Pemilu
dan Kecelakaan Sistem
M
Alfan Alfian ; Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional,
Jakarta
|
TEMPO.CO,
06 Mei 2014
|
Any political system is an acccident. If the
system works well on the whole it is a lucky accident. --- Edward
Banfield
Sejumlah media memberitakan komentar anggota Komisi II DPR, Nurul
Arifin, yang menganalogikan praktek pemilu legislatif 2014 sebagai perang
saudara di Suriah yang ganas dan tidak ada etikanya lagi, karena (sesama)
saudara saling memakan. Nurul sendiri konon terlempar dari kursinya dan
apa yang ia katakan tampak mewakili keluh-kesah hampir semua calon legislator
yang kalah, ataupun yang menang.
Persaingan
tajamlah yang membuat Nurul menghubungkan pemilu dengan perang Suriah. Sebab,
yang diperebutkan adalah dukungan suara terbanyak. Seorang caleg bersaing
dengan rekan mereka dalam satu parpol dan dari parpol lain. Tidak ada saudara
dalam kompetisi elektoral, yang ada sesama lawan. Dengan pemakaian kalimat "sesama saudara saling memakan",
aktris film Naga Bonar (1986) tersebut sesungguhnya tengah menegaskan bahwa
konsekuensi kanibalisme-politik tak terelakkan dan nyata.
Tuntutan
ongkos para caleg keterlaluan. Salah satu penyebabnya, masyarakat disebut
semakin proaktif, alias memiliki keberanian yang tinggi, untuk meminta uang
atau rupa-rupa lainnya kepada para caleg. Pola pragmatisme-transaksional
dominan terjadi di lapangan. Para caleg yang uangnya banyak, berpeluang besar
menang. Yang pas-pasan, apalagi yang irit dan tekor, mudah (kalau bukan
pasti) tersingkir.
Banyak
orang merasa ada sesuatu yang salah dari semua itu. Sistem proporsional
terbuka berdasarkan dukungan suara terbanyaklah yang menjadi penyebabnya.
Boleh dikatakan, sistem ini merupakan jenis ekstrem lain dari sistem
proporsional dengan stelsel daftar tertutup. Yang pertama, parpol hanya
menyorongkan orang sebagai caleg. Yang kedua, parpol perannya lebih penting
lagi, karena ia bisa mengatur nomor urut caleg yang menentukan kemenangan.
Melihat
pengalaman pemilu kita sekarang, timbul gagasan dalam benak banyak orang
ihwal perlunya mengembalikan sistem pemilu lama: proporsional tertutup.
Kemudian, dibikinlah diskusi-diskusi yang menimbang sistem proporsional
tertutup. Para pembicara menyorot kelemahan-kelemahan sistem proporsional
terbuka dan bernostalgia dengan era sistem proporsional tertutup. Mereka
mengatakan bahwa dulu masyarakat tidak seagresif sekarang. Dulu, masyarakat
tidak berani terang-terangan memeras para caleg.
Disebut
juga, sistem proporsional tertutup lebih menjamin pembangunan kelembagaan
partai. Sistem pengkaderan dapat dijaminkan ke sistem pemilu yang
memprioritaskan kader-kader terbaik pilihan parpol. Dulu, pemilu kita simpel.
Pemilih cukup mencoblos tanda gambar parpol. Dulu, orang parpol bekerja
sebagai bagian integral dari mesin politik besar parpol. Tapi, semua itu
tinggal kenangan ketika sistem proporsional tertutup digeser oleh yang
terbuka.
Tapi
sistem perpolitikan kita masih berpeluang berubah. Ketika orang menggagas
perlunya kembali ke sistem pemilu lama, hal demikian wajar saja. Sebab,
demokrasi politik memberi peluang trial and error alias mekanisme coba-gagal
alias korektif. Yang kurang dilengkapi, yang lemah diperkuat, yang bolong
ditambal, dan seterusnya. Dan, sistem pemilu memang termasuk yang selalu
berubah. Perubahannya seperti pendulum yang bergerak dari proporsional
tertutup, terbuka terbatas alias setengah terbuka, lalu ke terbuka murni.
Tidak hanya kalangan pemerintah dan DPR yang terlihat dalam perubahan sistem
itu, tapi juga Mahkamah Konstitusi.
Miriam
Budiardjo dalam buku legendarisnya, Pengantar Ilmu Politik, menjelaskan
betapa tidak ada satu pun sistem pemilu yang ideal. Sistem proporsional
nyatanya tidak lebih sempurna ketimbang sistem distrik, dan sebaliknya.
Karena itu, kemudian muncul berbagai variasi sistem pemilu. Para pakar dan,
terutama, politikus terus berikhtiar mencari sistem pemilu yang cocok. Tentu
saja soal menemukan yang cocok ini tidak gampang. Dalam hal inilah apa yang
disitir Edward Banfield di atas terasa relevansinya.
Jangan-jangan
seluruh produk sistem politik kita merupakan buah kecelakaan politik.
Sayangnya, tidak semua sistem membuahkan keberuntungan (a lucky accident). Ada yang diuntungkan dan tidak dalam sistem
politik. Tetapi, sekadar mengharapkan sistem pemilu menguntungkan diri dan
kelompoknya, ternyata tetap berisiko senjata makan tuan. Sebab, tidak semua
pembuat undang-undang pemilu saat ini terpilih, bahkan konon malah banyak
yang tersingkir.
Tampaknya,
banyak yang setuju bahwa sistem politik kita perlu dibenahi, guna
menyingkirkan ekses-ekses negatifnya. Tentu, pekerjaan besar inilah yang akan
dibebankan kepada para anggota DPR mendatang. DPR punya fungsi legislasi,
ujung tombak perubahan sistem. Tapi apakah mereka memiliki gagasan yang sama
dengan arus kuat gagasan masyarakat atau tidak, tentu bergantung pada lalu
lintas kepentingan. Para politikus sering melupakan kekuatan gagasan dan
sibuk mengamankan kepentingan. Akibatnya, perbaikan sistem terlewatkan. Tapi
ketika ada yang merasa dirugikan oleh sistem yang dibuat sendiri, yang muncul
justru sederet keluhan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar