Revolusi
Doa
Sindhunata ;
Wartawan, Pemimpin Redaksi Majalah
Basis, Yogyakarta
|
KOMPAS,
13 Mei 2014
KITA
memerlukan pemimpin yang taat beragama, yang bisa membawa perbaikan moral
bangsa. Begitu dikatakan mantan Wakil Presiden Hamzah Haz baru-baru ini.
Hamzah Haz juga menyarankan perlunya dibangun lebih banyak tempat ibadah,
agar semakin banyak orang berdoa sehingga semakin banyak pula orang yang
memiliki moral yang baik.
Hamzah
Haz tidak keliru jika ia menghubungkan doa dan moral yang baik. Hanya
masalahnya, doa manakah yang bisa membuahkan moral yang baik? Pertanyaan ini
kebetulan juga sedang digeluti sejumlah sarjana antropologi dan teologi Islam
maupun Kristen. Pergulatan mereka dikumpulkan di bawah tema ”Prayer, Power, and Politics” dalam
jurnal Interpretation, Januari 2014.
Para
antropolog kultural memahami doa sebagai aktivitas ritual. Dari sudut
kultural, ritus adalah kesempatan, di mana orang menjalin hubungan baik dengan
kelompoknya, maupun realitas sosialnya, termasuk kekuasaan. Sementara karena
pada hakikatnya kekuasaan selalu relasional, kekuasaan mau tak mau juga
memengaruhi ritus dan dirasakan secara riil oleh mereka yang menjalankan
aktivitas ritual itu. Di situlah terletak hubungan antara doa dan kekuasaan.
Dengan pendekatan di atas, Rodney A Werline, profesor studi agama-agama di
Barton College, North Carolina, meneliti bagaimana doa-doa dihidupi
tokoh-tokoh Kitab Suci Perjanjian Lama, seperti Hannah, Ruth, Salomo, dan
Daniel. Dari penelitiannya terlihat doa terjadi dalam cakupan relasi sosial
dan historis yang amat luas.
Doa bisa
berfungsi sebagai dinamika keluarga, sebagai ekspresi cinta di antara
sahabat, sebagai ratapan orang jujur yang tidak bersalah tetapi menjadi
korban, sebagai teguran pemuka agama terhadap umatnya dan sebagai upaya
bagaimana mengobati luka sosial umatnya, sebagai jalan bagi para pemimpin
untuk menjalankan kepemimpinannya, juga sebagai jalan menentang kekuasaan
represif.
Kekuasaan
sendiri bukanlah jelek atau baik. Namun, kekuasaan bisa digunakan untuk
membangun hidup atau merusak hidup masyarakat. Karena terjalin dengan
kekuasaan dalam sebuah realitas sosial dan kultural, doa juga bisa dijadikan
jalan untuk membangun hidup, tetapi doa pun bisa dimanfaatkan untuk
merusaknya. Ini semua berarti, doa tak pernah bisa dilepaskan dari etika.
Radikalitas doa
Lex orandi, lex credendi:
bagaimana kita berdoa, itu menentukan bagaimana kita beriman dan percaya.
Aksioma tersebut menegaskan bahwa aturan-aturan dan hukum-hukum iman
sangatlah ditentukan oleh bagaimana kita berdoa. Seperti dipaparkan Nico
Koopman, profesor teologi sistematik dan etika di Universitas Stellenbosch,
semasa rezim apartheid di Afrika Selatan, aksioma itu diperluas menjadi lex orandi, lex credendi, dan lex (con)vivendi. Artinya, bagaimana
kita berdoa tidak hanya menentukan bagaimana kita beriman, tetapi juga
bagaimana kita hidup, bahkan bagaimana kita hidup bersama.
Di
Afrika Selatan semasa rezim apartheid, doa dan upacara agama memang menjadi
ambivalen. Doa bisa untuk menindas ataupun untuk membebaskan. Di bawah rezim
represif, doa dan iman bahkan dilegitimasikan secara teologis untuk
melestarikan penindasan. Karena itu, doa juga perlu dikoreksi secara etis.
Maka,
doa harus dibebaskan dari cengkeraman rezim represif, lalu dijadikan kekuatan
untuk meraih terjadinya masyarakat baru yang bebas dari penindasan. Doa harus
bisa menjadi kekuatan kritis untuk mendobrak masyarakat yang tidak adil. Di
sini, seperti diajakkan filsuf Nicholas Wolterstorff dari Amerika Serikat,
kita perlu memahami kesucian itu bukan semata-mata dari kategori kesucian
sendiri, tetapi juga dari kategori keadilan.
Kata
Wolterstorff, masyarakat yang tidak adil adalah masyarakat yang kehilangan
keutuhannya. Dalam masyarakat ini sekelompok orang tersudut di pinggiran, dan
tak terinkorporasikan ke dalam kehidupan yang sedang berkembang dalam
masyarakat itu. Masyarakat demikian bukanlah citra atau cerminan dari Tuhan
dalam keutuhan-Nya. Dalam keutuhan-Nya yang komunitarian, Tuhan tidak
mengecualikan siapa pun. Karena itu, masyarakat yang tidak adil dan
mengecualikan itu adalah masyarakat yang tidak suci. Maka, masyarakat baru
yang kita cita-citakan hendaklah menjadi masyarakat kesucian dan keutuhan,
masyarakat di mana terjadi integritas dan komunitas, inklusi dan pemerataan
keadilan, serta kesatuan hidup yang subur berkembang.
Doa
Kristiani sesungguhnya selalu merindukan datangnya masyarakat semacam itu.
”Datanglah kerajaan-Mu”, itulah yang didoakan mereka dalam doa Bapa Kami,
seperti diajarkan oleh Yesus sendiri. Maka, ahli kitab suci Afrika Selatan,
William Domeris, mengungkapkan, datanglah kerajaan-Mu itu adalah sebuah doa
revolusioner. Doa ini menyerang jantung kejahatan di dunia, dan memaklumkan
matinya segala macam bentuk penindasan, serta mengharap datangnya kerajaan
baru di dunia. Dengan mendoakan ”datanglah kerajaan-Mu”, orang menatap
berakhirnya zaman penindasan ini, dan pada saat yang sama, seperti diajakkan
Yesus, bersama-sama mengusahakan tegaknya kerajaan baru sebagai realitas
fisik, di mana penindasan diakhiri dan pembebasan Tuhan dimulai. Mendoakan
”kedatangan kerajaan Tuhan” adalah melantunkan doa melawan pemerintah yang
tidak adil.
Melawan kemungkaran
Jelas
doa pada hakikatnya berhubungan dengan realitas sosial, pembebasan, dan
keadilan. Menurut Mun’im Sirry dan A Rashied Omar, asisten profesor teologi
dan peneliti studi Islam pada Universitas Notre Dame, Indiana, hakikat doa
macam ini juga menjadi hakikat doa dalam tradisi Islam. Menurut kedua sarjana
Islam itu, tidaklah benar anggapan bahwa Islam lebih menekankan tata cara doa
sebagai praktik formalitas doa belaka, hingga doa itu tak bisa membawa
transformasi moral bagi pelakunya. Sarjana-sarjana Islam modern menentang
keras anggapan itu dengan berusaha menunjukkan adanya makna sosial dalam doa
Islam.
Sirry
dan Omar sendiri mengemukakan pendapatnya dengan bertolak dari ayat Al Quran
29:45: ”Bacalah apa yang telah
diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat.
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar.
Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya
daripada ibadat-ibadat lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Menurut
kedua sarjana Islam di atas, berabad-abad lamanya sejak adanya agama Islam,
raison d’être dari doa Islam adalah menjauhi fasha (ketidaksenonohan,
ketidaklaziman, kekejian) dan mungkar. Selain Al Quran dan hadis, banyak
kisah dan telaah yang menegaskan hakikat doa demikian itu. Misalnya, ada
kisah di mana seorang pemuda dari Madinah berdoa bersama Nabi Muhammad. Toh,
pemuda itu tetap melakukan perbuatan yang salah dan tidak pantas. Nabi
Muhammad hanya menanggapi hal itu dengan kata-kata ini: ”Doanya akan mencegah
dia untuk melakukan perbuatan yang tidak pantas.” Nabi juga pernah ditanya,
”Apakah pendapat Anda tentang seseorang yang berdoa di siang hari, tapi
menjadi pencuri di malam hari?” Nabi kembali menjawab, ”Doanya akan menahan
dia untuk berbuat yang tidak baik.”
Tampaknya
Nabi Muhammad yakin, doa pasti mengubah seseorang. Jika orang tidak diubah
oleh doanya, doanyalah yang kiranya kurang benar. Karena itu, doa atau shalat
tidak dengan sendirinya mencegah orang untuk berbuat fasha dan mungkar.
Kemungkaran itu baru bisa dicegah apabila doa itu dijalankan dengan benar,
penuh komitmen, kejujuran, ketulusan, dan kepasrahan bahwa Allah akan
membantu manusia dalam memperjuangkan kebaikan dan memberantas kejahatan.
Kata
ahli tafsir Al Quran, Muhammad Husyan Tabatabai, jika shalat dijalankan dengan
komitmen dan kejujuran, lebih dari institusi atau pengajar mana pun, shalat
sendirilah yang akan melatih orang dengan lebih baik untuk menjalankan
kebajikan dan menolak kejahatan. Ini dibenarkan oleh hadis yang berkata,
orang yang doanya tak mencegah dia melakukan ketidaklaziman dan kesalahan tak
akan memperoleh tambahan dari Tuhan; ia hanya akan makin jauh dari-Nya.
Menegur pemimpin
Hamzah
Haz yang juga sesepuh PPP itu bicara soal doa karena gemas terhadap kondisi
moral bangsa yang terus merosot. Setiap warga negara Indonesia kiranya juga
gemas seperti dia. Kita adalah negara ber-Tuhan dan beragama. Mestinya kita
juga warga negara yang pendoa. Memang, setiap hari Jumat masjid-masjid penuh,
setiap hari Minggu gereja-gereja penuh, pada hari-hari raya agama umat
berbondong-bondong berdoa dengan khusyuk. Tetapi mengapa korupsi merajalela,
meracuni lembaga mana pun, eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Pejabat-pejabat mengkhianati kepercayaan rakyat dan kehilangan rasa malunya.
Mengapa
doa tidak berefek bagi kebaikan moral bangsa? Dari penjelajahan singkat
mengenai tradisi doa di atas, kita bisa menjawab: doa kita mandul karena
terpisah dari masalah-masalah etika, sosial, dan moral yang dihadapi bangsa.
Doa melulu menjadi praktik formal-ritual yang tidak bersentuhan dengan
permasalahan masyarakat. Doa hanya menjadi kesalehan yang steril terhadap
masalah sosial.
Dalam
doa macam itu kita menemukan kenyamanan dan kemapanan, dan kehilangan
kepedulian sosial. Lebih fatal lagi, doa macam ini membuat kita munafik,
seakan-akan kita sudah menjadi baik karena sudah berdoa, tanpa ingin
memberantas kemungkaran yang ada di sekitar kita. Doa tak lagi memberi kita
kekuatan dan inspirasi untuk menggugat dan mendobrak segala bentuk represi
yang menimpa banyak orang, lebih-lebih mereka yang miskin dan sederhana.
Mengapa
kita sampai terjerumus ke dalam keadaan demikian? Doa memang bersifat
pribadi. Tetapi kita tahu, penghayatan kita terhadap doa juga tergantung pada
para pemuka umat, pemimpin jemaat, imam, ustaz, kiai, pendeta, atau pastor.
Dari mereka-mereka itulah kita belajar berdoa. Karena itu merekalah yang
paling berkewajiban mengajari kita bagaimana berdoa dengan benar.
Misalnya,
dengan mendalami lagi tradisi doa yang diajarkan Al Quran dan Kitab Suci, di
mana Tuhan menghendaki agar jika berdoa janganlah kita melepaskan diri dari
masalah kemanusiaan, masalah sosial, lebih-lebih masalah mereka yang miskin
dan menderita. Kalau itu tidak dilakukan, patutlah kita curiga, para petinggi
doa itu diam-diam sedang menikmati kemapanan, dan mendukung penguasa yang
benci terhadap kekuatan doa yang memberi inspirasi orang untuk menggugat dan
mendobraknya. Kita mendengar, calon presiden dari PDI Perjuangan, Jokowi,
bercita-cita mengadakan revolusi mental. Revolusi mental itu kiranya akan
makin efektif jika disertai revolusi doa. Artinya, bagaimana doa kita
dilepaskan dari sangkar keamanan dan kemapanan individualnya, dibebaskan dari
kepentingan untuk membenarkan kelompok-kelompok tertentu saja hingga menjadi
eksklusif terhadap kepentingan seluruh bangsa. Revolusi doa itu kiranya perlu
membangunkan kesadaran moral, sosial, dan etika dalam doa yang dihayati warga
negara.
Untuk
itu, revolusi mental dan doa itu kiranya harus dimulai dari para pemimpin
bangsa. Sebab, seperti dikatakan Hassan al-Banna, pendiri Persaudaraan Muslim
di Mesir, paling tidak dalam tradisi Islam, doa itu seperti latihan harian
dalam organisasi sosial dan praktis. Begitu muazin menyerukan doa dimulai,
umat berkumpul, mereka punya hak dan kewajiban sama, tetapi mereka berdiri di
belakang imam yang mengatur ketertiban dan kesatuan mereka. Imam itu
pemimpin. Kalau ia salah dalam memimpin, umat berhak dan wajib menegurnya.
Itulah demokrasi dalam doa. Para pemimpin kita ibarat imam itu. Kalau mereka
salah berdoa, kita pun ikut salah dalam doa kita. Jangan-jangan inilah
sebabnya mengapa kita terjerumus ke dalam kemerosotan moral, yakni karena
para pemimpin kita tidak pernah berdoa, agar kekuasaannya digunakan untuk
melayani rakyat dan tidak untuk memperkaya diri sendiri. Kalau demikian, doa
dan mental merekalah yang terlebih dahulu harus direvolusi. Memang bisa-bisa
kemungkaran yang harus dibongkar oleh doa dari bangsa ini adalah mental
busuk, egois, dan korup para pemimpin bangsa kita sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar