Menyontek
dan Pendidikan Karakter
Wiyaka ;
Dosen
Universitas (dulu IKIP) PGRI Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 06 Mei 2014
|
"Betapa hebat angka nilai sehingga dianggap
bisa menggambarkan kualitas siswa dengan menafikan potensi lain"
BEBERAPA
waktu lalu sering kita saksikan pada layar televisi iklan propaganda KPK
tentang seseorang yang sewaktu kecil suka bohong akhirnya masuk penjara
karena korupsi. Secara sekuel dikisahkan, ada tokoh bernama Adi yang suka
bohong semasa kecil, suka menyontek ketika ujian sekolah, berselingkuh waktu
pacaran, menyogok polisi ketika terkena razia, akhirnya masuk penjara KPK
karena korupsi.
Sebenarnya
banyak modus curang yang dapat diklasifikasikan menyontek saat ujian. Dari
yang paling vulgar, yakni membuka buku, membuat krepekan di kertas kecil yang
dilipat atau digulung, membuat ìtatoî di lengan tangan berisi rumus-rumus,
melihat jawaban teman, hingga memanfaatkan perangkat elektronik semacam telepon
seluler.
Jadi
menyontek itu sebenarnya perlu persiapan dan kreativitas. Menyontek itu juga
perlu trik dan strategi supaya tidak ketahuan guru atau pengawas. Selain itu,
perlu nyali karena anak yang belum
pernah menyontek akan gugup dan gelisah sampai keluar keringat dingin ketika
hendak membuka krepekan.
Celakanya,
dari pengelola pendidikan juga belum ada tindakan berarti untuk mencegah dan
menindaklanjuti kasus siswa menyontek. Bahkan telah menjadi rahasia umum ada
sekolah tertentu membentuk tim sukses untuk membantu siswa menjawab soal
ujian dengan berbagai cara tidak terpuji.
Di sisi
lain sanksi yang diberikan kepada siswa yang menyontek pun juga tidak tegas.
Kalau pun ada anak ketahuan menyontek, sanksinya terbilang longgar dengan
alasan anak hanyalah korban sebuah sistem, kasihan dan alasan permisif
lain. Padahal di sekolah luar negeri, menyontek atau bahasa Inggrisnya
cheating adalah pelanggaran serius
dari code of conduct yang sanksi
akademiknya sangat tegas sampai dengan pemecatan dari sekolah.
Perilaku
mencontek dilakukan anak karena ada niat dan kesempatan. Niat dalam definisi
sederhana adalah dorongan atau motif melakukan sesuatu. Mengapa niat
menyontek itu muncul? Inilah yang
perlu diketahui oleh guru dan orang tua sebelum melakukan langkah
preventif. Saya bukan psikolog, tetapi
berdasarkan pengalaman saya yang pernah menjadi guru di SMP/SMA hingga
sekarang mengajar di perguruan tinggi setidak-tidaknya dapat mengenali
beberapa motif anak menyontek.
Pertama;
anak tidak siap. Ketidaksiapan ini juga bermacam sebab, misal pemberitahuan
ulangan dari guru mendadak sehingga siswa tidak punya cukup waktu untuk
belajar. Akhirnya ia menempuh jalan pintas, menyontek. Atau karena cakupan
materi ulangan terlalu banyak sehingga banyak yang harus dihafal. Beban
belajar yang terlalu banyak mendorong anak berupaya menyelamatkan diri dari
impitan beban. Dalam bahasa psikologi perilaku semacam ini disebut mekanisme pertahanan diri. Pola
belajar yang tidak teratur mengakibatkan terakumulasinya materi pelajaran
yang makin membebani anak tersebut sehingga ia menempuh jalan pintas.
Kedua;
alasan prestasi. Ada anak yang ingin prestasinya gemilang karena motif
tertentu yang bersifat ekstrinsik. Misal dia sudah telanjur dicap anak
pandai, baik di lingkungan keluarga maupun teman-temannya. Atau ia
diiming-iming hadiah bila prestasinya bagus dalam ujian. Motif meraih ”reward” inilah yang mendasari dia menempuh segala
cara.
Kontrak Kesepakatan
Ketiga;
solidaritas teman. Perilaku menyontek bisa berasal dari pengaruh teman. Anak
yang tidak menyontek ketika teman-teman lain melakukannya dicap sok suci,
tidak solider dan bisa-bisa dikucilkan teman. Di sinilah fungsi guru amat
diperlukan, terutama wali kelas. Kejujuran harus ditanamkan dari awal,
membuat semacam kontrak kesepakatan antara guru dan siswa sebelum pelajaran
dimulai pada awal semester.
Menutup
peluang praktik menyontek dalam ujian telah dilakukan dengan berbagai cara.
Bahkan dalam konteks UN kemungkinan adanya kebocoran soal dan praktik curang
diantisipasi dengan pengamanan superketat. Dengan 20 varian soal yang
ber-barcode dalam satu kelas (saya kira ini rekor dunia), dijaga oleh 2
pengawas dengan prosedur standar
pengawasan yang jelas, rasanya tidak mungkin terjadi kecurangan.
Faktanya tetap saja ada rumor kebocoran soal.
Untuk
mengeliminasi kecurangan dalam ujian saya kira faktor siswa sebagai pelaku
ujian itu yang pertama-tama harus dibenahi. Kata kuncinya adalah pendidikan
karakter. Bisa jadi selama ini pendidikan hanya diarahkan mengajarkan
pengetahuan yang mengandalkan ranah kognitif yang capaiannya mudah diukur dan
kemudian dikenali lewat angka-angka dalam rapor.
Betapa
hebat angka nilai sehingga dianggap mampu menggambarkan kualitas diri seorang
siswa dengan menafikan potensi lain. Ini sama saja kita mengingkari kodrat anak sebagai ciptaan Tuhan yang
masing-masing punya talenta berbeda. Sudah saatnya pemerintah meninjau ulang
format ujian nasional bila masih akan terus diberlakukan.
Bentuk
soal pilihan ganda telah membuka peluang berbuat curang dengan gampang. Di
samping itu, tipe soal tersebut tidak mungkin
mengukur kemampuan anak secara komprehensif, meliputi penilaian sikap,
pengetahuan, dan keterampilan. Capaian pembelajaran bukan hanya berupa
pengetahuan melainkan juga keterampilan dan terlebih sikap dan perilaku yang
sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar