Perangkap
Keuangan Desa
Robert
Endi Jaweng ; Direktur Eksekutif KPPOD, Jakarta
|
KOMPAS,
05 Mei 2014
SETELAH sempat ”digoreng” sejumlah calon anggota
legislatif dan elite partai dalam masa kampanye lalu, saatnya pengaturan
keuangan desa dibahas dalam ruang lebih tenang dan secara rasional. Sebagai
tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, pada fase transisi
menuju pemberlakuan kerangka baru pengelolaan desa, pemerintah dibantu para
pegiat lembaga swadaya masyarakat saat ini berkutat dengan segala persiapan
operasional dan penyusunan regulasi turunan.
Khusus
terkait aspek keuangan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan menargetkan
terbitnya peraturan pemerintah (PP) terkait pada bulan Mei. Meski UU tersebut
memuat cukup banyak klausul perubahan penting bagi tata kelola desa kelak,
ihwal keuangan tampaknya menjadi primadona sekaligus paling krusial untuk
menjadi prioritas perhatian.
Pada
titik ini, sembari mendorong rampungnya persiapan, semua pihak jangan terus
terbawa euforia dan menutup mata atas berbagai perangkap yang berpotensi
terjadi.
Tekanan
sejumlah elemen agar dana desa dan alokasi dana desa mulai dikucurkan dalam
termin Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) pertengahan
2014 ini, misalnya, jelas tidak saja terbilang inkonsisten (UU Desa
menetapkan kurun dua tahun bagi penyusunan regulasi), tetapi juga berbahaya
lantaran berpotensi mencederai esensi dan instrumentasi kebijakan yang sedang
disusun serta merusak sekuensi perubahan dalam manajemen transisi yang kritis
ini.
Pertama,
UU Desa mencerminkan ambisi politik yang menyisakan kerja-kerja teknokratik
yang rumit di belakang hari. Ide dana desa yang diambil dari on top 10 persen
transfer daerah muncul dari keyakinan para pembentuk UU akan skema
konsolidasi dan integrasi dana kementerian sektoral yang selama ini memiliki
program berbasis desa.
Faktanya,
hingga hari ini kita belum memiliki data solid nominal pasti dana yang
tersebar di tiap kementerian dan gambaran formula realokasi dana-dana
tersebut ke satu pintu (berupa dana desa) sebagai titik akses utama
pemerintah ke ranah desa. Dugaan kuat yang kini muncul adalah ide konsolidasi
fiskal yang menjadi skenario awal tersebut tidak sepenuhnya bisa terwujud dan
itu berarti mengambil sumber alokasi baru dalam ceruk belanja di APBN.
Kedua,
skema dan formula alokasi dana desa menimbulkan soal pelik: apakah pusat
langsung mengalokasikan ke desa (rekening transito daerah) atau hanya membuat
formula generik berbasis daerah untuk selanjutnya pemda menetapkan formula
tambahan (indeks kemiskinan geografis) dan menetapkan nominal alokasi?
Pilihan
pertama (model satu tahap) menuntut pusat bisa menyediakan data spesifik
lokal yang relevan dengan kondisi dan variasi 72.944 desa, sementara model
kedua mengandaikan diskoneksi desa dengan kabupaten yang justru ”diciptakan”
UU ini bisa tersambung kembali dalam
revisi UU Pemda. Apa pun pilihan modelnya, simulasi manajemen kerjanya
menunjukkan sulitnya implementasi yang akurat dan akuntabel dalam hitungan
bulan bahkan setahun ke depan.
Ketiga,
dalam konteks tata kelola anggaran yang baik, kualitas belanja dan
akuntabilitas anggaran menjadi kata kunci. Membangun kapasitas tata kelola
dan sistem pertanggungjawaban adalah agenda besar di masa transisi ini. Kalau
skenario maksimal diadopsi, tiap desa akan mengelola dana sekitar Rp 1 miliar
per tahun. Dana ini sesungguhnya terhitung kecil kalau kapasitas aparat
mumpuni dan perencanaan tersusun secara baik.
Selama
ini, hanya sedikit desa yang memiliki rekam jejak mengelola uang besar;
mayoritas lainnya hanya mengelola puluhan hingga ratusan juta rupiah per
tahun. Fasilitasi pusat, apalagi kabupaten, berupa penguatan keahlian dan
transfer pengetahuan justru belum terlihat signifikan di tengah kebingungan
dan kecemasan menghantui banyak aparat desa.
Pada
dimensi pertanggungjawaban, belum ada gambaran perihal sistem dan
mekanismenya. Setiap uang negara yang diperoleh maupun dibelanjakan tentu
harus dipertanggungjawabkan (UU Nomor 17 Tahun 2003 dan UU Nomor 15 Tahun
2004). Namun, mengaudit 72.000 laporan keuangan pemerintah desa jelas terasa
muskil bagi Badan Pemeriksa Keuangan yang terbatas personelnya.
Peranti
pemeriksaan juga sulit dibebankan kepada Badan Pengawas Daerah
(Bawasda)/inspektorat lantaran basis otoritas yang terputus dan kapasitas
lembaga itu sendiri yang amat lemah, bahkan untuk melakukan pengendalian
internal di level pemda selama ini. Skenario di depan mata adalah proses
trial and error dan toleransi/pembiaran ”terencana” atas segala risiko yang
ada.
Mengelola transisi
Kita tak
berkehendak memutar kembali jarum jam perubahan. UU Nomor 6 Tahun 20014
merupakan terobosan politik dan memuat ideal-ideal penting bagi kerangka baru
pembaruan desa ke depan. Justru guna merealisasi semua itu, kita mesti
optimal menyiapkan segalanya. Politisi, bahkan di musim politik ini, tak
patut terus mengumbar ambisinya, termasuk memasang target atau mendesakkan
kepentingannya.
Kalau
pada kasus otonomi dibutuhkan dua tahun bagi transisi pemberlakuan UU Nomor
22 Tahun 1999, kurun waktu yang realistis jelas lebih diperlukan bagi UU Desa
yang membawa magnitud perubahan besar di tengah kompleksitas masalah dan
ketidaksiapan yang akut.
Hemat
saya, pemerintah perlu berkonsensus dan mendesain kerangka kerja berbeda
antara fase transisi dan implementasi efektif. Pertama, keberlakuan
transisional dihitung sejak persiapan operasional dan regulasi utama
tersedia. Pada fase ini, prasyarat minimum terkait kapasitas tata kelola
anggaran dan sistem akuntabilitas mulai terbaca peta jejaknya, setidaknya di
sejumlah desa percontohan yang ditetapkan terlebih dulu.
Kedua,
keberlakuan transisional diberlakukan sejak tataran kebijakan (PP), terutama
ihwal penahapan persentase realokasi dana desa (5-7 persen di fase transisi,
10 persen di fase implementasi efektif), penetapan formula dan skema transfer
(dua tahap di fase transisi, satu tahap di fase implementasi efektif), serta
pertanggungjawaban (pelaporan berkala dan sistem pengendalian internal di
fase transisi, pemeriksaan atau audit di fase
implementasi efektif).
Ketiga,
di masa transisi ini, pemerintah semestinya mengadopsi manajemen kerja
transisi pula. Pada level kabupaten hingga kecamatan, misalnya, perlu
dibentuk gugus-gugus tugas/ fungsional. Tim manajemen transisi ini bertujuan
(1) resume sumber daya (keahlian) aktivis/ profesional yang selama ini giat
dalam pembangunan desa, termasuk fasilitator/konsultan Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat; (2) memberi prioritas tunggal bagi agenda penguatan
tata kelola desa—sesuatu yang sulit diserahkan kepada aparat birokrasi
kabupaten yang sudah terbeban rutinitas, gampang kehilangan fokus, dan
terjebak langgam kerja birokratis.
Skala
perubahan yang diusung beleid desa ini terlalu besar sekaligus berbahaya jika
hanya dikelola dengan pola kerja biasa, di tengah desakan politik yang
kencang hari-hari ini.
Berulang
fakta menunjukkan, kegagalan dalam mengelola suatu muatan perubahan ke
tingkat realisasi tidak saja menjerat kita tak bergerak ke mana-mana, tetapi
juga menghadirkan lingkungan persoalan baru. Bumerang demikian bisa saja
terjadi di desa kelak: alih-alih gagasan kemajuan mewujud dalam semesta desa,
justru petaka membayang: ”Jaksa masuk Desa” memeriksa korupsi, inefisiensi dan
belanja tak berkualitas, bahkan kegagalan pembangunan itu sendiri. Semua ini
tak boleh terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar