Panggung
Pengujian Politik Santri
Munawir
Aziz ; Esais dan
peneliti, Alumnus Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS)
Sekolah Pascasarjana UGM
|
SUARA
MERDEKA, 13 Mei 2014
HASIL
pileg 9 April 2014 melahirkan realitas baru politik dalam dekade kedua era
reformasi. Kali ini suara dari basis pesantren menjadi instrumen penentu.
Hasil pileg memetakan PDIP, Partai Golkar, dan Gerindra menempati urutan
atas. Kemudian, diikuti Demokrat,
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Nasdem, Partai
Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Hanura, PBB,
dan PKPI.
Realitas
itu menjadi bagian penting pertarungan kepentingan pada tahun politik ini.
Selepas pemilu legislatif, pertarungan selanjutnya adalah pemilihan presiden.
Dari peta kekuatan tersebut, terlihat gambaran tentang
kemungkinan-kemungkinan politik. Peluang koalisi menjadi keniscayaan di
tengah gesekan perolehan suara dari beberapa partai.
Efek
Jokowi yang digadang-gadang sejumlah politikus partai banteng dan lembaga survei tidak
seperti yang diharapkan. Efek Jokowi tidak berdampak signifikan. Selanjutnya,
perolehan suara Gerindra yang cukup signifikan menjadikan Prabowo Subianto
sebagai salah satu kandidat terkuat presiden, yang siap menantang Jokowi
sebagai bagian dari calon orang nomor satu di negeri ini.
Hal yang
menarik pada realitas politik saat ini adalah mencermati politik santri. Dari
pemetaan atas perolehan suara partai dengan jargon Islam, penting untuk
melihat kecenderungan dan dinamika politik kaum santri.
Pengumuman
KPU (SM, 10/5/14) menyebutkan perolehan PKB (9,04%) dan PAN (7,59%). Adapun
perolehan suara PKS, yang pernah merajai barisan partai Islam, cenderung turun,
yakni 6,79%. Hal ini dikarenakan, basis massa PKS tergerus oleh isu impor
sapi, moralitas politikusa dan beberapa isu lain yang selama satu tahun
terakhir menampar partai tersebut.
Prestasi
PKS tidak sebagus dalam Pemilu 2009, yang mencitrakan partai bersih,
memperjuangkan dakwah, dan jauh dari korupsi. Suara pemilih mengambang pun
tidak sepenuhnya dapat diserap, meskipun barisan kader solidnya telah
berjuang keras berkampanye dari rumah ke rumah, majelis ta’lim, dan media
sosial.
Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) memperoleh suara 6,53% dan Partai Bulan Bintang
(PBB) 1,46%. Jika diasumsikan sebagai lumbung suara, perolehan partai Islam
pada pemilu tahun ini sekitar 31,4%. Membaca realitas politik saat ini, perlu
menengok sejarah pada pemilu pertama.
Pemilu
1955 menjadi medan pertarungan penting dalam historiografi politik negeri
ini. Pada pemilu pertama itu, dua partai Islam menjadi pemenang kedua dan
ketiga. Partai Islam berhasil merengkuh sekitar 43% suara. Partai NU dan
Masyumi menjadi penanda penting bagaimana partai Islam pada masa kini,
berasal pada induk sejarah dan ideologi yang sama.
Pembacaan
realitas politik masa kini, tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah masa
lalu. Dengan mengerti transformasi ideologi, tokoh, jaringan dan kepentingan
yang saling bersilang-sengkarut maka kita dapat memahami realitas politik
yang menjadi medan pertarungan antara PKB, PPP, PKS, PAN dan PBB, sebagai
barisan partai yang memperjuangkan Islam secara simbolik maupun sebagai
jargon.
Sentuhan Gus Dur
Perjalanan
politik santri tidak lepas dari sentuhan KH Abdurrahman Wahid. Melihat
dinamika politik saat ini, santri yang tampil di panggung politik pasti
pernah merasakan didikan Gus Dur. Tentu perlu ditempatkan dalam konteks
berbeda, antara Gus Dur sebagai negarawan dan sebagai tokoh pesantren.
Sebagai
negawaran, Gus Dur telah menjadi politikus yang bisa menyerap informasi
secara cepat, akurat, dan jernih. Meskipun, ketika menjabat presiden, banyak
informasi kabur, atau sengaja dikaburkan, yang menjadi basis kebijakan Gus
Dur. Tetapi sepanjang riwayatnya, ia merupakan tokoh yang memahami seni
mendidik orang-orang terdekatnya.
Lihat
saja bagaimana Gus Dur membesarkan orang-orang yang sekarang berada di PKB
atau partai lain. Jaringan santri yang dia didik di panggung politik,
sejatinya generasi yang disiapkan menjadi politikus tangguh berikutnya. Ia
sering menggunakan jurus bertarung, untuk meningkatkan kekuatan kader. Jurus
pertarungan ini pada akhirnya melahirkan orang-orang kuat jika mereka mampu
tampil eksis di panggung politik.
Tentu
yang menarik adalah bagaimana politikus-politikus santri menentukan pilihan
politiknya tahun 2014. Setelah pertarungan akar rumput untuk merebut suara
legislatif, kini saatnya menghitung langkah menuju pilpres. Ide koalisi poros
tengah jilid II sudah digulirkan, meskipun tidak relevan dan memiliki
kelemahan mendasar karena beda konteks dan realitas politik dari 1998.
Pada
realitas politik saat ini, dengan kubu Jokowi (PDIP) dan Prabowo (Gerindra)
yang memiliki basis pendukung dan bersaing kuat sebagai calon presiden,
langkah para politikus santri menjadi bagian dari penentunya.
PKB
mengusung Mahfudh MD, Jusuf Kalla, Rhoma Irama dan terakhir, Muhaimin
Iskandar sebagai bagian dari paket pemilihan capres-cawapres. Pemetaan dan strategi
pertarungan politik sebagai kompas utama untuk menuntun langkah politik kaum
santri.
Saat ini
para calon presiden dan petinggi parpol sibuk merangkul para kiai dan
simbol-simbol pesantren karena suara dari kalangan pesantren menjadi penentu.
Pada titik ini, langkah dan strategi politik santri akan kembali diuji.
Apakah menjadi pemain utama atau hanya penonton yang dieksploitasi? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar