Pekerjaan
Rumah Presiden Terpilih
Tata
Mustasya ; Peneliti Senior Pol-Tracking Institute
|
KOMPAS,
07 Mei 2014
|
BELUM berhasilnya pemerintahan
setelah Reformasi 1998 untuk memberikan arah menuju perekonomian dengan
fondasi yang kuat bukan karena pemerintah kurang bekerja. Sebaliknya, terlalu
banyak hal yang ingin dilakukan, termasuk aneka kebijakan populis, tetapi
minim fokus. Pekerjaan wajib yang semestinya selesai dalam 16 tahun pun malah
terbengkalai.
Adam Smith menyebutkan beberapa
pekerjaan yang menjadi tugas negara yang bisa jadi acuan bagi presiden
terpilih nanti. Tidak banyak, yakni keamanan, menjaga keteraturan, membangun
infrastruktur, dan menyelenggarakan pendidikan. Semua itu untuk membuat
aktivitas ekonomi—dalam bentuk pertukaran barang dan jasa—berjalan tanpa
hambatan dan lebih efisien.
Konteks Indonesia
Terlepas dari ideologi ekonomi
yang dianut, anjuran Smith itu menemukan relevansinya dalam konteks Indonesia
sekarang. Anjuran tersebut di satu sisi akan membantu presiden terpilih dalam
memfokuskan agenda pembangunan ekonomi dan di sisi lain berdampak positif
luas, termasuk bagi kelompok marjinal.
Kegagalan untuk menjamin
keamanan, menjaga keteraturan, membangun infrastruktur, dan mempromosikan
pendidikan akan menjebak Indonesia ke dalam sebuah lingkaran setan. Maka,
alih-alih bergerak maju, Indonesia justru hanya jadi negara kelas medioker di
bidang ekonomi.
Di tataran praktis, presiden
harus mengutamakan pengawasan langsung pada aspek-aspek di atas, sementara
kebijakan lainnya dapat lebih didelegasikan.
Realitasnya, peran negara ini
tidak dijalankan dalam ruang hampa politik. Belajar dari pengalaman Presiden
Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono,
terdapat beberapa tantangan yang lebih dahulu harus dihadapi untuk bisa
menjalankan tugas pokok negara tersebut.
Pertama, mengatasi fragmentasi
kebijakan sebagai implikasi pelaksanaan desentralisasi. Sinergi kebijakan
antartingkat pemerintahan, sebagai contoh, wajib dipenuhi dalam pembangunan
infrastruktur yang memungkinkan seluruh wilayah Indonesia terintegrasi secara
ekonomi.
Fragmentasi kebijakan ini
diperburuk oleh distribusi kekuatan politik yang relatif merata setelah
reformasi. Partai Demokrat sebagai pemenang Pemilu 2009 dan Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan sebagai pemenang Pemilu 2014, misalnya, hanya mendapat
sekitar 20 persen suara.
Hal ini menyebabkan biaya
transaksi koordinasi kebijakan antartingkat pemerintahan jadi tinggi pada
saat presiden dan kepala daerah berasal dari partai politik yang berbeda.
Tantangan kedua, belum kuatnya
dukungan publik secara luas, terutama kelas menengah, dalam pengambilan
kebijakan untuk mengimbangi kelompok kepentingan tertentu.
Sedikit banyak hal ini terkait
dengan masih relatif rendahnya pendidikan dan pendapatan sebagian besar
masyarakat yang berdampak pada kesulitan mengakses informasi dan menyampaikan
aspirasi.
Data Badan Pusat Statistik
menunjukkan bahwa penduduk berusia 15 tahun ke atas yang hanya berpendidikan
sekolah dasar atau di bawahnya masih mencapai 47 persen pada 2012.
Tantangan ketiga yang harus
dihadapi presiden mendatang adalah budaya percaloan yang kental dalam lembaga
pemerintahan, baik eksekutif, yudikatif, maupun legislatif. Usaha untuk
menciptakan keteraturan, misalnya, pasti berbenturan dengan kepentingan para
calo tersebut.
Sulit membayangkan perekonomian
negara akan efisien dan maju dalam budaya percaloan yang kuat seperti
sekarang, sehingga Indonesia menjadi country
of middlemen.
Prioritas kebijakan
Jika mampu mengatasi persoalan
politik tersebut, presiden terpilih mesti fokus mengerjakan peran negara di
atas.
Pertama, keamanan, yang berarti
adanya kondisi yang damai untuk melakukan kegiatan ekonomi. Dalam konteks
Indonesia sekarang, perlu dijaga agar konflik, seperti yang pernah terjadi di
Aceh, Papua, dan Ambon, sama sekali tidak terjadi.
Kedua, menjaga keteraturan yang
berkaitan langsung dengan kemudahan dan kepastian dalam melakukan aktivitas
ekonomi. Smith menyebutkan perlunya perlindungan terhadap modal. Bagi para
pelaku ekonomi, masalah yang harus diselesaikan presiden adalah ekonomi biaya
tinggi dan proses yang berbelit, perlindungan hak milik, dan kepastian dalam
proses peradilan.
Keteraturan ini akan menguntungkan
pelaku ekonomi secara inklusif, bukan hanya pengusaha besar. Faktanya, usaha
mikro dan kecil yang berjumlah sekitar 17 juta unit merupakan kelompok paling
terdampak ekonomi biaya tinggi karena modal yang terbatas dan ketidakmampuan
mengalihkan lokasi usaha.
Ketiga, mengatasi kekurangan
infrastruktur yang selama ini menjadi kendala koneksi ekonomi antardaerah.
Infrastruktur yang memadai tersebut bakal melahirkan pusat- pusat pertumbuhan
baru di seluruh Indonesia dan di daerah pedesaan, sekaligus mengoreksi
konsentrasi produk domestik bruto (PDB) di Pulau Jawa yang mencapai sekitar
56 persen.
Keempat, meningkatkan kualitas
pendidikan—dengan secara strategis memanfaatkan besarnya anggaran
pendidikan—yang pada gilirannya berkontribusi pada kegiatan ekonomi yang
lebih produktif.
Jika mampu fokus menyelesaikan
pekerjaan-pekerjaan tersebut, presiden terpilih akan menjadi pembeda arah
ekonomi Indonesia menjadi tumbuh berkelanjutan secara inklusif. Tantangan
terbesar adalah secara politis, yang justru akan datang dari partai politik
dan birokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar