Tantangan
Presiden 2014-2019
Rokhmin
Dahuri ; Ketua Umum Gerakan Nelayan dan Tani Indonesia (GANTI),
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB)
|
KORAN
SINDO, 07 Mei 2014
|
Presiden
terpilih pada Pilpres 9 Juli mendatang beserta tim kabinetnya akan menghadapi
tantangan pembangunan yang berat dan kompleks. Benar dalam sepuluh tahun
terakhir kinerja makroekonomi lumayan bagus, seperti
pertumbuhanekonomirata-rata 5,4% per tahun, jumlah kelas menengah yang terus
meningkat, dan PDB mencapai USD1 triliun, terbesar ke-16 di dunia.
Namun,
kondisi riil kehidupan sosialekonomi mayoritas rakyat sungguh memprihatinkan.
Betapa tidak, sekitar 29,1 juta orang (11% total penduduk) masih miskin, dan
70 juta orang hampir miskin. Sekitar 7,39 juta penduduk usia kerja menganggur
penuh, dan 37 juta orang setengah menganggur. Tantangan lainnya adalah
semakin melebarnya kesenjangan antara kelompok kaya vs miskin. Hal ini
tecermin dari koefisien Gini yang pada 2004 hanya 0,31 kini menjadi 0,42.
Tingginya angka pengangguran dan kemiskinan serta jurang antara kaya vs.
Miskin yang kian lebar ditengarai telah mengakibatkan semakin marak dan
masifnya pencurian, perampokan, konsumsi narkoba, bunuh diri, dan kecemburuan
sosial yang acap meledak dalam berbagai bentuk demonstrasi serta perkelahian
antara kelompok masyarakat.
Perlu diingat,
bahwa negara dengan koefisien Gini di atas 0,45 biasanya selalu diguncang oleh
aksi demonstrasi brutal atau perang saudara seperti kini tengah berkecamuk di
Mesir, Suriah, dan Libya. Orang tua yang menganggur atau miskin umumnya
melahirkan anak-anak dan generasi penerus kurang gizi, malas, lemah, dan
kurang cerdas. Hal ini terkonfirmasi oleh fakta, pada 2012 sekitar 36% anak
balita mengalami kurang gizi kronis dan 7,8 juta anak (kelima terbanyak di
dunia) mengalami pertumbuhan terhambat (stunted
growth), yang pada gilirannya mengakibatkan cacat permanen pada fisik dan
kecerdasan.
Tak
mengherankan jika Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tergolong rendah
di dunia, peringkatke-121dari 187 negara yang disurvei atau peringkat keenam
di ASEAN (UNDP, 2012). Selain pengangguran, kemiskinan, dan kesenjangan kaya
vs miskin, pekerjaan rumah yang tak kalah berat adalah daya saing Indonesia
yang rendah, hanya peringkat kelima di ASEAN dan peringkat ke-38 di dunia
(WEF, 2013).
Padahal,
ciri utama globalisasi adalah persaingan antarbangsa yang semakin tajam.
Hanya bangsa dengan daya saing yang tinggi saja yang bisa survive serta menjadi
maju dan makmur (Porter, 2009). Mulai tahun depan kita telah sepakat memasuki
era pasar bebas ASEAN. Bila kita gagal meningkatkan daya saing bangsa secara
signifikan, niscaya defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan yang
sudah berlangsung sejak dua tahun terakhir semakin membengkak.
Akar Masalah
Mengapa
pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi tidak mampu mengatasi masalah
pengangguran, kemiskinan, dan kesenjangan kaya vs miskin? Karena pertumbuhan
ekonomi selama dua dekade terakhir kurang berkualitas. Sebagian besar (70%)
digerakkan oleh sektor konsumsi (53%), ekspor komoditas mentah, sektor
keuangan, dan sektor non tradable seperti angkutan, properti, malls, dan
dunia hiburan. Lebih dari itu, berbagai kegiatan sektor konsumsi, keuangan,
dan non tradable itu pada umumnya terkonsentrasi di wilayah perkotaan, Pulau
Jawa dan Bali.
Akibatnya disparitas pembangunan
antarwilayah, terutama antara Jawa vs luar Jawa dan antara desa vs kota
sangat njomplang. Apabila disparitas pembangunan antarwilayah ini tidak
segera dikoreksi, laju urbanisasi dan ”brain drain” bakal semakin tidak
terbendung. Ekosistem Pulau Jawa dan Bali akan semakin hancur. Sebaliknya,
sumber daya alam yang melimpah di luar Jawa dan Bali tidak termanfaatkan
secara optimal atau ”dicuri”oleh pihak asing seperti yang terjadi selama ini.
Sementara itu, sektor riil tradable (seperti kelautan dan perikanan,
pertanian, kehutanan, ESDM, dan industri manufaktur) tumbuh sangat lambat,
alias mati suri. Padahal, sektor tradable dapat menciptakan lapangan kerja
dalam jumlah besar, sekitar 400.000 tenaga kerja per satu persen pertumbuhan,
dan lokasi usahanya pun tersebar di seluruh wilayah NKRI.
Selain
telah membuat laju pertumbuhan sektor tradable terhambat, buruknya
infrastruktur, kekurangan pasok energi listrik, rendahnya produktivitas
tenaga kerja, tidak kondusifnya iklim investasi (doing business), ekonomi biaya tinggi, daninkonsistensikebijakan
pemerintah juga mengakibatkan rendahnya daya saing segenap produk yang
dihasilkan oleh sektor tradable. Selain karena berbagai faktor teknis,
kegagalan kita membangun kedaulatan pangan dan energi, lebih disebabkan oleh
mafia impor pangan dan minyak, dan kebijakan politik-ekonomi yang tidak
kondusif, termasuk suku bunga bank yang terlalu tinggi dan persyaratan pinjam
yang terlampau ketat bagi sektor pangan dan energi.
Rendahnya
daya saing dan sejumlah permasalahan ekonomi di atas berakar pada rendahnya
kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang tecermin pada kapasitas
inovasi bangsa yang rendah (peringkat ke-85 dari 142 negara yang disurvei),
produktivitas tenaga kerja rendah (peringkat ke-7 di ASEAN), dan IPM yang
hanya di urutan ke-121 di dunia.
Agenda Pembangunan
Dengan
alasan-alasan di atas, presiden terpilih beserta seluruh menterinya harus
mampu memimpin bangsa ini untuk secara signifikan meningkatkan produktivitas
dan daya saing bangsa guna menghasilkan pertumbuhan ekonomi tinggi (di atas
7% per tahun), berkualitas dan inklusif (menyerap banyak tenaga kerja dan
menyejahterakan seluruh rakyat secara adil), dan berkelanjutan (sustainable). Selain itu, seiring
dengan kebutuhan pangan dan energi yang terus meningkat akibat pertambahan
pendudukdanintensitaspembangunan di satu sisi, dan perubahan iklim global
yang dapat mengganggu produksi pangan dan energi dunia di sisi lain.
Maka,
pembangunan kedaulatan pangan dan energi harus juga mendapatkan prioritas
utama. Dalam jangka pendek dan menengah (satu sampai lima tahun ke depan),
sektor-sektor ekonomi yang banyak menciptakan lapangan kerja dan sejak Orde
Baru menjadi andalan perekonomian nasional (seperti industri makanan dan
minuman, tekstil dan produk tekstil, automotif, elektronik, pertanian, ESDM,
dan pariwisata) harus direvitalisasi, ditingkatkan produktivitas, nilai
tambah, dan daya saingnya. Secara simultan, mulai sekarang sampai 25 tahun ke
depan (jangka panjang), kita harus secara sistematis dan berkesinambungan
melakukan transformasi struktur ekonomi nasional.
Ini
meliputi industrialisasi sektor pertanian, kehutanan, dan kelautan-perikanan
tradisional dengan menerapkan keempat prinsip manajemen tersebut. Melakukan
hilirisasi sektor ESDMdanpengelolaannya harus sesuai Pasal 33 UUD 1945.
Jangan seperti sekarang, lebih dari 85 persen pengelolaan migas dan
pertambangan umum (mineral dan batu bara) diserahkan kepada korporasi asing.
Mengembangkan sektor-sektor ekonomi baru, seperti kelautan, teknologi
informasi, energi baru dan terbarukan, bioteknologi, nanoteknologi, dan new
materials.
Sebagai
negara bahari dan agraris tropis terbesar di dunia yang subur, Indonesia
sangat mungkin untuk membangun kedaulatan pangan. Caranya dengan meningkatkan
produksi pangan domestik secara berkelanjutan melalui peningkatan produktivitas,
nilai tambah, dan daya saing usaha budi daya pertanian tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan, dan penangkapan ikan yang
telah ada. Melakukan ekstensifikasi lahan dan diversifikasi usaha pertanian
dan perikanan.
Manajemen
pola konsumsi pangan bangsa, terutama dengan mengurangi konsumsi beras per
kapita dari sekarang 140 kg menjadi 80 kg. Pengolahan (hilirisasi) sejumlah
produk pertanian dan perikanan juga harus lebih ditingkatkan untuk
mendapatkan nilai tambah dan multiplier
effects ekonomi. Penguatan dan pengembangan sistem distribusi dan
logistik pangan. Dan, stop impor komoditas pangan yang bisa diproduksi di
dalam negeri, baik secara bertahap maupun sekarang juga bagi komoditas yang
saat ini pasok produksinya lebih kecil ketimbang kebutuhan nasional.
Kedaulatan
energi dapat kita wujudkan melalui peningkatan produksi energi nasional,
khususnya yang berasal dari jenis energi baru dan terbarukan, seperti panas
bumi, energi surya, angin, pasang-surut, gelombang, ocean thermal energy conversion (OTEC), dan bioenergi. Penggunaan
bauran energi (energy mix) nasional
harus segera beralih, dari yang saat ini dominan berbasis energi fosil
(minyak, gas, dan batu bara) ke energi baru dan terbarukan. Lalu, penghematan
dan konservasi dalam penggunaan energi, baik di sektor industri maupun rumah
tangga, juga harus secara disiplin segera dilaksanakan.
Kecuali
untuk nelayan dan pembudi daya ikan, kini saatnya kita menghentikan subsidi
BBM. Untuk mendukung program pembangunan ekonomi, kedaulatan pangan dan
energi tersebut, kita harus merevitalisasi dan membangun baru infrastruktur,
industri dasar (industri mesin, peralatan mesin, dan kimia), dan sistem
logistik nasional. Semua agenda pembangunan ekonomi di atas hanya dapat
dilaksanakan oleh tenaga kerja (SDM) yang berkualitas dan memiliki etos kerja
tinggi. Selain itu, bangsa Indonesia juga harus mampu menghasilkan teknologi
dan menerpakannya di segenap bidang kehidupan.
Kita
harus segera berubah, dari saat ini sebagai bangsa konsumen menjadi bangsa
produsen. Ini dapat kita wujudkan melalui penguatan dan pengembangan sistem
serta cara kerja di sektor kesehatan, pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan
penelitian dan pengembangan (R&D). Selain dana swasta dan perbankan,
alokasi anggaran APBN untuk membiayai agenda pembangunan yang menjadi
kewajiban pemerintah dapat ditingkatkan melalui optimalisasi penerimaan pajak
(bisa dua kali lipat dari yang sekarang) dan pendapatan negara bukan pajak
(PNBP) dengan mengelola SDA sesuai Pasal 33 UUD 1945, dan penghematan belanja
negara.
Akhirnya,
sistem dan cara kerja bidang politik, hukum dan keamanan (polhukam) harus
diperbaiki untuk memastikan suasana kehidupan berbangsa yang berkeadilan,
aman, dan damai. Iklim investasi dan bisnis yang atraktif dan kondusif, dan
terbangunnya masyarakat meritokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar