Sinergitas
Atasi Kelebihan Muatan
Djoko
Setijawarno ; Kepala Lab Transportasi,
Dosen Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 08 Mei 2014
|
"Ketersediaan double track bisa menjadi momentum untuk
mulai mengalihkan muatan truk ke kereta api (KA)"
PUNGUTAN liar (pungli) di
jembatan timbang di Jateng tidak hanya terjadi akhir-akhir ini. Praktik itu
sudah lama berlangsung dan seolah-olah baru muncul setelah pada Minggu, 27
April 2014 malam, Gubernur Ganjar Pranowo melakukan inspeksi mendadak di
jembatan timbang Subah Kabupaten Batang.
Supaya kemelut itu tuntas,
sebaiknya jangan menimpakan permasalahan terkait kelebihan muatan, yang
sebenarnya layak menjadi persoalan nasional, kepada Kepala Dinas Perhubungan,
Komunikasi, dan Informatika (Dishubkominfo) Urip Sihabudin. Siapa pun yang
menjadi kepala dinas pasti menghadapi masalah yang sama.
Jembatan timbang menjadi
persoalan nasional terkait ekses berantai yang ditimbulkan. Tiap tahun
pemerintah harus mengucurkan sekitar Rp 1,2 triliun APBN untuk memelihara
jalan pantura Jawa. Belum lagi kerugian masyarakat terkait dengan banyaknya
kecelakaan akibat kerusakan dan kepadatan jalan, ketersendatan perjalanan,
atau peningkatan polusi udara.
Pemanfaatan jalan raya,
terutama pantura Jawa, untuk angkutan barang sudah berlebihan, tidak efisien.
Secara teori, perjalanan angkutan barang menggunakan truk maksimal untuk
jarak kurang dari 500 km. Jika lebih dari jarak itu, dipastikan barang yang
diangkut melebihi batas tonase yang diizinkan. Bila tidak memuat berlebih,
akan memengaruhi besaran harga satuan (unit cost) barang.
Bila Ganjar mau serius, ia
harus bisa mengundang gubernur se-Jawa dan Bali ditambah Menhub, Men PU,
Mendagri, Menperind, dan Kapolri. Bahkan membawa persoalan itu ke tingkat
wakil presiden, dan setelah itu merumuskan solusi dan kebijakan, tak perlu
menunggu presiden baru terpilih.
Tiap provinsi memiliki perda
berkait pengendalian muatan angkutan barang dengan warna berbeda. Gubernur
Jateng hendaknya mau mengevaluasi penerapan retribusi kelebihan muatan di
jembatan timbang berdasar Perda Jateng Nomor 1 Tahun 2012 tentang
Pengendalian Muatan Angkutan Barang. Pasalnya perda itu sejatinya melanggar
UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Undang-undang itu tidak
menyebutkan bahwa pendapatan atau retribusi daerah dapat dihimpun dari
jembatan timbang. Masyarakat Jateng tahu target pendapatan dari penarikan
retribusi di 16 jembatan timbang Rp 40 miliar per tahun.
Menargetkan PAD dari
pengelolaan jembatan timbang merupakan perbuatan ilegal. Jembatan timbang
bukan sumber dana PAD sehingga Pemprov harus mengembalikan ke fungsi semula
untuk mengawasi muatan angkutan barang.
Jalan Pemda
Perda pengelolaan jembatan
timbang di daerah juga bertentangan dengan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Retribusi atas kelebihan muatan yang dipungut
dari jembatan timbang di daerah tapi terletak di jalan nasional ditarik oleh pemda.
Uang yang terkumpul bukan untuk memperbaiki kerusakan atau memelihara jalan
nasional melainkan untuk memelihara jalan milik pemda. Merujuk isi Pasal 169
dan 170 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ, sesungguhnya kewenangan
pengelolaan jembatan timbang berada di pemerintah pusat melalui
Kemenhub, bukan di daerah. Terlebih untuk jembatan timbang yang berada
di jalan nasional.
Ada baiknya Pemprov Jateng juga
belajar dari Pemprov Jatim yang memberikan
insentif Rp 5 juta/bulan bagi
petugas jembatan timbang supaya mereka tidak tergoda untuk mengutip uang.
Termasuk melengkapi fasiltas sehingga petugas bisa bekerja maksimal
berdasarkan standar operasi pelaksanaan (SOP).
Kerusakan jalan pantura juga
tidak hanya disebabkan oleh muatan berlebih. Kerusakan dapat disebabkan oleh
konstruksi yang tidak sesuai dengan pedoman atau spesifikasi teknis yang
ditetapkan. Bisa juga tidak tersedianya saluran drainase yang memadai
sehingga mengakibatkan genangan pada badan jalan ketika hujan turun.
Menelisik lebih dalam, ternyata ada pelanggaran jam kerja petugas jembatan
timbang mengingat mereka bekerja 12 jam tanpa istirahat, dan bertentangan
dengan UU tentang Ketenagakerjaan.
Ketersediaan double track, bisa menjadi momentum
mengalihkan muatan truk ke kereta api (KA) kendati hal itu juga tidak mudah
dan perlu sejumlah kebijakan dan fasilitas pendukung. Salah satunya,
kebijakan pengelolaan jembatan timbang yang profesional dan modern. Perlu
kerja sama antara pemerintah daerah dan pusat untuk mempercepat pengalihan
angkutan barang jarak jauh dari transportasi jalan (truk) ke transportasi
kereta api, dan Gubernur Ganjar Pranowo bisa berperan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar