Rabu, 07 Mei 2014

UE dan Pelanggaran HAM di Papua

UE dan Pelanggaran HAM di Papua

Freddy Numberi  ;   Tokoh Papua
KOMPAS,  07 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Beberapa waktu lalu, 14 negara maju menyoroti masalah pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Pada sidang kelompok kerja Universal  Periodic Review (UPR) Dewan HAM PBB, 23 Mei 2012, sebagai mekanisme laporan empat tahunan (2008-2012) di Swiss, Indonesia kembali disorot. Empat belas negara itu adalah AS, Australia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Meksiko, Norwegia, Perancis, Selandia Baru, Spanyol, dan Swiss. Ternyata jumlah negara yang menyoroti masalah HAM meningkat cukup tajam dibandingkan dengan evaluasi yang dilakukan pada 2008: hanya lima negara yang menyoroti masalah pelanggaran HAM di Papua.

Pada 26 Maret 2014, dua pekan sebelum Pemilu Legislatif 9 April, 16 anggota parlemen Uni Eropa (UE) menyurati High Representative of the Union for Foreign Affairs and Security Policy Baroness Catherine Ashton, agar menindaklanjuti masalah pelanggaran HAM di Papua sebagai kelanjutan rapat dengar pendapat anggota parlemen pada 23 Januari 2014 dan hasil suara pada 26 Februari 2014.

Dalam pengantar pandangan anggota parlemen UE itu, kembali digarisbawahi bahwa sejak integrasi Papua ke dalam Indonesia pada 1 Mei 1963 telah terjadi banyak kekerasan. Banyak orang Papua dibunuh akibat operasi militer yang dilancarkan kurun 1960-1980.

Anggota parlemen UE dalam surat tersebut juga mengemukakan laporan dari gereja-gereja dan berbagai organisasi HAM di Papua tentang praktik pembunuhan kilat, penganiayaan, penahanan paksa, pembantaian, dan harapan menyatakan pendapat secara bebas, bahkan kepincangan dalam sektor pendidikan dan pelayanan kesehatan rakyat yang tak memuaskan. Dilaporkan juga bahwa sejak 2014, terdapat 74 tahanan politik. Bahkan, sekitar 25 aktivis dan warga masyarakat terbunuh antara Oktober 2011 dan Maret 2013.

Ekspresi pendapat secara damai tentang aspirasi Papua merdeka direkam dan dilarang secara paksa tanpa proses hukum. Para aktivis ditahan dan dituntut 20 tahun penjara. Mereka menilai bahwa dalam iklim konflik dan pelanggaran HAM yang demikian, maka pengamat PBB, organisasi kemanusiaan dan HAM, serta wartawan independen tidak mendapat akses atau menghadapi hambatan serius untuk bekerja atau memasuki Papua Barat.

LSM lokal terus melaporkan kekerasan yang dilakukan tentara Indonesia terhadap warga sipil di Papua Barat. Betapa sulit memantau apakah senjata yang dijual anggota UE dipakai untuk membatasi warga sipil memasuki wilayah itu.

Mereka juga menggarisbawahi adanya permintaan rakyat Papua membuka ”Dialog Papua-Jakarta”. Para anggota parlemen UE menyatakan bahwa hal ini sejalan dengan keinginan Presiden SBY dalam beberapa pernyataannya tentang dialog. Di sini penulis mengutip kembali penegasan Presiden SBY pada rapat kabinet 9 November 2011: ”Dialog antara pemerintah pusat dan saudara kita di Papua itu terbuka. Kita mesti berdialog, dialog terbuka untuk mencari solusi dan pilihan mencari langkah paling baik menyelesaikan masalah Papua”.

Terus meningkat

Sorotan internasional sejak 51 tahun integrasi Papua dengan Indonesia (1 Mei 1963-1 Mei 2014) akan terus meningkat di masa mendatang, terutama terhadap kasus-kasus yang disebutkan di atas. Sebagai prajurit TNI yang notabene juga putra Papua, kami merasa prihatin terhadap apa yang terjadi di tanah Papua selama 51 tahun ini. Sebagai anak bangsa Indonesia, kita tak bisa memungkiri adanya fakta lemahnya pemenuhan dan perlindungan HAM di Papua yang kemudian mencuat dan memicu keprihatinan dunia internasional. Sebagai bangsa yang besar dalam sejarah 51 tahun integrasi Papua dengan Indonesia, apalagi kita termasuk negara demokrasi nomor urut tiga di dunia, kita harus mau menerima rekomendasi komunitas internasional itu karena sangat penting untuk mengatasi masalah HAM di Papua.

Sebagai putra Papua yang lahir dari keluarga Pejuang Merah Putih, saya menilai bahwa Indonesia selama ini memandang penyelesaian Papua dapat dilakukan melalui pendekatan ekonomi. Padahal, kita mengetahui bersama bahwa masalah di Papua sangat kompleks dan rumit sehingga tidak dapat disederhanakan dengan hanya pendekatan ekonomi belaka. Suara hati orang asli Papua harus didengar. Rakyat Papua harus diajak berdialog untuk menyelesaikan akar masalah di Papua secara tuntas dan bermartabat.

Saya menilai kekhawatiran Indonesia yang berlebihan dengan memberi stigma separatis atas saudara-saudaranya, orang Papua, yang berbeda pendapat dalam alam demokrasi dewasa ini sangat disayangkan. Ini berarti selama 51 tahun Indonesia ”tidak berhasil merebut hati dan pikiran rakyat Papua serta gagal mengindonesiakan orang Papua”.

Tokoh gereja Benny Giay mengonstatir kepada Presiden SBY pada 16 Desember 2011 bahwa Indonesia telah ”berhasil” melahirkan bayi nasionalisme Papua.

Saya menilai institusi TNI dan Polri banyak mendapat sorotan internasional karena banyak kasus kekerasan yang muncul akibat lemahnya penghormatan dan penegakan HAM di tanah Papua. Karena itu, sebagai prajurit TNI dan tokoh Papua yang lahir dari orangtua dan keluarga yang mati untuk Merah Putih, saya menyarankan dan mengharapkan tiga hal dari pemerintah.

Pertama, agar Presiden SBY memenuhi janjinya menyelenggarakan dialog dengan rakyat Papua sebelum masa pemerintahannya berakhir. Kita bersyukur karena di bawah kepemimpinannya beliau bersama Wapres Jusuf Kalla masalah Aceh dapat selesai dengan tuntas. Rakyat Papua yakin Papua juga bisa diselesaikan dengan format yang sama, tuntas, dan bermartabat.

Kedua, agar anggota DPR dan presiden hasil Pemilu 2014 segera mengevaluasi kinerja kementerian, pemerintah daerah Papua dan Papua Barat, serta institusi keamanan di tanah Papua terkait masalah HAM.

Ketiga, Komnas HAM dan Kejaksaan Agung agar segera memproses kasus pelanggaran HAM berat di Papua dan Papua Barat serta membawa para pelakunya ke pengadilan HAM. Ini untuk menunjukkan bahwa Pemerintah RI mengapresiasi sorotan internasional  tersebut dan terus berupaya serius mengatasinya dengan  bijak.

Semoga dalam 51 tahun integrasi Papua dengan Indonesia ada banyak lessons learned perihal Papua demi meraih Papua Tanah Damai.

Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar