Politik
yang “Bergantung” Nama
Bandung
Mawardi ; Pengelola
Jagat Abjad Solo
|
SUARA
MERDEKA, 16 Mei 2014
PUBLIK mendapat
misteri berkait nama cawapres. Nama menentukan efek politik dan keberterimaan
publik untuk berpihak. PDI Perjuangan menjanjikan mengumumkan nama cawapres
pada Jumat, 16 Mei 2014.
Konon,
nama itu sudah disimpan oleh Megawati Soekarnoputri, Joko Widodo, dan Surya
Paloh. Mereka sengaja tak tergesa mengumumkannya supaya ada misteri bergerak
pada benak publik. Kita diharapkan bersabar dengan bermain ramalan. Kita
menduga nama tenar: Jusuf Kalla atau Abraham Samad. Prabowo Subianto pun
berjanji mengumumkan nama pendamping alias cawapres pada pekan ini. Partai Demokrat
turut bermain misteri dengan mengumumkan nama pemenang konvensi.
Partai
Golkar malah ”bingung” mengumumkan Aburizal Bakrie sebagai nama capres atau
cawapres, setelah repot memembentuk koalisi. Hajatan demokrasi selalu
bermakna dengan nama. Kita sudah sering mendapatkan laporan popularitas
nama-nama capres dan cawapres sejak setahun silam.
Kita
menghadapi nama, memuat pengertian biografi, jabatan, kompetensi, dan wibawa.
Agenda memilih presiden-wakil presiden bermula dari nama, disuguhkan ke
publik supaya dipertimbangkan. Pemilu menjadi peristiwa memilih dan
mengesahkan nama para tokoh untuk menjabat presiden dan wakil presiden. Ah,
ingat nama ingat sejarah politik di Indonesia. Tan Malaka pernah mengenang
nama berlatar gerakan politik di Indonesia. Kenangan bermula dari sebutan
nama. Ahmad Subardjo melafalkan nama dalam sapaan pendek, ’’O, Tan Malaka,
saja sangka sudah mati.”
Si
pemilik nama terkejut, bermenung tentang diri saat tahuntahun berlalu. Tan
Malaka dalam buku Dari Pendjara ke
Pendjara menulis, ”Mr Subardjolah
jang pertama sekali mengutjapkan nama saja jang sebenarnja, semendjak saja
mendarat di Sumatra Timur, pada tanggal 10 Djuni 1942. Gandjil benar bunjinja
nama itu di telinga saja sendiri, sesudah semendjak lebih dari 20 tahun tak
pernah lagi nama itu diutjapkan kepada saja dalam pergaulan hari-hari.
Nama itu malah memperingatkan saja kepada
pengalaman pahit karena berhari-hari diutjapkan oleh para pengurus pendjara
dan agen polisi imperialis kepada saja di luar negeri selang bertahun-tahun
lampau...” Nama berisi ”pengalaman pahit” dan pembukaan
identitas saat kembali ke Indonesia untuk menggerakkan revolusi. Semula,
orang mengakrabi si penulis bukubuku sangar dan pemikir revolusioner dengan
sebutan Iljas Hussein. Nama samaran, telanjur menjadi imajinasi publik.
Tan
Malaka sengaja menggunakan nama-nama samaran demi menghindari petaka politik.
Hari-hari menjelang dan sesudah proklamasi di Jakarta, Tan Malaka menemui
tokoh-tokoh politik.
Ia tak
gampang dikenali dari penampilan dan lagak bicara. Orang-orang cuma bercuriga
dengan model berpikir tokoh misterius itu. Sekian orang mengenalinya sebagai
Iljas Husein. Si pemilik nama memang sengaja tak lekas membuka identitas,
memperhitungkan situasi dan efek politik.
Pertemuan
dengan Ahmad Subardjo menjadi peristiwa dramatis, manusia revolusioner itu
kembali mendapati nama asli: Tan Malaka. Sebutan nama menimbulkan gejolak.
Tokoh-tokoh politik dan kaum muda revolusioner mulai memperhitungkan
kehadirannya untuk berperan dalam laju revolusi. Tan Malaka sering dianggap
nama dari masa silam. Nama mengandung legenda politik.
Menentukan Karisma
Poeze
(2008) menempatkan Tan Malaka dalam perdebatan dan persaingan siasat
menjalankan revolusi Indonesia. Pemunculan diri dan nama memang merangsang
popularitas meski sulit menandingi Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Tan Malaka
berjumpa tokoh dan menempuh perjalanan ke pelbagai tempat demi mengajukan
gagasan dan model revolusi.
Ingat,
sejarah revolusi memerlukan tokoh bernama. Dulu, Tan Malaka memang inspirator
bagi kaum pergerakan. Tahun-tahun berlalu, nama ada tapi raga tak ada di
Indonesia. Kehadirannya lagi tak mampu ”menggoda” kalangan pergerakan
mengunggulkan nama Tan Malaka.
Di
kalangan publik, nama-nama moncer telanjur ada di ingatan dan memicu
imajinasi. Kita mengenang Tan Malaka melalui ”penghilangan” nama dan
”penemuan kembali” nama. Tokoh tentu bernama. Tan Malaka adalah tokoh moncer
meski tak mendapati ”peruntungan” nama saat mengalami episode berbeda, dari
1920-an ke 1940-an. Jarak 20 tahun memengaruhi efek popularitas nama. Masa
kolonialisme memunculkan nama-nama untuk memberi pengharapan ”membentuk”
Indonesia.
Sekian
nama sering dilafalkan dan dituliskan, memengaruhi pengenalan publik atas
tokoh pergerakan: Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Ironi nama dalam biografi Tan
Malaka pantas diajukan untuk menanggapi kesibukan partai dan elite politik
dalam mengajukan nama capres-cawapres. Hari demi hari, nama-nama selalu
diumumkan melalui iklan, pidato, berita. Para tokoh bernama bersaing menjadi
”idola”. Propaganda politik menggunakan nama. Ingat, nama mengandung pesona.
Serbuan
nama ”ditunggangi” pembentukan identitas agar publik menerima atau menanggung
fanatisme. Urusan pilpres pun turut dipengaruhi kesanggupan melenakan publik,
bermula dari nama untuk disimpan dalam ingatan sebagai dambaan. Para capres
memiliki siasat mengolah nama agar ”laku” dan ”laris”.
Garapan
nama dimaksudkan membujuk publik memberikan suara, berperan melakukan sebaran
dari repetisi pelafalan dan penulisan nama capres dan cawapres. Politik di
Indonesia bergantung nama. Kita pun mengerti bahwa nama menentukan karisma,
kemuliaan, dan kesuksesan. Nama bisa bertuah tapi nama juga rawan mengundang
petaka. Politik bergantung nama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar