Mewujudkan
Surabaya Kota Literasi
Bonaventura
Suprapto ; Anggota Dewan Pendidikan Jawa Timur,
Mengajar di Universitas Katolik Darma Cendika Surabaya
|
JAWA
POS, 09 Mei 2014
DALAM memperingati hari pendidikan nasional, Wali Kota Surabaya
Tri Rismaharini mendeklarasikan Surabaya sebagai Kota Literasi. Tujuannya adalah meningkatkan minat baca (budaya
baca) anak-anak di Surabaya.
Suatu kebijakan yang positif tatkala pedofilia merambah dunia
pendidikan, kekerasan berada di sekitar sekolah, kekerasan berkelindan dengan
pendidikan, bahkan menyatu dengan proses pendidikan. Secara kasat mata, bullying bisa kita jumpai pada setiap
saat. Contohnya, meninggalnya Renggo Khadafi, siswa kelas V SD Negeri di
Kampung Makasar, Jakarta Timur, karena dianiaya kakak kelas. Contoh lain,
kasus tewasnya Dimas Dikita Handoko, mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran
(STIP) Cilincing, Jakarta Utara, yang dianiaya seniornya.
Sarah Miles dan Deborah Stipek dari Stanford University School of Education California, AS, melakukan
penelitian sejak 1996 sampai dengan 2000 mengenai keterkaitan antara
kemampuan membaca dan tingkat agresivitas. Dalam penelitian ini, sikap
agresif dibatasi dalam empat golongan: "suka berkelahi",
"tidak sabaran", "suka mengganggu", dan "kebiasaan
suka menekan anak lain (bullying)",
Hasilnya menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara tingkat kemampuan membaca
dan tingkat agresivitas. Anak-anak kelas satu SD yang kemampuan membacanya
relatif rendah, saat di kelas 3, cenderung memiliki tingkat agresivitas
tinggi. Anak-anak kelas 3 yang memiliki kemampuan membaca rendah cenderung
memiliki sifat agresivitas tinggi di saat kelas 5.
Programme for
International Student Assessment (PISA) meneliti negara yang tergabung dalam Organization for Economic Co-operation and
Development (OECD) mengenai kemampuan membaca untuk mengukur tingkat
pengetahuan dan keterampilan anak usia 14-15 tahun (usia akhir wajib belajar)
sebelum dewasa. Dalam tiga penelitian PISA, meski di luar negara-negara OECD,
Indonesia selalu ikut serta. Hasil penelitian terakhir (2003), dari 40
negara, Indonesia berada pada peringkat terbawah dalam kemampuan membaca.
Tiga besar teratas diduduki oleh Finlandia, Korea, dan Kanada.
Langkah konkret
Mewujudkan budaya membaca bukan pekerjaan mudah. Kita harus
fleksibel melihat kondisi saat ini. Anak muda tidak bisa lepas dari gadget
karena memang kinilah eranya. Namun, sebaiknya anak muda harus senantiasa
didorong agar memiliki kemampuan membaca teks panjang seperti buku, majalah,
ataupun surat kabar. Ada beberapa langkah konkret yang perlu dilakukan untuk
meningkatkan minat baca kepada siswa. Pertama, pemerintah harus berani
mengeluarkan peraturan supaya sekolah menyediakan waktu khusus membaca dan menulis.
Pada zaman Belanda, siswa AMS-B (setingkat SMA) diwajibkan
membaca 15 judul karya sastra per tahun, sedangkan siswa AMS-A membaca 25
karya sastra setahun. Siswa AMS wajib membuat satu karangan per minggu, 18
karangan per semester, atau 36 karangan per tahun. Di Amerika Serikat, siswa
SMA diwajibkan membaca 32 judul karya sastra dalam setahun, siswa Jepang 15
judul, Brunei 7 judul, Singapura dan Malaysia 6 judul, serta Thailand 5
judul. Bagaimana murid SMA di Indonesia saat ini?
Kedua, pemerintah mengadakan kompetisi (lomba) menulis secara
rutin, dengan melibatkan sekolah, termasuk asosiasi penerbit buku, pemilik
toko buku, pengelola surat kabar dan majalah, pengelola perpustakaan dan
berbagai komunitas dalam masyarakat.
Ketiga, pemerintah harus menyediakan perpustakaan di setiap
sekolah dan memberikan bantuan berupa buku secara rutin setiap tahun.
Keempat, pemerintah perlu belajar dari Singapura. Pemerintah
Singapura tahu arti buku. Karena itu, pemerintah Singapura mengenakan pajak 0
persen buat buku.
Berulang-ulang fakta menunjukkan, kegagalan dalam mengelola
perubahan ke tingkat realisasi tidak saja menjerat kita untuk tidak berbuat
apa-apa, tetapi malah menghadirkan persoalan baru. Pengalaman menunjukkan
bahwa program "kantin
kejujuran" yang digagas oleh Kejaksaan dan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan kini nyaris tak terdengar. Pakta integritas kejujuran yang
dideklarasikan wali kota menjelang unas terempas oleh "rezim ujian"
dengan menghalalkan segala macam cara. Mudah-mudahan kegagalan semacam ini
tidak terulang lagi dan Surabaya menjadi Kota Literasi dapat terealisasi. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar