Kamis, 01 Mei 2014

Kenaikan Tarif Listrik untuk Industri

Kenaikan Tarif Listrik untuk Industri

Tulus Abadi  ;   Anggota Pengurus Harian YLKI
TEMPO.CO, 30 April 2014
                                                
                                                                                         
                                                             
Jantung para pengusaha kini boleh jadi berdegup kencang. Pasalnya, per 1 Mei 2014, pemerintah akan menaikkan tarif tenaga listrik untuk sektor industri sebesar 38,9 persen. Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM No. 9 Tahun 2014 tentang Tarif Tenaga Listrik yang Disediakan oleh PT PLN. Inti dari beleid ini adalah mencabut subsidi listrik untuk industri besar secara berkala, hingga mencapai tarif keekonomian. Kendati hanya berlaku pada golongan industri besar, dan diberlakukan bertahap, toh kebijakan ini tetap menuai protes, khususnya dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Golongan I-3 go public naik 8,6 persen per dua bulan, dan golongan I-4 naik 13,3 persen per dua bulan.

Secara normatif, langkah pemerintah menghapus subsidi listrik sektor industri tidaklah keliru. Sebab, menurut Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi dan UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan; yang berhak menerima subsidi listrik adalah masyarakat (tidak mampu), bukan sektor industri/bisnis. Namun kebijakan menaikkan tarif listrik untuk sektor industri bukan tanpa titik lemah. Pasalnya, struktur tarif untuk industri/bisnis idealnya lebih murah dibanding struktur tarif untuk rumah tangga. Listrik industri/bisnis untuk kegiatan produktif (seharusnya diberi insentif), sedangkan listrik untuk rumah tangga untuk kegiatan konsumtif (seharusnya diberi disinsentif). Apalagi dampak ikutan dari kenaikan itu pada konsumen rumah tangga juga. Sektor industri akan menaikkan harga-harga produknya di pasaran. Dampaknya, sosial ekonominya pun bisa lebih besar daripada nilai subsidi yang dihemat pemerintah, yakni Rp 8,9 triliun.

Sejatinya subsidi pada sektor energi bukanlah kebijakan yang berkesinambungan, apalagi jika energi yang digunakan masih dominan energi fosil (khususnya bahan bakar minyak). Memang, saat ini kontribusi bahan bakar minyak pada pembangkit PT PLN kini kurang dari 10 persen. Tapi yang 10 persen ini, jika dirupiahkan, nilainya bisa mencapai 40 persen dari total biaya operasional PT PLN. Harus diakui, besaran subsidi yang digelontorkan pada kalangan industri besar memang sangat signifikan, yakni bisa mencapai Rp 5 miliar per industri besar, per bulannya. Bandingkan dengan subsidi untuk golongan rumah tangga 450-900 VA yang hanya Rp 75 ribu per bulan.

Sungguh pun demikian, pendulum penyakit subsidi listrik adalah di kalangan rumah tangga kategori 450-900 VA tersebut. Jika diakumulasi, golongan inilah yang dominan menyedot subsidi listrik lebih dari 50 persen, dari total subsidi listrik sebesar Rp 79,9 triliun (2014). Akan lebih elegan jika pemerintah dan DPR punya nyali untuk mengurangi subsidi rumah tangga golongan 450/900 VA. Toh kenaikan 5 persen pada 450-900 VA hanya akan menambah kocek sebesar Rp 1.500 per bulan, dari Rp 42 ribu per bulan (tagihan rata-rata 450-900 VA). Sedangkan subsidi yang dihemat bisa mencapai Rp 50 triliun. Sangat signifikan!

Kalaupun tetap tidak ingin membebani mereka, pemakaian kWh-nya bisa dipagu (sistem kuota). Artinya, konsumen tidak akan mengalami kenaikan tarif jika tidak melewati kuota yang ditetapkan (pemakaian listrik 450-900 VA rata-rata 42,5 kWh per bulan). Pola semacam ini juga berfungsi untuk melatih agar konsumen berhemat listrik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar