Kejahatan
Seksual Ditinjau dari Perspektif Pendidikan
Aripianto ;
Wakabid
Litbang dan Infokom DPC GMNI Pekanbaru,
Mahasiswa PKn/FKIP/Universitas Riau
|
OKEZONENEWS,
06 Mei 2014
|
Maraknya
aksi kejahatan seksual yang terjadi di tengah masyarakat kita menunjukkan telah terjadi degradasi moral
serta rendahnya internalisasi ajaran setiap pemeluk agama. Jika kita amati di
pemberitaan media massa akhir-akhir ini cukup mengejutkan, mulai dari
anak-anak sekolah sampai dengan wanita dewasa telah menjadi korban kekerasan
dan pelecehan seksual. Kasus seksualitas ini harus menjadi pelajaran bagi
kita semua, oleh karena itu menjadi kewajiban negara untuk menjamin
warganegara dari tindakan kejahatan seksualitas.
Kasus
pelecehan anak di Indonesia telah berulang kali terjadi, data yang dihimpun
oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (Komnas PA) mencatat kasus pelecehan
seksual sepanjang tahun 2013 sebanyak 3.039 kasus, atau naik sekira 87% dari
tahun 2012.
Komnas
Perlindungan Anak Indonesia pada tahun
2012, telah menerima laporan kekerasan terhadap anak dari masyarakat sebanyak
2.637 kasus, dengan rincian 62% kasus kejahatan seksual, dan 38% kekerasan
fisik. Padahal Undang-undang menyangkut tentang Pelecehan Seksual sudah
diatur didalam Undang –undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 16 ayat 1 menyebutkan Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari
sasaran penganiyaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
Sedangkan dalam undang-undang no 39 tahun 1999 pasal 66 ayat 1tentang Hak
Asasi Manusia berbunyi Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran
penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
Pada
umumnya, kasus pelecehan tersebut dilakukan oleh orang-orang dekat korban,
baik paman, orang tua, guru, teman, penjaga, petugas kebersihan sekolah dan
lain sebagainya. Trauma akibat kejahatan seksual pada anak sulit dihilangkan
kalau tidak secepatnya ditangani oleh ahlinya. Dampak jangka pendek, anak
yang mendapat kekerasan seksual akan mengalami mimpi-mimpi buruk, ketakutan
berlebihan pada orang lain, dan konsentrasi menurun, akhirnya akan berdampak
pada kesehatan. Untuk jangka panjangnya, ketika anak menginjak dewasa akan
mengalami phobia pada hubungan seks atau bahkan diperparah dengan tidak
terbiasa sebelum melakukan hubungan seksual.
Mungkin
saja pelecehan seksual ringan dampaknya tidak terlalu mengkhawatirkan, namun
pelecehan seksual yang sudah derajatnya sedang dan berat akan menimbulkan
dampak negatif secara fisik, psikologis, dan juga sosial. Dampak fisik yang
biasa ditimbulkan akibat pelecehan seksual, adanya memar, luka, bahkan robek
pada bagian-bagian tertentu. Sedangkan dampak psikologis berupa kecurigaan
kepada seseorang, sosok tertentu atau figur tertentu ditambah lagi dengan
adanya perasaan ketakutan sebagai dampak yang sering dialami korban.
Ketakutan ini muncul dalam bentuk takut kepada orang tertentu, bentuk tubuh
tertentu, dan tempat tertentu. Selain itu, kecurigaan juga sering muncul
sebagai dampak dari korban pelecehan seksual. Korban pelecehan seksual
menjadi paranoid kepada orang tertentu, orang asing yang tidak dikenalnya,
serta tempat asing yang belum pernah dikunjunginya. Dampak sosial yang
dialami korban mengakibatkan korban ingin mengasingkan diri dari pergaulan.
Tinjauan dari Perspektif
Pendidikan
Penurunan
moralitas yang terjadi pada bangsa ini sangat mengiris sekali dan tentu ini
menjadi pekerjaan rumah sebagai seorang pendidik untuk menanamkan kembali nilai-nilai
moralitas kepada setiap generasi bangsa. Terjadinya degradasi moral
dikarenakan kurangnya podasi yang
dimilili oleh individu, baik dari sosial, agama, dan budaya. Individu terlalu
lemah dalam menerima perubahan yang terjadi di masyarakat, sehingga tidak
kuat untuk menyaring hal-hal yang masuk memberi pengaruh buruk dalam
moralitas.
Menurut
Thomas Lickona (Sutawi, 2010), ada 10 aspek degradasi moral yang melanda
suatu negara yang merupakan tanda-tanda kehancuran suatu bangsa. Kesepuluh
tanda tersebut (1)Meningkatnya kekerasan pada remaja, (2)Penggunaan kata-kata
yang memburuk, (3)Pengaruh peer group (rekan kelompok) yang kuat dalam tindak
kekerasan, (4)Meningkatnya penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas,
(5)Kaburnya batasan moral baik-buruk, (6)Menurunnya etos kerja, (7)Rendahnya
rasa hormat kepada orang tua dan guru, (8)Rendahnya rasa tanggung jawab
individu dan warga negara, (9)Membudayanya ketidakjujuran, (10) Adanya saling
curiga dan kebencian di antara sesama.
Jika
ditinjau dari sisi perkembangan, minat remaja terhadap perilaku seks menurut
Hurlock (1980:226) didorong oleh meningkatnya keingintahuan remaja tentang
seks. Remaja mencari berbagai macam informasi yang terkait dengan seks
melalui bacaan, teman sebaya, atau mengadakan percobaan dengan melakukan
masturbasi, bercumbu, atau bersenggama. Perubahan dan perkembangan pada masa
remaja ditandai dengan munculnya tanda-tanda sekunder dan mulai matangnya
organ-organ reproduksi. Menurut Freud (Sadock, 1997) masa remaja sebagai fase
genital, yaitu energi libido atau seksual yang pada masa pra remaja bersifat
laten kini hidup kembali. Dorongan seks dicetuskan oleh hormon-hormon
androgen tertentu seperti testosteron yang selama masa remaja ini kadarnya
meningkat. Sementara itu, dalam Kongres Nasional I Asosiasi Seksologi
Indonesia (Konas I ASI) di Denpasar Juli 2002, Hudi Winarso dari Laboratorium
Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya juga mengemukakan
penelitian serupa. Dari angket yang disebarkan pada bulan April 2002 terhadap
180 mahasiswa perguruan tinggi negeri di Surabaya, berusia 19 hingga 23
tahun, ternyata 40 persen mahasiswa pria telah melakukan hubungan seks pra
nikah.
Remaja Berkualitas
Pembentukan
remaja yang berkualitas tentunya dapat dibangun dengan pendidikan karakter.
Pendidikan karakter akan mengubah cara pandang seseorang sehingga masyarakat
akan sulit untuk menerima hal-hal lain yang menyimpang. Penanaman pendidikan
karakter sejak dini akan melindungi seseorang dari perilaku-perilaku yang
tidak sesuai dengan norma-norma agama dan sosial. Sebaliknya, jika penanaman
pendidikan karakter tidak dimulai sejak dini, maka akan sulit untuk mengubah
perilaku dan melindungi pribadi tersebut dari hal-hal yang menyimpang.
Pribadi tersebut akan mudah terpengaruh dan tidak dapat melakukan filterisasi
terhadap hal-hal yang akan masuk ke dalam dirinya.
Untuk
menerapkan pendidikan karakter tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja,
namun semua pihak harus berkontribusi terhadap penanaman pendidikan karakter.
Ketika lingkungan sekolah selalu menanamkan pendidikan karakter, maka dalam
lingkungan masyarakat juga harus mendukung penanaman tersebut yaitu dengan
berusaha selalu menampakan hal-hal positif pada seorang anak. Para pemegang
kebijakan juga harus berperan penting dalam hal ini. Misalnya dengan
memperketat izin tayangan televisi, pengawasan terhadap media massa, serta
memfasilitasi semua hal yang menyangkut penanaman pendidikan karakter. Oleh
karena itu, untuk membentuk pribadi yang unggul dan berkarakter harus ada
koordinasi yang erat antara keluarga, sekolah, masyarakat dan pemerintah.
Perlu diingat bahwa untuk mengubah atau membentuk pribadi yang unggul dan
berkarakter tidak dapat dicapai secara instan, tetapi memerlukan proses yang
panjang. Penanaman nilai-nilai tersebut harus dilakukan secara
berkesinambungan. Jika penanaman pendidikan karakter tersebut telah berhasil,
maka kelak merekalah yang akan menjadi Pemimpin dan membangun negeri ini
menjadi negeri yang ditumbuhi oleh benih-benih generasi penerus yang
berkualitas dan berkarakter.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar