Minggu, 11 Mei 2014

Minangkabau dan Dunia Melayu (3)

Minangkabau dan Dunia Melayu (3)

Mochtar Naim  ;   Sosiolog
HALUAN, 10 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Kenapa bernama “Mi­­­­­nang­­kabau” itu pun ada legendanya, saat Maja­pahit mau mem­perluas daerah kekuasaannya ke Pulau Sumatera. Karena cerdiknya orang Minang, peperangan dialihkan ke adu kerbau.

Pada waktu yang telah ditentukan, orang Jawa mem­bawa kerbau jantan besar dan garang. Sementara orang Minang membawa anak kerbau yang masih kerap menyusu  dan dikandangkan serta bebe­rapa hari tidak disusui. Dua-duanya ke­mudian dilepas di medan laga. Ker­bau orang Minang langsung me­nyerbu dan me­nyeruak men­cari puting susu dari kerbau jawa, karena mengira in­duk­nya.

Kerbau jawa yang kuat dan be­sar itu akhirnya rebah kena serudukan taji yang dipasang di tanduk yang akan tumbuh di kepala kerbau minang itu. Semua dari kelom­pok Minang bersorak kegi­rangan, minang­kabau. Otak cerdik orang Minang rupanya sampai ke sana, legenda itu. Intinya, mentang-mentang kecil, tapi mana mau kalah.

Itu semua adalah cerita masa lalu yang penuh kabut.  Kita hanya pandai mengutip, tapi tidak tahu benar tidaknya. Sisi sosiologi dari orang Minang dalam kerangka dunia Melayu ini bagi kita yang awam sejarah dan arkeologi ini, mungkin akan lebih menarik. Dan di jalur ini, kita akan mencoba melihat bagaimana peranan orang Minang dalam dunia Melayu.

Dengan masuknya Islam ke Nusantara ini, maka orang Melayu pun terbelah dua dalam sikapnya terhadap agama-agama. Ada yang sintetik, ada yang singkretik. Garis pemisah­nya adalah laut Jawa. Utara laut Jawa dan selatan laut Ja­wa. Semua yang ada di utara laut Jawa beraliran sintetik, termasuk Minangkabau dan semua puak Melayu sampai ke Semenanjung, Thailand Selatan, Borneo Utara dan Filipina Selatan. Dan yang ada di selatan laut Jawa termasuk Jawa, Madura  dan Sunda, berorientasi sinkretik. Tipis tebalnya paham sintetisme-singkretisme ini banyak dipe­ngaruhi oleh tipis tebalnya pengaruh agama dan budaya hinduisme dan budisme yang masuk ke wilayah masing-masing budaya sebelumnya. Jawa yang kental unsur hin­duisme dan budismenya, di samping unsur budaya primor­dial Jawa : kejawen, memang cenderung berorientasi singkretik  dan sintetik, karena latar belakang dari unsur budaya yang membentuknya.

Di Jawa, karena sikap yang menonjol adalah singkretisme, yang melihat semua agama sebagai sama (JW: sadaya agami sami kemawon), sama baiknya dan sama benarnya, walaupun ajaran berbeda yang terjadi lalu adalah perbauran antara agama-agama dalam tingkat tolere­nsi yang tinggi, sehing­ga tidak hanya dalam masyarakat dan kelompok masyarakat yang sama, dalam keluarga yang samapun dan biasa terjadi perbauran antar agama.

Dengan mayoritas penduduk Indonesia adalah orang Jawa, dan pusat kekuasaan sejak semula ada di Jawa, kecen­derungan singkrotisme Jawa ini juga masuk ke dalam sistem kenegaraan yang terlefleksi ke dalam NKRI saat ini yang memang didominasi oleh kelom­pok berbudaya Jawa, baik sipil maupun militer.

Kendati sila pertama Panca­sila mengatakan: Ketuhanan yang Maha Esa, dan kita tahu bahwa satu-satunya agama yang berketuhanan yang maha esa adalah Islam, tetapi NKRI bukanlah Negara Islam tetapi negara yang belakangan dilam­bangkan dengan “Empat pilar kebangsaan” yaitu: Pan­casila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggaal Ika-tetapi kemudian kembali dimahzulkan oleh MK (Mahkamah Konstitusi). Semua ini jelas menun­jukkan kecenderungan orientasi budaya sinkretik tadi.

Dalam mayarakat Melayu luar Jawa, sebaliknya. yang terjadi adalah sintetisme antara bu­daya primordial Melayu dan Islam, dengan prinsip, mana  yang sesuai dengan Islam diterima, yang tidak dibuang. Itulah yang sekarang dibahas ke dalam filosofi budaya: “ABS-SBK – adat bersendi syarak, syarak bersen­di kitabullah.” Biasanya dileng­kapi lagi : “syarak mengata, adat memakai. Alam takambang manjadi guru.” Dan dengan itu pula muncul adagium Melayu: DMDI – Dunia Melayu Dunia Islam. Konse­kuensinya, orang Melayu yang keluar dari Islam, dan pindah ke agama lain, ia juga berhenti jadi orang Melayu dan tidak lagi diterima dalam masya­rakat Melayu. Artinya, dibuang sepanjang adat.

Sinkretisme VS sintetisme juga berkaitan dengan sistem dan struktur sosial masyarakat Melayu: Jawa yang hirarkis-vertikal, aristokratik-feodal, sentrypetal, luar Jawa yang horizontal egaliter - demokratik, sentrifugal. Ketika pentolan-pentolan dari kedua belah pihak, Jawa dan luar Jawa, akhirnya bertemu untuk bersama-sama memper­juang­kan hapusnya penjajahan dan tegaknya Negara Indonesia merdeka, di pentas sejarah itu kita melihat bagai­mana kedua kelompok Melayu ini saling memperlihatkan ciri-ciri dari latar belakang budaya yang berbeda yang membentuk watak dan karakter ma­sing-masing, yang garis besarnya berujung pada dikotomi budaya J (Ja­wa) yang sinkretik dan M (Melayu, Mi­nang) yang sintetik itu.

Lihatlah bagai­ma­na wajah penam­pilan dari tokoh-tokoh yang berbudaya Jawa, sejak dari Cokroa­minoto, Ki Hajar Dewantara , sampai ke Soe­karno, Soe­pomo, Sastro­wa­mijo­wo dan sekian ba­nyak o-o yang lainnya itu. Dan lihat pula dan lang­sung bandingkan dengan yang dari luar Jawa, khu­susnya Minangkabau, yang ber a-a, sejak dari Tan Mala­ka, Agus Salim, Hatta, Moh. Yamin, Syahril, Natsir, dan lainnya.

Baik secara sendiri-sendiri maupun secara kolektif mere­ka memperlihatkan pantulan dari sifat-sifat budaya primor­dial mereka masing-masing, kendati semua mereka telah mendapat sepuhan budaya barat Melayu, sekolah yang mereka masuki, yang ujung­nya adalah dikotomi itu, yaitu J yang sinkretik dan M yang sintetik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar