Sabtu, 17 Mei 2014

Politik yang “Bergantung” Nama

Politik yang “Bergantung” Nama

Bandung Mawardi  ;   Pengelola Jagat Abjad Solo
SUARA MERDEKA,  16 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
PUBLIK mendapat misteri berkait nama cawapres. Nama menentukan efek politik dan keberterimaan publik untuk berpihak. PDI Perjuangan menjanjikan mengumumkan nama cawapres pada Jumat, 16 Mei 2014.

Konon, nama itu sudah disimpan oleh Megawati Soekarnoputri, Joko Widodo, dan Surya Paloh. Mereka sengaja tak tergesa mengumumkannya supaya ada misteri bergerak pada benak publik. Kita diharapkan bersabar dengan bermain ramalan. Kita menduga nama tenar: Jusuf Kalla atau Abraham Samad. Prabowo Subianto pun berjanji mengumumkan nama pendamping alias cawapres pada pekan ini. Partai Demokrat turut bermain misteri dengan mengumumkan nama pemenang konvensi.

Partai Golkar malah ”bingung” mengumumkan Aburizal Bakrie sebagai nama capres atau cawapres, setelah repot memembentuk koalisi. Hajatan demokrasi selalu bermakna dengan nama. Kita sudah sering mendapatkan laporan popularitas nama-nama capres dan cawapres sejak setahun silam.

Kita menghadapi nama, memuat pengertian biografi, jabatan, kompetensi, dan wibawa. Agenda memilih presiden-wakil presiden bermula dari nama, disuguhkan ke publik supaya dipertimbangkan. Pemilu menjadi peristiwa memilih dan mengesahkan nama para tokoh untuk menjabat presiden dan wakil presiden. Ah, ingat nama ingat sejarah politik di Indonesia. Tan Malaka pernah mengenang nama berlatar gerakan politik di Indonesia. Kenangan bermula dari sebutan nama. Ahmad Subardjo melafalkan nama dalam sapaan pendek, ’’O, Tan Malaka, saja sangka sudah mati.”

Si pemilik nama terkejut, bermenung tentang diri saat tahuntahun berlalu. Tan Malaka dalam buku Dari Pendjara ke Pendjara menulis, ”Mr Subardjolah jang pertama sekali mengutjapkan nama saja jang sebenarnja, semendjak saja mendarat di Sumatra Timur, pada tanggal 10 Djuni 1942. Gandjil benar bunjinja nama itu di telinga saja sendiri, sesudah semendjak lebih dari 20 tahun tak pernah lagi nama itu diutjapkan kepada saja dalam pergaulan hari-hari.

Nama itu malah memperingatkan saja kepada pengalaman pahit karena berhari-hari diutjapkan oleh para pengurus pendjara dan agen polisi imperialis kepada saja di luar negeri selang bertahun-tahun lampau...” Nama berisi ”pengalaman pahit” dan pembukaan identitas saat kembali ke Indonesia untuk menggerakkan revolusi. Semula, orang mengakrabi si penulis bukubuku sangar dan pemikir revolusioner dengan sebutan Iljas Hussein. Nama samaran, telanjur menjadi imajinasi publik.

Tan Malaka sengaja menggunakan nama-nama samaran demi menghindari petaka politik. Hari-hari menjelang dan sesudah proklamasi di Jakarta, Tan Malaka menemui tokoh-tokoh politik.

Ia tak gampang dikenali dari penampilan dan lagak bicara. Orang-orang cuma bercuriga dengan model berpikir tokoh misterius itu. Sekian orang mengenalinya sebagai Iljas Husein. Si pemilik nama memang sengaja tak lekas membuka identitas, memperhitungkan situasi dan efek politik.

Pertemuan dengan Ahmad Subardjo menjadi peristiwa dramatis, manusia revolusioner itu kembali mendapati nama asli: Tan Malaka. Sebutan nama menimbulkan gejolak. Tokoh-tokoh politik dan kaum muda revolusioner mulai memperhitungkan kehadirannya untuk berperan dalam laju revolusi. Tan Malaka sering dianggap nama dari masa silam. Nama mengandung legenda politik.

Menentukan Karisma

Poeze (2008) menempatkan Tan Malaka dalam perdebatan dan persaingan siasat menjalankan revolusi Indonesia. Pemunculan diri dan nama memang merangsang popularitas meski sulit menandingi Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Tan Malaka berjumpa tokoh dan menempuh perjalanan ke pelbagai tempat demi mengajukan gagasan dan model revolusi.

Ingat, sejarah revolusi memerlukan tokoh bernama. Dulu, Tan Malaka memang inspirator bagi kaum pergerakan. Tahun-tahun berlalu, nama ada tapi raga tak ada di Indonesia. Kehadirannya lagi tak mampu ”menggoda” kalangan pergerakan mengunggulkan nama Tan Malaka.

Di kalangan publik, nama-nama moncer telanjur ada di ingatan dan memicu imajinasi. Kita mengenang Tan Malaka melalui ”penghilangan” nama dan ”penemuan kembali” nama. Tokoh tentu bernama. Tan Malaka adalah tokoh moncer meski tak mendapati ”peruntungan” nama saat mengalami episode berbeda, dari 1920-an ke 1940-an. Jarak 20 tahun memengaruhi efek popularitas nama. Masa kolonialisme memunculkan nama-nama untuk memberi pengharapan ”membentuk” Indonesia.

Sekian nama sering dilafalkan dan dituliskan, memengaruhi pengenalan publik atas tokoh pergerakan: Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Ironi nama dalam biografi Tan Malaka pantas diajukan untuk menanggapi kesibukan partai dan elite politik dalam mengajukan nama capres-cawapres. Hari demi hari, nama-nama selalu diumumkan melalui iklan, pidato, berita. Para tokoh bernama bersaing menjadi ”idola”. Propaganda politik menggunakan nama. Ingat, nama mengandung pesona.

Serbuan nama ”ditunggangi” pembentukan identitas agar publik menerima atau menanggung fanatisme. Urusan pilpres pun turut dipengaruhi kesanggupan melenakan publik, bermula dari nama untuk disimpan dalam ingatan sebagai dambaan. Para capres memiliki siasat mengolah nama agar ”laku” dan ”laris”.

Garapan nama dimaksudkan membujuk publik memberikan suara, berperan melakukan sebaran dari repetisi pelafalan dan penulisan nama capres dan cawapres. Politik di Indonesia bergantung nama. Kita pun mengerti bahwa nama menentukan karisma, kemuliaan, dan kesuksesan. Nama bisa bertuah tapi nama juga rawan mengundang petaka. Politik bergantung nama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar