Minangkabau
dan Dunia Melayu (3)
Mochtar
Naim ; Sosiolog
|
HALUAN,
10 Mei 2014
Kenapa bernama “Minangkabau” itu pun ada legendanya, saat Majapahit
mau memperluas daerah kekuasaannya ke Pulau Sumatera. Karena cerdiknya orang
Minang, peperangan dialihkan ke adu kerbau.
Pada waktu yang telah
ditentukan, orang Jawa membawa kerbau jantan besar dan garang. Sementara
orang Minang membawa anak kerbau yang masih kerap menyusu dan
dikandangkan serta beberapa hari tidak disusui. Dua-duanya kemudian dilepas
di medan laga. Kerbau orang Minang langsung menyerbu dan menyeruak mencari
puting susu dari kerbau jawa, karena mengira induknya.
Kerbau jawa yang kuat dan besar
itu akhirnya rebah kena serudukan taji yang dipasang di tanduk yang akan
tumbuh di kepala kerbau minang itu. Semua dari kelompok Minang bersorak kegirangan,
minangkabau. Otak cerdik orang Minang rupanya sampai ke sana, legenda itu.
Intinya, mentang-mentang kecil, tapi mana mau kalah.
Itu semua adalah cerita masa
lalu yang penuh kabut. Kita hanya pandai mengutip, tapi tidak tahu
benar tidaknya. Sisi sosiologi dari orang Minang dalam kerangka dunia Melayu
ini bagi kita yang awam sejarah dan arkeologi ini, mungkin akan lebih
menarik. Dan di jalur ini, kita akan mencoba melihat bagaimana peranan orang
Minang dalam dunia Melayu.
Dengan masuknya Islam ke
Nusantara ini, maka orang Melayu pun terbelah dua dalam sikapnya terhadap
agama-agama. Ada yang sintetik, ada yang singkretik. Garis pemisahnya adalah
laut Jawa. Utara laut Jawa dan selatan laut Jawa. Semua yang ada di utara
laut Jawa beraliran sintetik, termasuk Minangkabau dan semua puak Melayu
sampai ke Semenanjung, Thailand Selatan, Borneo Utara dan Filipina Selatan.
Dan yang ada di selatan laut Jawa termasuk Jawa, Madura dan Sunda,
berorientasi sinkretik. Tipis tebalnya paham sintetisme-singkretisme ini
banyak dipengaruhi oleh tipis tebalnya pengaruh agama dan budaya hinduisme
dan budisme yang masuk ke wilayah masing-masing budaya sebelumnya. Jawa yang
kental unsur hinduisme dan budismenya, di samping unsur budaya primordial
Jawa : kejawen, memang cenderung berorientasi singkretik dan sintetik,
karena latar belakang dari unsur budaya yang membentuknya.
Di Jawa, karena sikap yang
menonjol adalah singkretisme, yang melihat semua agama sebagai sama (JW:
sadaya agami sami kemawon), sama baiknya dan sama benarnya, walaupun ajaran
berbeda yang terjadi lalu adalah perbauran antara agama-agama dalam tingkat
tolerensi yang tinggi, sehingga tidak hanya dalam masyarakat dan kelompok
masyarakat yang sama, dalam keluarga yang samapun dan biasa terjadi perbauran
antar agama.
Dengan mayoritas penduduk
Indonesia adalah orang Jawa, dan pusat kekuasaan sejak semula ada di Jawa,
kecenderungan singkrotisme Jawa ini juga masuk ke dalam sistem kenegaraan
yang terlefleksi ke dalam NKRI saat ini yang memang didominasi oleh kelompok
berbudaya Jawa, baik sipil maupun militer.
Kendati sila pertama Pancasila
mengatakan: Ketuhanan yang Maha Esa, dan kita tahu bahwa satu-satunya agama
yang berketuhanan yang maha esa adalah Islam, tetapi NKRI bukanlah Negara
Islam tetapi negara yang belakangan dilambangkan dengan “Empat pilar
kebangsaan” yaitu: Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggaal Ika-tetapi
kemudian kembali dimahzulkan oleh MK (Mahkamah Konstitusi). Semua ini jelas
menunjukkan kecenderungan orientasi budaya sinkretik tadi.
Dalam mayarakat Melayu luar
Jawa, sebaliknya. yang terjadi adalah sintetisme antara budaya primordial
Melayu dan Islam, dengan prinsip, mana yang sesuai dengan Islam
diterima, yang tidak dibuang. Itulah yang sekarang dibahas ke dalam filosofi
budaya: “ABS-SBK – adat bersendi
syarak, syarak bersendi kitabullah.” Biasanya dilengkapi lagi : “syarak
mengata, adat memakai. Alam takambang manjadi guru.” Dan dengan itu pula
muncul adagium Melayu: DMDI – Dunia
Melayu Dunia Islam. Konsekuensinya, orang Melayu yang keluar dari Islam,
dan pindah ke agama lain, ia juga berhenti jadi orang Melayu dan tidak lagi
diterima dalam masyarakat Melayu. Artinya, dibuang sepanjang adat.
Sinkretisme VS sintetisme juga
berkaitan dengan sistem dan struktur sosial masyarakat Melayu: Jawa yang
hirarkis-vertikal, aristokratik-feodal, sentrypetal, luar Jawa yang
horizontal egaliter - demokratik, sentrifugal. Ketika pentolan-pentolan dari
kedua belah pihak, Jawa dan luar Jawa, akhirnya bertemu untuk bersama-sama
memperjuangkan hapusnya penjajahan dan tegaknya Negara Indonesia merdeka,
di pentas sejarah itu kita melihat bagaimana kedua kelompok Melayu ini
saling memperlihatkan ciri-ciri dari latar belakang budaya yang berbeda yang
membentuk watak dan karakter masing-masing, yang garis besarnya berujung
pada dikotomi budaya J (Jawa) yang sinkretik dan M (Melayu, Minang) yang
sintetik itu.
Lihatlah bagaimana wajah
penampilan dari tokoh-tokoh yang berbudaya Jawa, sejak dari Cokroaminoto,
Ki Hajar Dewantara , sampai ke Soekarno, Soepomo, Sastrowamijowo dan
sekian banyak o-o yang lainnya itu. Dan lihat pula dan langsung bandingkan
dengan yang dari luar Jawa, khususnya Minangkabau, yang ber a-a, sejak dari
Tan Malaka, Agus Salim, Hatta, Moh. Yamin, Syahril, Natsir, dan lainnya.
Baik secara sendiri-sendiri
maupun secara kolektif mereka memperlihatkan pantulan dari sifat-sifat
budaya primordial mereka masing-masing, kendati semua mereka telah mendapat
sepuhan budaya barat Melayu, sekolah yang mereka masuki, yang ujungnya
adalah dikotomi itu, yaitu J yang sinkretik dan M yang sintetik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar