Potret
Prima Causa Tindak Pidana Korupsi
Saharuddin
Daming ; Dosen FH Universitas Ibnu Khaldun Bogor,
Mantan Komisioner Komnas HAM
|
MEDIA
INDONESIA, 07 Mei 2014
|
LAKSANA episode drama berseri
yang tak berujung, tayangan media kita belakangan ini semakin laris dengan
suguhan berita tentang tindak pidana korupsi (TPK). Kita semua tercengang
ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tibatiba menetapkan Hadi Poernomo,
mantan Dirjen Pajak dan Ketua BPK, sebagai tersangka. Keesokan harinya, KPK
kembali menunjukkan ketajaman taring dengan mengumumkan tersangka baru atas
nama Sugiharto selaku pejabat pembuat komitmen pada Ditjen Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kemendagri.
Kedua kasus tersebut sebenarnya
merupakan peristiwa lama. Bahkan, TPK yang membelit Hadi Poernomo justru
terjadi 10 tahun lalu ketika ia menjabat Dirjen Pajak 2002-2004. Sebagai
pemasok penerimaan terbesar pada keuangan negara, Ditjen Pajak merupakan
tempat perputaran uang yang paling tinggi hingga triliunan rupiah per hari,
sehingga aparatnya rentan terperosok ke dalam lembah penyalahgunaan jabatan.
Herannya karena mereka sudah lama menerima program remunerasi dengan angka
yang cukup fantastis, semua ini, tentu, dimaksudkan untuk meningkatkan
kesejahteraan demi mencegah terjadinya TPK.
Maraknya TPK oleh aparat
perpajakan pascaremunerasi membuyarkan keyakinan kita bahwa remunerasi
bagaimanapun tingginya ternyata tidak efektif mencegah TPK. Lalu mengapa
mereka yang telah menerima remunerasi tinggi masih juga dihinggapi perilaku
korup? Apakah yang menjadi prima causa
dan main trigger bagi orang seperti
Hadi yang dulunya clean and clear
lalu mengalami antiklimaks hingga jatuh dalam lumpur unhappy ending?
Upaya pemberantasan TPK kita
saat ini memang sedang dalam dilema besar. Sekalipun di-back up oleh peraturan hukum dengan ancaman sanksi yang sangat
keras, indeks persepsi korupsi kita masih tetap tinggi. Parahnya ada empat
lembaga formal yang berwenang menangani kasus TPK (kejaksaan, kepolisian,
KPK, dan pengadilan tipikor), tetapi TPK dengan segala bentuknya ternyata
masih tetap eksis, bahkan terus melakukan proliferasi dengan modus baru.
Berdasarkan optik patologi kriminologi ditemukan prima causa dan main
trigger TPK setidaknya berpusat pada empat nomine yang menciptakan
kriminogen TPK, yaitu kleptokrasi, hedonisme, konsumerisme, dan dekadensi
moral.
Halalkan semua
Faktor penyebab pertama kian meluasnya
perilaku korup di Indonesia ialah mengguritanya perilaku kleptokrasi yang
sudah membudaya. Kalangan eksekutif, legislatif, hingga yudikatif secara
tidak terbatas kini terkontaminasi pola pengabdian kleptokrasi (kesenangan
mengambil/menerima penghasilan tambahan dengan cara yang tidak terhormat) misalnya
upeti, uang lelah, biaya tambahan, suap, hingga mark-up.
Meluasnya perilaku kleptokrasi dimaksud
tidak lepas dari kuatnya pengaruh hedonisme birokrasi, yaitu kesenangan untuk
merebut kekuasaan/jabatan dalam pemerintahan meski harus menempuh jalan
terjal dan berliku. Sudah bukan rahasia lagi strategi sikut kiri dan kanan, injak
bawah, dan jilat atas untuk mendongkrak reputasi setiap aparat dalam
berkarier. Tidak sedikit yang menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan.
Namun, dalam praktik, hedonisme birokrasi
juga masih syarat dengan prestise sebagai simbol pencitraan dan kehormatan.
Betapa tidak? Mengukur ketinggian derajat seseorang dewasa ini tidak lagi
mengacu ke dasar prestasi yang mengabdi pada keluhuran, tetapi semata-mata bertumpu
pada keunggulan yang bersifat materialistis. Akibatnya citra kehormatan yang
melekat dalam diri seorang pejabat atau elite selalu diaktualisasikan dengan
ekspresi kemewahan. Parahnya lagi kebanyakan pejabat publik, pejabat
struktural, hingga staf birokrasi merasa tidak cukup dengan penghasilan
mereka. Sementara itu, tingkat kebutuhan yang dibombastiskan kekuatan
konsumerisme justru semakin tinggi. Terlebih lagi tawaran melalui media
dengan informasi aneka produk mentereng yang sanggup mendongkrak citra dan status
sosial pemiliknya.
Demi memenuhi hasrat konsumtif
itu, benteng moral dan keimanan pun didobrak paksa. Segala larangan, budaya
malu, hingga pranata haram dicampakkan tanpa sisa. Ajaran agama yang bertumpu
pada rasa syukur nyaris lumpuh berhadapan dengan rayuan maut TPK sebagai
jalan pintas. Kementerian Agama yang mengemban fungsi sebagai pembina
keimanan dan ketakwaan umat ternyata pernah menduduki peringkat tertinggi
dalam indeks persepsi TPK di Tanah Air.
Alquranul Karim sebagai kitab
yang paling disucikan oleh umatnya tak luput dari jarahan para predator TPK.
Selain melibatkan aparat internal Kemenag seperti Ahmad Jauhari selaku
pejabat pembuat komitmen di instansinya, kasus juga menyeret Zulkarnaen
Djabar, anggota Komisi VIII DPR RI. Demikian pula dalam kasus impor sapi yang
melibatkan Lutfi Hasan Ishaq yang dijuluki umatnya sebagai ustaz, bahkan
mungkin kiai, tak ayal lagi semakin membuyarkan kepercayaan publik terhadap
kualitas moral pada sebagian besar pemangku negara kita.
Muncul resistensi
Fenomena destruktif itulah yang
kemudian memantik kecurigaan publik terhadap pejabat negara yang berlatar
belakang politik, pebisnis, usia terlalu muda, dan lain-lain sebagai figur yang
patut dicegah dan dilengserkan dari kursi empuk kekuasaan karena dianggap
sebagai penyimpan energi potensial TPK. Tidak mengherankan jika Hamdan Zoelva
yang dipromosikan sebagai Ketua baru MK kontan menimbulkan resistensi dari
berbagai elemen, semata-mata karena ia berlatar belakang parpol seperti Akil
Mochtar yang digantikannya.
Memang tak dapat dielakkan jika
kasus Akil telah menimbulkan trauma besar hingga memunculkan kesan bahwa
politik ialah dunia korup. Namun, jika berkaca pada masa kepemimpinan Mahfud
MD di MK yang bukan saja penuh dengan untaian reputasi prestisius serta relatif
bebas dari isu korupsi, kesimpulan seperti itu menjadi tidak relevan, tidak
adil, dan tidak bijak. Demikian pula megaskandal TPK yang diperankan Anas
Urbaningrum, Nazaruddin, dan lain-lain, langsung berujung pada generalisasi
bahwa menduduki jabatan strategis dengan usia yang masih terlalu muda sangat
rentan terbakar oleh api TPK. Padahal TPK yang diperankan kaum legendaris
seperti Bob Hasan, Probosutedjo, serta Anggoro dan Anggodo Wijoyo justru jauh
lebih dahsyat.
Penulis cenderung berkeyakinan
bahwa persoalan TPK tidak patut disandarkan pada sistem maupun latar belakang
seseorang. Baik sistem maupun latar belakang figur, tidak ada lagi yang luput
dari jebakan TPK. Faktor determinasinya bertumpu pada kualitas, moral
personal. Sekalipun sistem dan kedudukan itu korup, tidak lantas menimbulkan
perilaku korup kepada siapa pun sepanjang ia secara personal memang terbangun
karakter dengan integritas beyond a
rationable doubt. Mar’ie Muhammad dan Baharuddin Lopa ialah sosok
keteladanan pejabat publik yang berkualitas tinggi dengan predikat Mr Clean and Clear. Padahal, jabatan
yang mereka emban pada masanya jauh lebih korup daripada sistem yang ada
sekarang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar