Kabinet
Bayangan
Firman
Noor ; Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI,
Staf Pengajar Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia
(UI)
|
KORAN
SINDO, 07 Mei 2014
|
Saat ini
perbincangan mengenai koalisi partai terkait terutama dengan pelaksanaan
pemilihan presiden (pilpres) semakin hangat. Tawar menawar politik makin
intens dilakukan oleh partai-partai. Sehubungan dengan itu, idealnya,
pengumuman kesepakatan berkoalisi tidak saja terhenti pada soal partai mana
saja yang akan bergabung dalam koalisi dan figur kandidat presiden dan
wakilpresidenyangakan, namun juga menyentuh, setidaknya, kisi-kisi bakal
calon menteri yang akan mengisi kabinet.
Sebagai Parameter
Dalam
sistem presidensialisme, seorang presiden sebagai kepala pemerintahan
memiliki kekuasaan penuh untuk menentukan komposisi kabinet yang akan
dipimpinnya. Ketepatan seorang presiden dalam memilih figur-figur yang
meyakinkan dalam membangun kabinet menjadi salah satu kunci yang akan turut
membawa keberhasilan seorang presiden. Beberapa presiden AS yang berhasil,
misalnya, dikenal sebagai orang-orang yang mampu membangun sebuah kabinet
yang berkualitas. Di antara mereka memang terbantu oleh karisma dan kecerdasannya.
Namun dalam melaksanakan pemerintahan, tak pelak presidenpresiden AS terbaik
memang dibantuolehsebuahkabinetyang cemerlang.
Kemampuan
meramu orang-orang terbaik kerap menjadi salah satu kisah menarik yang
diangkat dalam sejarah politik di AS. Salah satunya adalah karya Doris K.
Goodwin yang berjudul The Team of
Rivals: The Political Genius of Abraham Lincoln (2005), yang menceritakan
kecerdikan Lincoln dalam meramu orangorang yang saling bertentangan, dan
bahkan menentang dirinya, untuk dapat bahu-membahu dan bekerja sama
menghasilkan sederetan prestasi pemerintah yang luar biasa.
Pilihan
atas figur-figur yang akan menjabat dalam posisi kabinet sesungguhnya
merupakan situasi objektif yang dapat dinilai oleh khalayak dalam menilai
kualitas pemerintahan pada umumnya, khususnya kualitas kepemimpinan seorang
presiden. Bagaimana racikan kabinet seorang kandidat presiden dapat menjadi
salah satu bahan pertimbangan bagi khalayak dalam memilih. Dalam kaitan
dengan kampanye pilpres, dengan demikian, adalah hal yang penting jika sebuah
susunan kabinet seorang kandidat atau umum dikenal di Indonesia sebagai
”kabinet bayangan” dapat sejak dini ditampilkan.
Arti Penting Kabinet Bayangan
Istilah
kabinet bayangan atau shadow cabinet—yakni
”susunan kabinet” yang dibentuk oleh kalangan oposisi di parlemen—secara luas
lebih dikenal dalam sistem parlementer. Istilah itu dalam konteks sistem
presidensial jelas tidak terlaludikenalistilah tersebut. Untuk itu, istilah
kabinet bayangan dalam tulisan ini lebih mengacu pada kisi-kisi kabinet yang
akan dibentuk oleh seorang calon presiden manakala terpilih. Kisi-kisi ini
tentu saja dapat berupa sebuah jajaran kabinet yang utuh dan lengkap atau
sekadar penyampaian pada posisi-posisi menteri strategis.
Meski
bukan merupakan sebuah kewajiban, ada beberapa hal yang menyebabkan kabinet
bayangan menjadi penting, di mana dapat memberikan beberapa hal positif baik
bagi masyarakat maupun bagi kandidat presiden itu sendiri. Dalam konteks
kebaikan bagi rakyat, hal ini terkait dengan persoalan transparansi publik,
yang diharapkan dapat membantu rakyat untuk membuat perhitungan dan penilaian
tentang kualitas dan masa depan pemerintahan masingmasing kandidat. Dari situ
keputusan yang diambil oleh masyarakat banyak akan lebih objektif, karena
tidak melulu didasari pada pencitraan individual kandidat presiden semata.
Rakyat
tidak lagi membeli kucing dalam karung, karena mereka telah sejak dini
mendapat bayangan atau perkiraan, meski bersifat kasar, tentang probabilitas
kualitas pemerintahan masing-masing kandidat presiden. Dalam jangka panjang,
penyampaian kabinet bayangan akan menjadi pendidikan politik bagi masyarakat
untuk lebih jeli dan kritis lagi dalam menjatuhkan pilihannya pada seorang
kandidat presiden. Dan di ujung itu semua, masyarakat diharapkan akan lebih
sadar untuk dapat memahami adanya korelasi antara pilihan figur kabinet
dengan kondisi kehidupan bangsa di kemudian hari.
Sementara
bagi kandidat presiden, penyampaian sejak dini kabinet yang akan dibentuknya
merupakan pembuktian awal atas sebuah cita-cita ideal atau alternatif
pemerintahan yang ingin dibangunnya. Pilihan figur-figur yang akan membantu
dirinya menjadi penanda kesungguhan akan pelaksanaan idealisme dan
pembentukan model pemerintahan ideal yang dijanjikannya. Masyarakat tentu
akan bertanya-tanya jika ada figurfigur yang tidak sejalan dengan cita-cita
atau visi yang selama ini disampaikan oleh seorang kandidat presiden masuk
dalam jajaran kabinetnya.
Di
sinilah sebenarnya ujian dari konsistensi seorang capres itu langsung
diperlihatkan dan diuji kepada masyarakat secara langsung. Di sisi lain,
penyampaian kabinet juga akan memperlihatkan seberapa besar komitmen partai-partai
peserta koalisi untuk memberikan yang terbaik bagi masyarakat. Partaipartai
tentu akan sedapat mungkin menyesuaikan figurfigur yang diajukan dengan
karakteristik, visi dan misi yang ingin diemban oleh seorang presiden. Tidak
hanya karena mereka adalah pucuk pimpinan partai semata.
Pertimbangan Lain
Bagi
sebagian kalangan, penyampaian jajaran kabinet lengkap atau setidaknya pada
posisi-posisi strategis yang telah terbentuk sejak masa kampanye sesungguhnya
berpotensi menutupi peluang masuknya kekuatan politik tambahan, yang
sebetulnya dapat meluaskan dukungan seorang kandidat presiden. Dengan kata
lain, jumlah dukungan partai-partai yang mungkin saja berkoalisi pasca
pilpres, dengan imbalan posisi menteri, sebagaimana yang selama ini cenderung
terjadi, akan berkurang bahkan nihil. Situasi ini pada gilirannya berpotensi
merugikan bagi kandidat itu sendiri, karena akan menyurutkan dukungan bagi
presiden di parlemen dan menciptakan ”presiden minoritas”.
Namun
demikian, situasi sedemikian sesungguhnya tidak perlu terlalu dirisaukan,
mengingat pengalaman beberapa negara yang dicatat oleh Jose A. Cheibub dalam
bukunya Presidentialism,
Parliamentarism and Democracy (2007) menunjukkan kebanyakan ”presiden
minoritas” tetap dapat melanjutkan pemerintahannya dengan relatif baik hingga
masa jabatannya berakhir. Di samping itu, sudah saatnya seorang presiden
bahkan sejak masa kandidasinya didorong untuk memiliki karakter, dengan
memaparkan kabinet yang akan dibentuknya. Hal ini tidak saja untuk juga mengurangi
politik transaksional- negatif pascapilpres, namun agar masyarakat tidak lagi
menilai dalam gelap atas pemerintahan yang akan memimpinnya kelak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar