Selasa, 13 Mei 2014

Panggung Pengujian Politik Santri

Panggung Pengujian Politik Santri

Munawir Aziz  ;   Esais dan peneliti, Alumnus Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Sekolah Pascasarjana UGM
SUARA MERDEKA,  13 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
HASIL pileg 9 April 2014 melahirkan realitas baru politik dalam dekade kedua era reformasi. Kali ini suara dari basis pesantren menjadi instrumen penentu. Hasil pileg memetakan PDIP, Partai Golkar, dan Gerindra menempati urutan atas. Kemudian, diikuti  Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Hanura, PBB, dan PKPI.

Realitas itu menjadi bagian penting pertarungan kepentingan pada tahun politik ini. Selepas pemilu legislatif, pertarungan selanjutnya adalah pemilihan presiden. Dari peta kekuatan tersebut, terlihat gambaran tentang kemungkinan-kemungkinan politik. Peluang koalisi menjadi keniscayaan di tengah gesekan perolehan suara dari beberapa partai.

Efek Jokowi yang digadang-gadang sejumlah politikus  partai banteng dan lembaga survei tidak seperti yang diharapkan. Efek Jokowi tidak berdampak signifikan. Selanjutnya, perolehan suara Gerindra yang cukup signifikan menjadikan Prabowo Subianto sebagai salah satu kandidat terkuat presiden, yang siap menantang Jokowi sebagai bagian dari calon orang nomor satu di negeri ini.

Hal yang menarik pada realitas politik saat ini adalah mencermati politik santri. Dari pemetaan atas perolehan suara partai dengan jargon Islam, penting untuk melihat kecenderungan dan dinamika politik kaum santri.

Pengumuman KPU (SM, 10/5/14) menyebutkan perolehan PKB (9,04%) dan PAN (7,59%). Adapun perolehan suara PKS, yang pernah merajai barisan partai Islam, cenderung turun, yakni 6,79%. Hal ini dikarenakan, basis massa PKS tergerus oleh isu impor sapi, moralitas politikusa dan beberapa isu lain yang selama satu tahun terakhir menampar partai tersebut.

Prestasi PKS tidak sebagus dalam Pemilu 2009, yang mencitrakan partai bersih, memperjuangkan dakwah, dan jauh dari korupsi. Suara pemilih mengambang pun tidak sepenuhnya dapat diserap, meskipun barisan kader solidnya telah berjuang keras berkampanye dari rumah ke rumah, majelis ta’lim, dan media sosial.

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memperoleh suara 6,53% dan Partai Bulan Bintang (PBB) 1,46%. Jika diasumsikan sebagai lumbung suara, perolehan partai Islam pada pemilu tahun ini sekitar 31,4%. Membaca realitas politik saat ini, perlu menengok sejarah pada pemilu pertama.

Pemilu 1955 menjadi medan pertarungan penting dalam historiografi politik negeri ini. Pada pemilu pertama itu, dua partai Islam menjadi pemenang kedua dan ketiga. Partai Islam berhasil merengkuh sekitar 43% suara. Partai NU dan Masyumi menjadi penanda penting bagaimana partai Islam pada masa kini, berasal pada induk sejarah dan ideologi yang sama.

Pembacaan realitas politik masa kini, tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah masa lalu. Dengan mengerti transformasi ideologi, tokoh, jaringan dan kepentingan yang saling bersilang-sengkarut maka kita dapat memahami realitas politik yang menjadi medan pertarungan antara PKB, PPP, PKS, PAN dan PBB, sebagai barisan partai yang memperjuangkan Islam secara simbolik maupun sebagai jargon.

Sentuhan Gus Dur

Perjalanan politik santri tidak lepas dari sentuhan KH Abdurrahman Wahid. Melihat dinamika politik saat ini, santri yang tampil di panggung politik pasti pernah merasakan didikan Gus Dur. Tentu perlu ditempatkan dalam konteks berbeda, antara Gus Dur sebagai negarawan dan sebagai tokoh pesantren.

Sebagai negawaran, Gus Dur telah menjadi politikus yang bisa menyerap informasi secara cepat, akurat, dan jernih. Meskipun, ketika menjabat presiden, banyak informasi kabur, atau sengaja dikaburkan, yang menjadi basis kebijakan Gus Dur. Tetapi sepanjang riwayatnya, ia merupakan tokoh yang memahami seni mendidik orang-orang terdekatnya.

Lihat saja bagaimana Gus Dur membesarkan orang-orang yang sekarang berada di PKB atau partai lain. Jaringan santri yang dia didik di panggung politik, sejatinya generasi yang disiapkan menjadi politikus tangguh berikutnya. Ia sering menggunakan jurus bertarung, untuk meningkatkan kekuatan kader. Jurus pertarungan ini pada akhirnya melahirkan orang-orang kuat jika mereka mampu tampil eksis di panggung politik.

Tentu yang menarik adalah bagaimana politikus-politikus santri menentukan pilihan politiknya tahun 2014. Setelah pertarungan akar rumput untuk merebut suara legislatif, kini saatnya menghitung langkah menuju pilpres. Ide koalisi poros tengah jilid II sudah digulirkan, meskipun tidak relevan dan memiliki kelemahan mendasar karena beda konteks dan realitas politik dari 1998.

Pada realitas politik saat ini, dengan kubu Jokowi (PDIP) dan Prabowo (Gerindra) yang memiliki basis pendukung dan bersaing kuat sebagai calon presiden, langkah para politikus santri menjadi bagian dari penentunya.

PKB mengusung Mahfudh MD, Jusuf Kalla, Rhoma Irama dan terakhir, Muhaimin Iskandar sebagai bagian dari paket pemilihan capres-cawapres. Pemetaan dan strategi pertarungan politik sebagai kompas utama untuk menuntun langkah politik kaum santri.

Saat ini para calon presiden dan petinggi parpol sibuk merangkul para kiai dan simbol-simbol pesantren karena suara dari kalangan pesantren menjadi penentu. Pada titik ini, langkah dan strategi politik santri akan kembali diuji. Apakah menjadi pemain utama atau hanya penonton yang dieksploitasi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar