Rabu, 07 Mei 2014

Ekonomi Tiongkok Lebih Kuat dari AS?

Ekonomi Tiongkok Lebih Kuat dari AS?

Rene L Pattiradjawane  ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS,  07 Mei 2014
                                           
                                                                                         
                                                      
SEJAK awal, pengertian ”sosialisme berkarakteristik Tiongkok” merupakan pergolakan suci reformasi dan keterbukaan Tiongkok dengan memberi penekanan penting pada peran pasar bebas, ruang gerak bagi investasi asing, dan dorongan bagi individu Tiongkok untuk melakukan inisiatif.

Memang terasa janggal ketika Bank Dunia melalui Program Perbandingan Internasional yang dipublikasikan akhir pekan lalu menyebutkan produk domestik bruto (PDB) Tiongkok berdasarkan perhitungan keseimbangan daya beli (purchasing power parity/PPP) menempatkan RRT sebagai kekuatan ekonomi dunia terbesar mengungguli Amerika Serikat.

Jika benar Tiongkok melampaui kekuatan dan besarnya skala ekonomi AS tahun ini atau dalam waktu dekat, skala geostrategi dunia akan berubah drastis. Termasuk di dalamnya kalkulasi menyeluruh berbagai kekuatan semua negara untuk menempatkan negara raksasa dengan penduduk 1,35 miliar orang ini ke dalam persepsi ancaman dan peluang sekaligus.

Bagi kita, data statistik baru Bank Dunia menetapkan PDB Tiongkok berdasarkan asumsi PPP tetap tak menjawab berbagai pertanyaan mendasar yang kita hadapi sehari-hari. Misalnya, mengapa sebuah palu buatan RRT dijual di Indonesia bisa lebih murah ketimbang kepala palunya saat dijual kembali sebagai besi tua? Atau mengapa busana muslim buatan Guangzhou lebih murah dibandingkan dengan buatan Bandung?

Membandingkan harga beli hamburger memang persoalan sederhana memahami konteks PPP untuk mengukur kekuatan daya beli. Masalahnya terletak pada banyak persoalan, seperti harga daging di AS dan di Indonesia itu tidak sama. Walau sama-sama menggunakan daging impor, pajak yang dikenakan pun tidak sama antara hamburger di AS dan di Indonesia.

Yang kita pahami, impor ataupun ekspor barang-barang suatu negara akan diukur berdasarkan nilai sesungguhnya dollar AS yang akan memengaruhi, tidak saja daya saing, tetapi juga daya beli. Dalam kasus Tiongkok, ada 200 juta orang yang hidup di bawah garis kemiskinan atau setara dengan total penduduk Perancis, Jerman, dan Inggris. Selain itu, masih ada 80 juta penyandang cacat yang membutuhkan bantuan pemerintah untuk memudahkan kehidupan mereka.

Banyak faktor menentukan kemampuan daya beli dan daya saing suatu negara sehingga sulit mencari paritas persamaan di antara kekuatan ekonomi. Harga gandum, daging, kambing, mobil, bahan bakar, dan komoditas lain antara Tiongkok dan AS, atau Indonesia sekalipun, berbeda satu sama lain.

Faktor lain yang harus diperhitungkan adalah, pertama, kekuatan PDB berdasarkan hitungan PPP menjadi memadai kalau perbandingan dilakukan terhadap kekuatan ekonomi yang seimbang. Kesalahan akan menjadi lebih nyata ketika perhitungan ekonomi jasa dimasukkan, seperti kesehatan.

Kedua, nilai tukar mata uang dalam PPP sulit dijadikan ukuran tingkat kekuatan ekonomi, karena nilai ini refleksi perdagangan barang dan jasa internasional, bukan untuk transaksi non-perdagangan, seperti konstruksi atau jasa pemerintahan, yang tidak masuk dalam perdagangan internasional.

Ketiga, analisis kemiskinan menentukan daya beli konsumen menggunakan PPP memiliki keterbatasan karena struktur konsumsi negara-negara yang tak konsisten. Dengan berbagai faktor inilah, Tiongkok tak antusias menyatakan diri sebagai negara ekonomi terkuat dan terbesar dunia melampaui AS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar