Sabtu, 17 Mei 2014

Sang Pemimpin

Sang Pemimpin

Yonky Karman  ;   Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
KOMPAS,  17 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
KENDATI partai mengklaim sebagai pemenang pemilu, capaian perolehan yang jauh di bawah target sebenarnya mengecewakan elite partai. Partisipasi rakyat dalam pemilu tak berbanding lurus dengan optimisme elite partai.

Yang menarik adalah sinyal konsisten dari kelompok masyarakat yang tidak memilih. Jumlah golput dalam pemilu legislatif meningkat dari 23,34 persen (2004) menjadi 29,01 persen (2009), dan menurut prediksi Lembaga Survei Indonesia kini 34,02 persen. Peningkatan persentase golput adalah isyarat untuk tidak memberi cek kosong kepada partai pemenang. Apalagi, ditengarai politik uang dalam pemilu legislatif ini paling brutal sepanjang sejarah Indonesia. Politik uang dalam demokrasi tak akan melahirkan pemimpin sekelas negarawan.

Demokrasi minus kepemimpinan

Idealnya, sistem demokrasi menghasilkan pemimpin terbaik hasil pilihan rakyat. Realitasnya tidak sederhana. Menurut data Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri sampai April 2014, sebanyak 322 dari 524 (lebih dari 60 persen) kepala daerah yang terpilih secara demokratis tersangkut korupsi. Tentu bukan maksud demokrasi melahirkan kleptokrasi. Ironis juga tentunya pemimpin hasil demokrasi lebih korup daripada pemimpin hasil rezim otoriter.

Untuk mencapai cita-citanya, demokrasi tidak dapat berjalan sendiri. Harus ada pemimpin dengan kepemimpinan asertif. Kebijakan publik yang sebenarnya positif tetapi eksekusinya berlarut-larut, seperti ketika pemerintah menaikkan harga BBM, membuat momentum untuk efek positif kebijakan tersebut hilang.

Pemerintahan koalisi kita selama ini tidak lebih daripada pengaplingan wilayah kekuasaan. Koordinasi antarkementerian lemah. Presiden tidak secara proaktif menekan pemborosan dan korupsi di lingkungan kementerian. Ada evaluasi dari Unit Kepresidenan Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, tetapi rapor merah sebuah kementerian tak pernah berujung sanksi. Paling banter imbauan.

Akibatnya, banyak orang bangga jadi pejabat, tetapi minim rasa tanggung jawab publik. Tak ada pejabat yang bertanggung jawab atas kekacauan berlalu lintas. Tak ada pejabat yang bertanggung jawab atas kekacauan penyelenggaraan ujian nasional. Tak ada yang bertanggung jawab atas jebolnya kuota subsidi BBM. Yang terpenting adalah loyal kepada atasan. Itulah birokrasi yang tak berorientasi meritokrasi. Pejabatnya miskin tanggung jawab publik.

Sebuah tolok ukur kedewasaan berdemokrasi adalah inisiatif pejabat untuk mundur dari jabatan karena merasa gagal dalam tugas. Perdana menteri Korea mengundurkan diri dari jabatannya karena kapal feri yang tenggelam dan mengakibatkan dua ratus lebih pelajar meninggal. November 2013, Perdana Menteri Latvia juga mengundurkan diri terkait insiden runtuhnya atap sebuah pusat perbelanjaan yang menelan korban 54 jiwa.

Pemimpin demokrasi

Tolok ukur lain kedewasaan berdemokrasi adalah berlimpahnya stok pemimpin demokrasi. Di tengah hiruk-pikuk sistem multipartai, Bung Hatta menggagas jalan demokrasi yang seharusnya ditempuh Indonesia untuk mencapai cita-cita masyarakat adil sejahtera. Beliau konsisten dengan demokrasi berbasis moralitas politik. Baginya, kekuasaan bukan segala-galanya. Sosoknya dikenang sebagai bapak demokrasi Indonesia.

Kini, menjelang rezim lama berakhir, banyak masalah bangsa terungkap. Rezim lama meninggalkan banyak persoalan serius. Di bidang ketahanan pangan dan energi, posisi Indonesia tersandera kapitalisme global. Negara nyaris tidak berdaulat atas kekayaan sumber daya alamnya sendiri. Hukum belum menjadi panglima. Pendidikan nasional tidak jelas kaitannya dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia untuk menghadapi pasar tunggal ASEAN tahun depan.

Pertumbuhan ekonomi menimbulkan kesenjangan yang sudah pada tahap mengkhawatirkan. Subsidi BBM tidak tepat sasaran dan besarannya sudah lama tidak sehat bagi postur anggaran negara. Utang luar negeri terus menumpuk dan harus ditanggung generasi mendatang. Masalah disiplin fiskal dan tata kelola pemerintahan menahan langkah maju bangsa. Sementara anak-anak dan generasi muda kita menjadi korban tak berdaya dari masyarakat yang sakit. Tentu tidak elok bagi para calon pemimpin masa depan memoles citra diri dengan mendiskreditkan pemerintah lama seakan-akan dirinya adalah sosok penyelamat. Rakyat harus tahu langkah-langkah strategis apa yang akan dilakukan sang pemimpin untuk menjadikan Indonesia lima tahun lagi jauh lebih baik daripada sekarang. Sosok pemimpin kini tidak dapat melenggang sendiri. Zaman sudah berubah.

Sosok wakil presiden turut menentukan pilihan rakyat. Posisi wakil presiden bukan pendamping. Sosoknya kini harus menjadi pembantu terdekat presiden, teman dan lawan diskusi pertama presiden untuk membahas masalah bangsa. Sosoknya bukan hanya melengkapi kekurangan presiden, tetapi persenyawaannya tidak menimbulkan komplikasi matahari kembar dalam pemerintahan.

Sejauh ini, demokrasi Indonesia berhasil menjaring dua wakil presiden yang bukan ban serep. Bung Hatta bersama Bung Karno mendapat julukan dwitunggal. Ketunggalan itu akhirnya berujung pengunduran diri sang wakil yang merasa tidak cocok dengan politik otoriter presiden. Jusuf Kalla bersama SBY adalah pasangan ibarat gas dan rem. Duet itu tak berlanjut pada periode kedua kepemimpinan SBY yang lebih nyaman dengan sosok wakil seperti sekarang.

Apa yang baik bagi bangsa belum tentu baik di mata pemimpin. Apa yang baik di mata pemimpin belum tentu baik bagi bangsa. Berkaca pada pengalaman Indonesia, jangan sampai komposisi presiden dan para pembantunya menyandera jalannya pemerintahan karena kompetensi dan integritasnya tidak jelas, Kepentingan pragmatis kelompok kepentingan akan menjauhkan Indonesia dari perwujudan cita-cita demokrasi.

Dengan indeks persepsi korupsi yang nomor dua tertinggi setelah parlemen, seharusnya para petinggi partai tahu diri untuk mengesampingkan kepentingan sempit partai dan secara jernih memikirkan yang terbaik bagi bangsa. Rakyat berharap pasangan presiden dan wakilnya akan mengukir sukses melampaui pasangan yang pernah ada. Persenyawaannya memajukan Indonesia yang sudah tertinggal dari negara-negara berkembang yang tadinya di belakang. Kesalahan pertama sang pemimpin adalah dalam memilih para pembantunya, yang tak kompeten dan tak loyal kepadanya, demikian Machiavelli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar