Upaya
PKS Merayu Demokrat
Ferry
Ferdiansyah ; Alumni Pasca
Sarjana Universitas Mercu Buana (UMB) Jakarta
Program Studi
Magister Komunikasi
|
OKEZONENEWS,
13 Mei 2014
Menteri
Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring yang juga politisi asal Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) secara tiba-tiba berpantun soal koalisi di hadapan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang juga Ketua Umum Partai Demokrat. "Semangka muda dicicip kelinci,
Semoga kita berkoalisi lagi," kata Tifatul saat dia menutup sambutan
dalam acara peluncuran Rajawali Televisi (RTV) di Jakarta Convention Center, Sabtu (3/5/2014).
Penyampaian
pantun yang disambut tawaan lepas
presiden ini tentu berbau politis dan harapan PKS dapat bersama kembali
dengan Demokrat. Seperti penulis ketahui Hasil quick count pemilu legislatif 9 April menempatkan PKS mendapat
angka 6,9 persen. Prestasi ini tentu mengharuskan PKS berkoalisi dengan
partai lain.
Wajar
PKS berupaya dipinang kembali Demokrat, hal terkait keberadaan Demokrat
sebagai pemegang kendali atas peta koalisi partai, sekaligus menempatkan
partai berlambang mercy ini memiliki posisi staregi. Dengan alasan bandul politik berada di
tangan SBY, membuat PKS berkeinginan bersatu kembali. Namun, dibalik itu
semua patut digaris bawahi, selama pemerintahan SBY berlangsung, PKS memang
bagian dari pemerintahan, namun jika diperhatikan meski dibarisan koalisi
sepak terjang PKS ternyata selalu bersebrangan dengan apa yang telah
ditentukan bersama.
PKS
lebih sering pada pendiriannya, telihat dari salah satu contoh sikapnya yang
melakukan penolakan terhadap kenaikan BBM beberapa waktu lalu. Bukan hanya
sebatas teriakan menolak, partai ini pun secara terang-terangan mensosialisasikan
penolakan melalui beragam media, lewat spanduk yang bertebaran di mana-mana
hingga lewat teriakan politikusnya di DPR melalui televisi. Sangat jelas
upaya politik pencitraan PKS yang
makin vulgar ini telah menodai hak-hak rakyat. Pertentangan sikap yang
dilakukan PKS ini sangat jelas bukan sebatas BBM semata, sikap PKS pada saat
pemilihan ketua KPK pun, memiliki pandangan tersendiri. Dalam kasus Century
pun PKS justru menyerang balik pemerintah.
Perbedaan
sikap yang dilakukan PKS dalam mengusulkan hak angket pajak yang akhirnya
dibatalkan pada rapat paripurna di DPR RI sangat jelas memperlihatkan
bagaimana keberadaan partai tersebut dibarisan koalisi. Perbedaan sikap yang
ditunjukan PKS selama ini terhadap pemerintah, merupakan bentuk perlawanan
terhadap komitmen koalisi yang sudah disepakati bersama. Meski PKS merupakan
partai yang tergabung dalam koalisi pemerintah, namun sikap yang ditunjukan
justru berseberangan, naif dan cendrung berstandar ganda. Pilihan ini
menunjukan partai dakwah, telah melakukan akrobat untuk mengembalikan citra
partai akibat ditinggalkan oleh kelompok swing voters dan para simpatisannya
teriring berbagai permasalahan yang menyelimuti partai ini.
Sangat
jelas, dalam kesepakatan yang telah ditandatangani bersama sebelum bergabung
dalam koalisi, tertera pada nomor urut
1, ditegaskan semua koalisi wajib sejalan dan tulus dalam berkoalisi. Nomor
dua mengatur keputusan Presiden menyangkut kebijakan politik strategis dan
penting wajib didukung dan diimplementasikan di pemerintahan maupun di DPR.
Bukan
sebatas berseberangan, partai ini berulang kali mengatakan siap dikeluarkan
dari koalisi, namun hingga dipenghujung berakhirnya kabinet SBY, PKS tetap
bertahan dilingkaran pemerintahan. Seyogyanya, sebagai partai pendukung
pemerintah, partai di bawah kepemimpinan Annis mata mampu menggiring opini
publik memberikan penjelasan kepada masyarakat terkait kebijakan pemerintah
yang dikeluarkan, serta memberikan dukungan, bukan sebaliknya, menyerang
balik dan mengklaim partainya sebagai partai yang peduli terhadap penderitaan
rakyat.
Realitas
ini sekaligus menunjukan PKS terkesan bermuka dua, efeknya bukan sekadar
menyudutkan pemerintah tetapi telah mencerdai kesepakatan koalisi, serta
telah memberikan pendidikan politik yang tak bagus bagi masyarakat.
Penilaian
penulis, selama ini kebijakan politik PKS terlalu berani bermanuver dan tak
jelas pendiriannya melakukan penolakan dan tidak sejalah dengan pemerintah
menunjukan partai ini lebih mengutamakan pencitraan partainya dalam menarik
simpatik dibandingkan harus mematuhi kesepakatan koalisi. Partai ini terkesan
hanya mencari kepentingan partai semata dengan melakukan pencitraan disetiap
kebijakan pemerintah, tanpa memperdulikan kesepakatan yang ada di dalam koalisi
itu sendiri.
Sangat
wajar pada akhrinya partai yang didirikan 20 Juli 1998, sempat mendapatkan
kritikan keras yang dilontarkan oleh sesepuh partainya sendiri. Mashadi
mengeritik gaya hidup elit PKS yang cendrung munafik, menurutnya, banyak elit
PKS tiba-tiba gaya hidupnya berubah sesudah jadi anggota DPR atau menteri,
atau jabatan-jabatan lainnya.
Sikap
kebencian PKS terhadap pemerintah, terlihat diberbagai kebijakan partai ini tak pernah sejalan dan cendrung
menunjukan ketidaksukaanya terhadap kinerja pemerintah. Sudah bukan rahasia
lagi, publik sudah dapat mengetahui selama ini langkah politis yang diambil
PKS, bukan sepenuh hati, hanya untuk menarik simpatik belaka. Terkadang sikap
antara petinggi PKS saling berlawanan satu dengan yang lainnya.
PKS
selalu mengklaim sebagai partai yang bersih dan peduli rakyat kecil, faktanya
partai ini tidak pernah konsisten. Sikap mencari kepentingan pun terlihat
dari pujian dan harapan bergabung dengan partai lain. Tentu sikap yang
ditunjukan Wasekjen PKS Fahri Hamzah berbeda dengan pujian Tifatul. Fahri
berulang kali berkicau memuji-muji Prabowo. Bahkan dirinya dengan tegas
mengajak masyarakat mengamati Prabowo dan membandingkannya dengan capres
lain. Dia mengingatkan agar yang tak setuju dengan ajakannya ini tak sakit
hati. Rayuan lewat pantun yang disampaikan Tifatul menunjukan PKS benci tapi
rindu untuk berkoalisi kembali dengan Partai Demokrat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar