Seks
dan Kemunafikan Kita
Irwanto
; Guru Besar Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya;
Co-director
Pusat Kajian Perlindungan Anak FISIP-UI
|
KOMPAS,
24 Mei 2014
AKTIVIS
anak dan perempuan sadar bahwa mendidik anak-anak dan remaja mengenai seks
dan kesehatan reproduksi di sekolah atau lembaga pendidikan lainnya bukan
pekerjaan mudah. Selain sulit menembus konservatifme di ranah itu, salah
sedikit saja mereka akan menjadi bulan-bulanan caci maki publik.
Berbeda
dengan dunia sekolah, ranah publik seks merupakan komoditas terbuka dan
menguntungkan bagi banyak orang. Di Ibu Kota, ada harian dan majalah yang
sebagian rubriknya disisihkan untuk menggaruk untung dari iklan dan cerita
beraroma seks. Tanpa kontrol kualitas apalagi moral etika. Di Gedung DPR RI,
skandal berbau seks bukan hanya terjadi sekali.
Di malam
hari, sepanjang Jalan Hayam Wuruk, Jakarta, ke arah Stasiun Kota dipenuhi
pedagang obat kuat dan parafernelia seks. Tak pernah diganggu gugat aparat
keamanan dan kelompok moralis berdalih agama. Di berbagai pusat belanja dan,
kadang-kadang, di perempatan jalan raya, dijual CD porno secara terbuka dan
bebas. Sepanjang jalan ke arah Puncak Pass banyak penawaran gadis muda serta
cara aman menikmati seks komersial dan kontrak.
Predator seks
Dalam
berbagai tayangan realitas atau bincang TV, saturasi informasi dan citra seks
dianggap bagian menghibur meski vulgar dan melanggar etika, mulai dari acara
kesehatan, seni, hukum, hingga politik. Bahkan, di dunia komersial, beberapa
produk yang diusung perusahaan berintegritas tinggi menggunakan tokoh populer
yang terlibat skandal seks yang diberitakan secara nasional dan internasional
mulus tanpa protes.
Dalam
menghadapi gejala seperti ini, otoritas etis dan moral negara, profesi
jurnalis, serta tokoh agama dan budaya menjadi saksi yang terdiam bisu.
Predator
seks anak ciptaan siapa? Akhir-akhir ini semua lapisan masyarakat sampai
pemimpin negara tertinggi tersentak oleh peristiwa kekerasan seksual terhadap
anak (laki-laki dan perempuan) di Jakarta, Sukabumi, dan beberapa kota dan
desa di seluruh Indonesia.
Untuk
merespons itu, media mengambil untung dengan berbagai diskusi yang tak
mempertimbangkan kepentingan anak dan menggunakan perspektif viktimologi anak
(dan perempuan) jangka panjang. Seolah-olah dengan mengurung pelaku seumur
hidup dan mengebiri mereka persoalan selesai.
Kita
lupa bahwa para pelaku ini tidak lahir sebagai orang jahat. Ada pengalaman
dan kondisi tertentu yang membuat mereka seperti itu. Ini bukan untuk
bersimpati dengan mereka, melainkan kita harus realistis bahwa akar
masalahnya juga diidentifikasi.
Ketika
anak-anak jadi korban kekerasan seksual, mereka tak berani lapor atau
menceritakan kepada siapa pun karena selain takut dimarahi, sebagian dari
mereka tahu kalau itu tabu—menimbulkan aib dan rasa malu.
Orangtua
dan guru tidak dapat membantu ataupun mendidik anak-anak mereka mengenai
pencegahan kekerasan seksual karena ini bukan sekadar informasi kesehatan
reproduksi, melainkan soal seks, tak pantas didiskusikan dengan anak-anak.
Mereka tak punya keterampilan mengajar ataupun menyampaikan materi soal seks.
Meski tahu, mereka memilih diam, takut salah.
Akibatnya,
hampir semua anak yang mengalami musibah ini harus berjuang sendiri mengatasi
sakit, marah, dan benci mereka (terhadap orang lain dan dirinya sendiri).
Jika sebagian dari mereka terpengaruh berbagai media dan contoh kemunafikan
dalam soal seks kemudian melakukan tindakan seperti yang mereka alami,
soalnya tentu bukan di pundak mereka sendiri.
Di
berbagai jaringan sosial dan media, ada gerakan reaktif mengatasi masalah ini
dari berbagai lapisan masyarakat, termasuk dari kalangan profesional.
Semangatnya tentu kita syukuri karena jarang sekali kita melihat semangat
seperti itu dalam kasus seperti ini. Entah kasus mana yang memancing reaksi
ini: Sukabumi, JIS, atau keduanya?
Namun,
gerakan masyarakat yang tak terkendali dan terenca- na akan berpotensi jadi
gelombang pasang yang merusak segala yang ia lalui. Dokter, psikiater,
psikolog, konselor, dan pekerja sosial yang tak terlatih menangani trauma seksual
anak, tetapi dibiarkan memberikan pelayanan tanpa seleksi kompetensi dan
koordinasi adalah tindakan mencelakakan anak untuk kesekian kali.
Pihak berkompeten
Meski
kita prihatin dengan jumlah korban dan perlu penanganan cepat, tetap
diperlukan pihak berkompeten yang mampu menyeleksi, membuat protokol, dan
mengoordinasi intervensi sekaligus melaporkan hasilnya. Anak-anak dan
keluarganya bukan bahan mainan dan eksperimen. Akuntabilitas profesional
harus ada.
Melakukan
intervensi pada anak-anak dan keluarga hanya menyelesaikan sebagian kecil
masalah atau simtom sosial yang ada. Diperlukan perencanaan jangka panjang,
terukur, dan investasi sungguh-sungguh agar masalah yang sangat masif ini
dapat dikelola sebaik-baiknya. Perlu kebijakan lintas sektoral untuk menjawab
kebutuhan jumlah dan kompetensi SDM, sistem data dan informasi ihwal anak dan
kekerasan, pengadaan dan pemberdayaan kelembagaan yang ada, dan lain-lain.
Saat ini telah dirancang inpres yang sifatnya masih sangat sektoral.
Meski
demikian, kebijakan sektoral publik saja tak cukup. Perlu perbaikan kualitas
normatif dan moral etis yang lebih besar di ranah hidup bermasyarakat sehari-hari.
Kemunafikan dalam hal seks perlu dicari jalan keluarnya.
Pilar
kehidupan seperti otoritas profesi dan keagamaan, tokoh politik dan sosial
budaya, media dan industri komersial, perlu bersepakat mengenai yang baik dan
buruk di ranah publik.
Orangtua
sulit mengontrol apa yang dipelajari anak-anak di masyarakat. Pilar kehidupan
masyarakat di atas mesti membantu mengurangi kompleksitas yang dihadapi
orangtua dan bukan membiarkannya.
Taufik
Ismail, yang hadir dalam rapat kabinet terbatas pada 14 Mei lalu, dengan haru
dan tercekat mengakui, budayawan hanya berdiam diri, padahal bangsa ini
sedang menghadapi masalah yang mahaberat. Saatnya bersuara dan mengonstruksi
strategi budaya yang konstruktif, edukatif berdasar moral etis, dan
memberdayakan anak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar