Representasi
Politik dan Kekerasan Seksual
Diah
Irawaty ; Alumnus Program Master Kajian Pembangunan dan Jender,
Brandeis University, Massachusetts, AS
|
KOMPAS,
08 Mei 2014
|
Semakin
banyak aktivis perempuan yang selama ini aktif memperjuangkan keadilan jender
maju menjadi calon anggota legislatif pada Pemilu 2014.
Gejala
ini merupakan perkembangan penting yang diharapkan mengubah orientasi
partisipasi politik perempuan dari sekadar memenuhi kuota atau representasi
menuju peran politik perempuan yang lebih berpengaruh dalam hidup bernegara
kita.
Akhir-akhir
ini kekerasan seksual dengan korban utama perempuan, termasuk anak-anak,
makin serius. Peningkatan tak hanya terjadi dari segi kuantitas, tetapi dari
segi kualitas kekerasan seksual semakin mengerikan.
Banyak
anak dan remaja jadi korban. Bahkan, seorang anak perempuan yang melaporkan
kasus pemerkosaan yang dialaminya kepada seorang anggota DPRD Lampung justru
mengalami pemerkosaan ulang dan massal oleh anggota DPRD itu bersama sejumlah
orang lain.
Respons
serius dari negara belum terlihat. Sejauh observasi saya, sekadar ungkapan
prihatin atas tragedi ini pun belum kita dengar dari lembaga negara mana pun,
termasuk dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Proses hukum terhadap pelaku di kepolisian juga sering berakhir pada hukuman
ringan yang tidak memunculkan efek jera.
Kasus
”kolor ijo” di Probolinggo, Jawa Timur, yang memperkosa 19 perempuan dan baru
tertangkap setelah 10 tahun beraksi, membuat kita mempertanyakan kinerja
kepolisian dalam menangani kasus kekerasan seksual. Mengapa begitu susah
menangkap pelaku kejahatan seksual seperti itu? Sejauh mana polisi bekerja
keras menangani masalah ini? Haruskah menunggu hingga jatuh begitu banyak
korban?
Tentu
saja penanganan kasus kekerasan secara tak serius tak hanya berakibat
banyaknya korban, tetapi juga menciptakan rasa tak aman pada kaum perempuan
karena ini mengindikasikan negara tak mampu memberikan jaminan keamanan dari
risiko menjadi korban pemerkosaan selanjutnya.
Harus
diingat, persoalan kekerasan seksual bukan melulu bagaimana menangani atau
menghukum pelaku, melainkan juga soal hak-hak mereka yang menjadi korban.
Sisi ini (meski negara sudah memfasilitasi lembaga khusus penanganan
perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan, termasuk seksual) belum
sepenuhnya maksimal untuk memfasilitasi terpenuhinya hak-hak korban. Hak
mendapatkan layanan penyuluhan, proses hukum yang adil, hak tidak menjadi
korban viktimisasi sosial, dan hak-hak lain korban masih belum sepenuhnya
didapat dari negara.
Salah
satu contoh bagaimana hak untuk tidak jadi korban viktimisasi tidak bisa
didapat dari negara: kita tahu banyak pemerkosaan yang membuat siswi hamil
dan justru siswi yang menjadi korban itulah yang dihukum sekolah. Contoh
nyata, kasus pemerkosaan tahanan perempuan di Wajo, Sulawesi Selatan:
keluarga korban justru dimusuhi tetangganya sendiri dan akhirnya memutuskan
pindah.
Negara berdiam diri
Bisa dikatakan,
secara umum, negara memilih bertindak diam dan tidak responsif terhadap
kekerasan seksual. Kehadiran aktivis perempuan dalam daftar calon anggota
legislatif seharusnya jadi harapan baru. Setelah Pemilu 2014, kita berharap
melihat negara lebih responsif menunjukkan tanggung jawab melindungi hak
perempuan dari risiko menjadi korban kekerasan seksual.
Kita
sadar, tidak semua aktivis perempuan yang terpilih menjadi anggota legislatif
duduk di komisi yang mengurus langsung persoalan kekerasan seksual. Namun,
tetap banyak peran dan ekstratanggung jawab yang bisa dilakukan sebagai
bagian dari advokasi politik dan kebijakan. Kaukus perempuan parlemen sebagai
lembaga informal yang menyatukan anggota legislatif perempuan dari berbagai
partai dan lintas komisi harus menjadi lembaga yang bisa selalu bicara keras
menuntut tanggung jawab negara terhadap masalah ini.
Sebagai
bagian dari konsolidasi advokasi, aktivis perempuan yang terpilih nanti
diharapkan bisa menjaga bahkan menguatkan relasi aktivismenya dengan aktivis
perempuan di luar lembaga politik. Saat ini DPR (masih) membahas RUU
Kesetaraan dan Keadilan Jender. Kehadiran aktivis perempuan di lembaga
legislatif harus bisa mempercepat pengesahan RUU tersebut sebagai bagian dari
advokasi hukum menuntut tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak atas
keadilan jender dan seksual, termasuk menjamin keamanan dan keadilan
perempuan terkait kekerasan seksual.
Kita
juga perlu paham peran yang harus dilakukan anggota legislatif dengan latar
gerakan perempuan bukan satu-satunya jalan politik menuntut tanggung jawab
negara atas persoalan kekerasan seksual. Gerakan sosial di berbagai level
juga perlu dibangun. Seperti pengalaman di AS, gerakan sosial melawan
kekerasan seksual dibangun melalui solidaritas perempuan di perguruan tinggi
yang menyediakan ruang konsultasi dan konseling bagi perempuan korban
kekerasan. Ruang penyuluhan ini juga disediakan sebagai media bagi perempuan
korban pemerkosaan itu untuk ”bersuara” dan himpunan suara perempuan korban
kekerasan itu akan jadi kekuatan sosial mendesak tanggung jawab negara.
Upaya di
level pencegahan juga perlu mendapat perhatian khusus. Misalnya,
memperhatikan anak-anak sekolah yang bukan hanya jadi korban, melainkan juga
pelaku kekerasan seksual. Sangat penting dipikirkan berbagai terobosan lewat
lembaga pendidikan untuk mengatasi masalah ini, termasuk lewat pendidikan
seksualitas. Karena itu, konsolidasi hubungan anggota legislatif perempuan
dengan kelompok perempuan di luar lembaga politik negara menjadi sangat penting
dijaga. Sikap responsif anggota parlemen perempuan atas persoalan kekerasan
seksual juga akan penting menginspirasi gerakan sosial di tingkat masyarakat
itu.
Akhirnya,
melalui keseriusan dan tanggung jawab para aktivis perempuan—yang seharusnya
ditunjukkan sejak kampanye—terhadap masalah kekerasan seksual, kita berharap
akan terjadi perubahan orientasi representasi politik perempuan dari sekadar
pemenuhan kuota ke arah peran lebih berpengaruh dalam proses politik dan
kenegaraan di RI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar