Hakim
“Ad Hoc” Menuntut Pejabat Negara
Binsar
M Gultom ; Doktor Ilmu
Hukum Universitas Sumatera Utara,
Dosen
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Palembang
|
KOMPAS,
17 Mei 2014
|
HAKIM di
lingkungan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung ada dua macam: hakim
karier dan hakim nonkarier. Hakim karier adalah profesi hakim yang murni
diperoleh dari pendidikan sarjana hukum dengan tambahan basis pendidikan dan
pengalaman di bidang teknis administratif dan teknis yudisial, mulai dari
calon hakim hingga diangkat berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI sebagai
hakim pengadilan pertama, tingkat banding di lingkungan peradilan umum, tata
usaha negara, militer dan agama, dan puncak karier menjadi Hakim Agung.
Adapun
hakim nonkarier atau dikenal dengan sebutan hakim ad hoc bukan berasal dari
profesi hakim. Mereka tidak pernah memiliki kemampuan di bidang profesi
hakim, tetapi memiliki keahlian khusus sesuai disiplin ilmunya. Pasal 1 (9)
dan Pasal 32 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 1 Ayat (1)
Peraturan Presiden (Perpres) No 5/2013 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas
Hakim Ad Hoc pada pokoknya menyebutkan, ”Hakim ad hoc bersifat sementara,
memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara”.
Tidak spektakuler
Fakta
membuktikan, dari berbagai latar belakang pendidikan, keahlian, pengalaman,
dan profile assessment para hakim ad
hoc di semua pengadilan ad hoc Indonesia tidak spektakuler. Maka, menurut
saya, perlu evaluasi untuk kesempurnaan keahlian/kepakaran dimaksud.
Tanpa
mengurangi rasa hormat, dalam pengamatan saya, di persidangan sebagian besar
dari mereka justru menjadi beban berat bagi para hakim karier di seluruh
Indonesia saat membuat putusan hakim. Mereka masih harus banyak belajar dari
hakim-hakim karier, baik dari sudut teknis pembuatan putusan maupun dari segi
beracara di persidangan.
Mengapa?
Selain mereka belum memiliki spesialisasi ilmu pengetahuan dan kepakaran
seperti diharapkan undang-undang, para hakim ad hoc sesungguhnya juga belum
berpengalaman menjalankan profesi hakim dan bersidang di pengadilan.
Langkah
strategis untuk mengatasi persoalan ini, hemat saya, semestinya para hakim ad
hoc itu harus terlebih dahulu menguasai dan mendalami praktik persidangan
sebelum mereka diterima menjadi hakim ad hoc, termasuk kepakaran/keahliannya
harus teruji di bidang apa saja sesuai kebutuhan di MA yang diuji oleh
pakar-pakar hukum senior. Sebab, kita sangat mengharapkan pertimbangan dan
dasar hukum putusan hakim yang berkualitas dan profesional.
Tunjangan khusus
Oleh
karena itulah, menurut undang-undang, bagi mereka yang ”memiliki
keahlian/kepakaran di bidang hukum tertentu” mendapat hak ”tunjangan khusus”
secara spesial, seperti telah diejawantahkan (diwujudkan) oleh pemerintah
lewat Perpres No 5/2013 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Ad hoc,
yakni mendapat tunjangan/gaji, fasilitas rumah negara,
transportasi/perjalanan dinas, jaminan kesehatan, keamanan, dan uang
penghargaan. Bahkan, fasilitas ini lebih besar daripada kesejahteraan para
hakim karier.
Jika
demikian halnya, semestinya hanya mereka yang memiliki keahlian dan
pengalaman di bidang hukum tertentu saja yang pantas dan layak mendapat
hak-hak sebagaimana disebutkan menurut Perpres No 5/2013 tersebut, bukan
terhadap mereka yang belum memiliki keahlian/kepakaran dimaksud.
Namun,
menjadi aneh justru para hakim ad hoc menuntut haknya menjadi pejabat negara,
bukan berupaya semaksimal mungkin mendalami ilmu pengetahuan sesuai
keahlian/kepakaran sebagaimana dituntut oleh undang-undang supaya mereka
menjadi layak disebut ahli/pakar di bidang hukum tertentu.
Sebanyak
11 hakim ad hoc (dari pengadilan tipikor, pengadilan hubungan industrial, dan
pengadilan perikanan) justru menuntut apa yang bukan jadi haknya kepada
pemerintah sebagai pejabat negara, yakni melakukan gugatan uji materi (judicial review) kepada Mahkamah
Konstitusi.
Pejabat negara
Mereka
menggugat Pasal 122 Huruf (e) UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara
karena pasal tersebut hanya menyebutkan
”hakim karier sebagai pejabat negara” bukan termasuk ”hakim ad hoc” sehingga menurut mereka
ketentuan itu bertentangan dengan UUD 1945. Mereka beralasan, implikasinya
adalah legitimasi putusannya bisa menjadi tidak sah, terkecuali status mereka
jadi pejabat negara sejajar dengan hakim karier.
Menurut
saya, para hakim ad hoc itu tidak perlu khawatir akan keabsahan suatu
putusannya. Sebab, materi eksepsi penasihat hukum terdakwa hanya ditujukan
pada kompetensi (kewenangan) absolut dan relatif suatu pengadilan, bukan
menyangkut status jabatan hakim ad hoc.
Mengapa?
Sebab, selain undang-undang telah secara tegas menyebutkan bahwa hakim ad hoc
itu bukan pejabat negara, juga hakim ad hoc itu secara sah menurut hukum
telah mendapat surat keputusan pengangkatan dari Presiden RI.
Jadi,
karena undang-undang telah secara eksplisit mengatur perbedaan antara status
hakim karier dan hakim ad hoc, menurut penulis, apa yang secara tegas telah
diatur oleh undang-undang tidak perlu diinterpretasikan lain. Jika semua
diutak-atik ”frasa pasal demi pasal”, maka ”kepastian hukum” di negara hukum
Indonesia tidak akan pernah tuntas selesai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar