Selasa, 06 Mei 2014

Peta Rohani Bangsa

Peta Rohani Bangsa

Ibnu Djarir  ;   Ketua MUI Provinsi Jawa Tengah
SUARA MERDEKA,  06 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
SEJAK muda saya suka memperhatikan pidato Presiden Bung Karno (BK), salah satu yang menarik adalah penyataannya bahwa seorang pemimpin hendaknya memahami peta rohani bangsanya. Karena itu pula, pemimpin Indonesia seyogianya memahami peta rohani bangsa Indonesia. Dari segi rohani, di negara kita ada pemeluk Islam, Hindu, Buddha, Katolik, Kristen, dan Kong Hu Cu. Ada pula penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME.

Dari segi politik, ada pengikut partai nasionalis, partai berbasis agama, partai sosialis, dan lain-lain. Dari segi ekonomi pun, ada masyarakat yang hidup di atas garis kemiskinan, dan ada yang hidup di bawah garis kemiskinan. Dari segi rohani, golongan yang kedua tersebut mayoritas beragama Islam. Apakah partai-partai agama telah menunjukkan bukti mengentaskan mereka dari derita kemiskinan?

Ditinjau dari segi rohani, pengikut partai nasionalis pun pemeluk agama, dan kebanyakan Islam sehingga tepat menyebut mereka pengikut partai nasionalis religius. Pengikut partai agama juga orang-orang yang membela Tanah Air dan bangsanya sehingga tepat bila disebut pengikut partai religius nasionalis. Pada masa lalu ada orang kita menjadi antek kolonial. Mereka menjadi bagian dari tentara Belanda dan memusuhi bangsanya sendiri. Mereka itu bukan nasionalis.

Tak lama lagi kita menghadapi pilpres. Mulailah para politikus, khususnya pimpinan parpol, membahas siapa yang paling tepat menjadi capres-cawapres. Para pimpinan parpol pun mulai membahas rencana koalisi supaya meraih suara terbanyak dan membentuk kabinet yang kuat. Secara diam-diam tentunya menggagas calon-calon menteri.

Dalam sejarah pengajuan capres-cawapres sering terjadi tokoh nasionalis religius dipasangkan dengan tokoh religius nasionalis. Misal Megawati disandingkan dengan Hasyim Muzadi, atau Amien Rais diduetkan dengan Siswono Yudohusodo. Pasang-memasangkan itu tentu dikaitkan dengan pemahaman peta rohani bangsa.

Setelah pileg muncul dua macam tanggapan. Pertama; dari kalangan pimpinan parpol Islam yang merasa bersyukur suara partai Islam atau partai berbasis masyarakat Islam, bertambah. Kedua; dari pengamat yang menganalisis mengapa suara partai Islam melemah, padahal umat Islam merupakan mayoritas.

Menurut hasil hitung cepat sebuah lembaga survei, perolehan suara (sementara) parpol: PDIP 19,60%; Golkar 14,64%; Gerindra 11,88%; Demokrat 9,72%; Nasdem 6,42%; Hanura 5,27%; PKPI 0,99%; PKB 9,03%; PAN 7,48%; PPP 6,98%; PKS 6,59%; dan Bulan Bintang 1,39%.

Kebanyakan pengamat politik berpendapat pemilu yang benar-benar murni (bersih) dan demokratis adalah Pemilu 1955, yang diikuti 29 parpol, dengan perolehan suara parpol besar: PNI 22,3%; Masyumi 20,9% ; NU 18,4%; dan PKI 16,4%. Dari data itu dapat disimpulkan bahwa sebagian besar umat Islam memilih partai Islam (Masyumi dan NU), sebagian lagi PNI, dan sebagian lagi memilih PKI. Di PKI juga ada kiai, yaitu Kiai Ahmad Dasuki Siroj.

Pemilu waktu itu benar-benar murni dan demokratis karena tak ada data tentang money politics, iming-iming materi, tekanan atau penggiringan suara oleh penguasa. Begitulah, umat Islam itu terdiri atas varian-varian: ada yang taat menjalankan kewajiban agama, ada yang setengah taat, dan ada yang hanya pengakuan. Mendasarkan teologi Islam, tiap orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat maka dia orang Islam. Para pemimpin hendaknya juga memahami peta rohani varian-varian ini, termasuk mubalig/dai dalam memberikan bimbingan kepada masyarakat..

Giring Rakyat

Pemilu mulai tidak murni dan tidak demokratis manakala penguasa menyalahgunakan kekuasaan untuk menggiring rakyat supaya memilih partai propemerintah dan melakukan manipulasi. Pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto dengan Golkar memenangi enam kali pemilu.

Pada masa Orde Baru intelektual muslim, Dr Nurcholish Madjid menyatakan ”Islam yes, partai Islam no”. Pernyataan ini mempunyai pengaruh terhadap persepsi muslim tentang partai Islam. Maka timbul pikiran bahwa yang penting tetap beragama Islam, adapun soal partai boleh pilih yang paling cocok. Terlebih sejak 16 Agustus 1982 pemerintah memutuskan semua parpol berasaskan Pancasila sehingga semua partai dianggap berwajah sama.

Maka banyak orang yang berpindah dari satu parpol ke parpol lain, yang kemudian disebut kutu loncat. Selain itu, pengalaman masyarakat dalam memilih wakil dalam pilkada, pileg, dan pilpres sering dikecewakan oleh parpol dan tokoh-tokohnya sehingga mereka apatis terhadap masalah politik.

Sebagian lagi, karena kesulitan dalam penghidupan sehari-hari, berpikir pragamatis, yaitu memilih yang menguntungkan dalam waktu dekat sehingga muncul istilah pemilu wani pira. Sudah bukan rahasia pemilu memerlukan biaya sangat besar, baik bagi penyelenggara maupun bagi para calon yang ingin dipilih. Kasus politik uang terdapat di mana-mana. Dalam kaitan ini perlu mencermati praktik koalisi dalam berbagai kasus. Misal ada seseorang dari satu parpol didukung banyak parpol yang berkoalisi, untuk menjadi kepala daerah.

Setelah penghitungan suara sementara, kita kerap melihat suara dukungan dari sekian parpol yang berkoalisi itu tak ada buktinya. Untuk itu, menghadapi pilpres kita pun ingin melihat apakah model koalisi itu ada buktinya dalam bentuk dukungan suara. Wallahu aílam bish shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar