Sabtu, 17 Mei 2014

Hakim “Ad Hoc” Menuntut Pejabat Negara

Hakim “Ad Hoc” Menuntut Pejabat Negara

Binsar M Gultom  ;   Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara,
Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Palembang
KOMPAS,  17 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
HAKIM di lingkungan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung ada dua macam: hakim karier dan hakim nonkarier. Hakim karier adalah profesi hakim yang murni diperoleh dari pendidikan sarjana hukum dengan tambahan basis pendidikan dan pengalaman di bidang teknis administratif dan teknis yudisial, mulai dari calon hakim hingga diangkat berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI sebagai hakim pengadilan pertama, tingkat banding di lingkungan peradilan umum, tata usaha negara, militer dan agama, dan puncak karier menjadi Hakim Agung.

Adapun hakim nonkarier atau dikenal dengan sebutan hakim ad hoc bukan berasal dari profesi hakim. Mereka tidak pernah memiliki kemampuan di bidang profesi hakim, tetapi memiliki keahlian khusus sesuai disiplin ilmunya. Pasal 1 (9) dan  Pasal 32 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Presiden (Perpres) No 5/2013 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Ad Hoc pada pokoknya menyebutkan, ”Hakim ad hoc bersifat sementara, memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara”.

Tidak spektakuler

Fakta membuktikan, dari berbagai latar belakang pendidikan, keahlian, pengalaman, dan profile assessment  para hakim ad hoc di semua pengadilan ad hoc Indonesia tidak spektakuler. Maka, menurut saya, perlu evaluasi untuk kesempurnaan keahlian/kepakaran dimaksud.

Tanpa mengurangi rasa hormat, dalam pengamatan saya, di persidangan sebagian besar dari mereka justru menjadi beban berat bagi para hakim karier di seluruh Indonesia saat membuat putusan hakim. Mereka masih harus banyak belajar dari hakim-hakim karier, baik dari sudut teknis pembuatan putusan maupun dari segi beracara di persidangan.

Mengapa? Selain mereka belum memiliki spesialisasi ilmu pengetahuan dan kepakaran seperti diharapkan undang-undang, para hakim ad hoc sesungguhnya juga belum berpengalaman menjalankan profesi hakim dan bersidang di pengadilan.

Langkah strategis untuk mengatasi persoalan ini, hemat saya, semestinya para hakim ad hoc itu harus terlebih dahulu menguasai dan mendalami praktik persidangan sebelum mereka diterima menjadi hakim ad hoc, termasuk kepakaran/keahliannya harus teruji di bidang apa saja sesuai kebutuhan di MA yang diuji oleh pakar-pakar hukum senior. Sebab, kita sangat mengharapkan pertimbangan dan dasar hukum putusan hakim yang berkualitas dan profesional.

Tunjangan khusus

Oleh karena itulah, menurut undang-undang, bagi mereka yang ”memiliki keahlian/kepakaran di bidang hukum tertentu” mendapat hak ”tunjangan khusus” secara spesial, seperti telah diejawantahkan (diwujudkan) oleh pemerintah lewat Perpres No 5/2013 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Ad hoc, yakni mendapat tunjangan/gaji, fasilitas rumah negara, transportasi/perjalanan dinas, jaminan kesehatan, keamanan, dan uang penghargaan. Bahkan, fasilitas ini lebih besar daripada kesejahteraan para hakim karier.

Jika demikian halnya, semestinya hanya mereka yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang hukum tertentu saja yang pantas dan layak mendapat hak-hak sebagaimana disebutkan menurut Perpres No 5/2013 tersebut, bukan terhadap mereka yang belum memiliki keahlian/kepakaran dimaksud.

Namun, menjadi aneh justru para hakim ad hoc menuntut haknya menjadi pejabat negara, bukan berupaya semaksimal mungkin mendalami ilmu pengetahuan sesuai keahlian/kepakaran sebagaimana dituntut oleh undang-undang supaya mereka menjadi layak disebut ahli/pakar di bidang hukum tertentu.

Sebanyak 11 hakim ad hoc (dari pengadilan tipikor, pengadilan hubungan industrial, dan pengadilan perikanan) justru menuntut apa yang bukan jadi haknya kepada pemerintah sebagai pejabat negara, yakni melakukan gugatan uji materi (judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi.

Pejabat negara

Mereka menggugat Pasal 122 Huruf (e) UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara karena pasal tersebut hanya menyebutkan  ”hakim karier sebagai pejabat negara” bukan termasuk  ”hakim ad hoc” sehingga menurut mereka ketentuan itu bertentangan dengan UUD 1945. Mereka beralasan, implikasinya adalah legitimasi putusannya bisa menjadi tidak sah, terkecuali status mereka jadi pejabat negara sejajar dengan hakim karier.

Menurut saya, para hakim ad hoc itu tidak perlu khawatir akan keabsahan suatu putusannya. Sebab, materi eksepsi penasihat hukum terdakwa hanya ditujukan pada kompetensi (kewenangan) absolut dan relatif suatu pengadilan, bukan menyangkut status jabatan hakim ad hoc.

Mengapa? Sebab, selain undang-undang telah secara tegas menyebutkan bahwa hakim ad hoc itu bukan pejabat negara, juga hakim ad hoc itu secara sah menurut hukum telah mendapat surat keputusan pengangkatan dari Presiden RI.

Jadi, karena undang-undang telah secara eksplisit mengatur perbedaan antara status hakim karier dan hakim ad hoc, menurut penulis, apa yang secara tegas telah diatur oleh undang-undang tidak perlu diinterpretasikan lain. Jika semua diutak-atik ”frasa pasal demi pasal”, maka ”kepastian hukum” di negara hukum Indonesia tidak akan pernah tuntas selesai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar