dijalankan berdasarkan teori berbasis literatur dunia
asing, yang terwujudkan lewat konsep individualisme, liberalisme, kapitalisme
dan feodalisme. Teori itu meyakini kehidupan di masyarakat akan aman andai
berjalan sendiri-sendiri. Teori itu menganalogikan bumi, matahari, bintang
yang beredar menurut tata surya masing-masing, dan tak pernah terjadi
tabrakan.
Padahal
individualisme yang bakal berkembang menjadi liberalisme, kapitalisme dan
feodalisme, tak bisa membedakan antara organ organik dan yang bersifat biologis atau interaksi sosial. Manusia,
sebagai pelaku bisnis, sejatinya makhluk sosial yang mengutamakan budaya
untuk hidup berdampingan.
Konsep
gotong royong lebih mengutamakan interaksi sosial dalam aspek kehidupan ekonomi. Hanya konsep itu kini makin
kurang diperkenalkan, bahkan banyak fakultas eknomi di Indonesia lebih banyak
mengintroduksi konsep ekonomi ala Barat yang berakar dari teori
individulalisme. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tumbuh dan berkembang
dengan tidak menghilangkan budayanya
sebagai identitas jati diri.
Jadi,
sebenarnya gotong royong bukan hanya filsafat hidup melainkan bisa menjadi
manajemen dalam aspek kehidupan nasional. Gotong royong merupakan usaha
bersama dalam membanting tulang, memeras keringat, dan beramal untuk
kemanfaatan semua orang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar