Jangan
Pidanakan Pengambil Keputusan Salah
Hikmahanto
Juwana ; Guru Besar
Ilmu Hukum FHUI
|
KOMPAS,
16 Mei 2014
DEWASA
ini pejabat publik berpikir dua kali saat mereka harus mengambil keputusan
yang berkaitan dengan keuangan negara. Mereka ingin memastikan tidak akan ada
kerugian negara akibat keputusan yang diambil.
Ini juga
yang melanda pejabat BUMN dan lembaga yang dimodali oleh negara, seperti
Lembaga Penjamin Simpanan. Ini akibat UU Keuangan Negara mengategorikan uang
yang mereka kelola sebagai keuangan negara. Kekhawatiran dipicu oleh persepsi
keputusan salah yang mengakibatkan kerugian negara dapat dijerat dengan UU
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Ini yang
terjadi pada PT Pertamina beberapa waktu lalu ketika hasil audit BPK
menemukan adanya kerugian sebesar Rp 7 triliun dalam bisnis elpiji tabung 12
kilogram. Pertamina pun menaikkan harga elpiji secara signifikan yang
menyebabkan kehebohan.
Keputusan salah
Apakah
membuat suatu keputusan salah yang berkaitan dengan keuangan negara
serta-merta berkonsekuensi pada jeratan UU Tipikor dan sanksi pidana?
Untuk
menjawab pertanyaan ini, menarik untuk menyimak hadis yang berbunyi, ”Apabila seorang hakim menghukumi satu
perkara, lalu berijtihad dan benar, baginya dua pahala. Dan apabila ia
menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan keliru, baginya satu pahala”.
Dari
hadis tersebut, ijtihad hakim dapat berkonsekuensi benar maupun keliru atau
salah. Bila ijtihad ternyata salah, maka putusan ini tidak berkonsekuensi
pada dosa. Ijtihad salah tetap diganjar dengan pahala meski hanya satu.
Kebenaran
yang sebenar-benarnya adalah milik Allah SWT. Hakim sebagai manusia dalam
membuat ijtihad sangat relatif kebenarannya. Namun, ijtihad harus dibuat.
Hakim tidak boleh ragu dalam membuat ijtihad hanya karena khawatir ijtihadnya
akan salah.
Bila
ijtihad hakim ini dianalogikan dengan keputusan pejabat, maka keputusan harus
dibuat. Pejabat harus mengambil keputusan. Bahkan, tidak mengambil keputusan
pun dianggap sebagai keputusan yang telah diambil.
Keputusan
yang benar tentu akan mendapat apresiasi. Bagaimana bila keputusan salah?
Apakah pengambil keputusan pantas diganjar sanksi pidana?
Kalaulah
sanksi pidana dapat disamakan dengan dosa, pengambil keputusan yang salah,
layaknya hakim yang berijtihad, tidak seharusnya diganjar dengan sanksi
pidana.
Apakah
pengambil keputusan dengan demikian terbebas dari jeratan dan sanksi pidana?
Tentu tidak. Pengambil keputusan bisa saja dikenai sanksi pidana apabila
dapat dibuktikan saat mengambil keputusan terdapat perilaku koruptif.
Di sini
harus dipahami betul bahwa dapat tidaknya pengambil keputusan dikenai sanksi
pidana bukan dilihat dari keputusan yang telah diambil; apakah keputusan
tersebut salah dan menyebabkan kerugian negara.
Dalam
konteks hukum pidana, pengambil keputusan akan dikejar dan dijerat secara
pidana bila ada dugaan dan terbukti adanya perilaku koruptif. Ini, sekali
lagi, terlepas dari keputusan tersebut salah atau benar.
Bahkan,
untuk kebijakan yang dianggap benar sekalipun, bila ada perilaku koruptif
dalam pengambilan kebijakan tersebut sangat bisa untuk dikejar berdasarkan UU
Tipikor.
Delik
Di masa
lalu sangat dominan para pejabat mengambil keputusan yang berunsurkan
perilaku koruptif. Perilaku koruptif
ini yang membebani keuangan negara. Uang negara pun tersedot, tidak untuk
menyejahterakan rakyat, tetapi untuk memperkaya diri sendiri, orang lain,
atau korporasi.
Tidak heran bila UU Tipikor 1971 maupun
penggantinya, UU Tipikor 1999, mencantumkan dua delik tindak pidana korupsi
yang berkaitan dengan kerugian dan keuangan negara. Pertama, yang tercantum
dalam Pasal 1 (a) UU Tipikor 1971 yang mirip dengan Pasal 2 (1) UU Tipikor
1999. Perilaku koruptif dalam delik ini dirumuskan, ”Orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara”.
Kedua,
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 Huruf (b) UU Tipikor 1971 yang mirip
dengan Pasal 3 UU Tipikor 1999. Di sini delik dari perilaku koruptif
dirumuskan sebagai ”orang yang
mempunyai tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporsi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara”.
Menjadi
permasalahan apakah bila terjadi kerugian negara tanpa melihat unsur lain
seperti secara melawan hukum, atau memperkaya diri sendiri, atau
menyalahgunakan kewenangan dapat serta-merta menduga dan menyalahkan
pengambil keputusan melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 2 atau
3 UU Tipikor?
Jawabannya
tentu tidak. Kerugian negara tidak serta-merta memosisikan pengambil
keputusan telah melakukan tindak pidana. Pengambil keputusan akan diseret ke
pengadilan bila dapat dibuktikan perilaku koruptifnya.
Kecurigaan
atas suatu keputusan yang berkaitan dengan keuangan negara tentu wajar
sebagai akibat trauma masa lalu yang kental akan korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN). Meski demikian, jangan sampai trauma tersebut dilanggengkan,
yang berakibat para pejabat enggan mengambil keputusan karena khawatir
keputusan salah dan merugikan keuangan negara berujung pada sanksi pidana.
Siapa
pun pejabat harus berani mengambil keputusan. Keputusan harus dibuat dengan
memastikan tidak ada perilaku koruptif. Oleh karena itu, bila sudah dihindari
perilaku koruptif, jangan pidanakan pejabat pengambil keputusan yang salah! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar