Pertemuan
Informal Asia Tenggara
Rene
L Pattiradjawane ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS,
14 Mei 2014
JURU
bicara Kementerian Luar Negeri RRT, Hua Chunying, awal pekan ini, mengatakan,
insiden tabrakan di Kepulauan Paracel antara kapal Tiongkok dan Vietnam yang
melibatkan puluhan kapal kedua negara, termasuk kapal perang, tak perlu
menjadi kekhawatiran ASEAN. Tak ada yang baru dalam posisi Beijing atas klaim
tumpang tindih kedaulatan di wilayah tersebut.
Sudah
lama Beijing berperilaku sebagai yi lao da ziju, bersikap seperti anak tertua
dan menjadi ”jagoan” terhadap negara-negara anggota ASEAN. Memisahkan posisi
ASEAN dari persoalan klaim tumpang tindih negara-negara anggotanya menjadi
cerminan bagaimana RRT berupaya menghilangkan ”muka” ASEAN dan sekaligus
melakukan balkanisasi, melemahkan kohesi organisasi regional ini.
Kita
khawatir keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di KTT Ke-24 ASEAN di
Naypyidaw, Myanmar, untuk menjadi penghubung dan mengutus Menlu Marty
Natalegawa menemui Menlu RRT Wang Yi tak akan mendorong terjadinya perubahan.
Tiongkok sendiri tak mau bertemu Vietnam setelah insiden itu, apa yang akan
mendorong mereka berubah dan mau berbicara dengan Menlu RI?
Ada dua
faktor upaya ini akan kandas. Pertama, Beijing akan mengatakan kepada Menlu
Marty bahwa Pemerintah Tiongkok menilai ”sekarang
bukanlah waktu yang tepat untuk bertemu” sama seperti yang disampaikan ke
PM Vietnam Nguyen Tan Dung. Kedua, Tiongkok-Vietnam selama ini memiliki
hubungan baik serta menata pertikaian maritimnya secara damai.
Sejak
tahun 2011, kedua negara memiliki perjanjian prinsip-prinsip dasar
penyelesaian persoalan maritim, termasuk membuka komunikasi hotline
antarpemerintahan serta membuat beberapa kelompok kerja tentang demarkasi
maritim di kawasan. Faktor ini menunjukkan, Indonesia tak akan siap
menjembatani pertikaian maritim di Kepulauan Paracel, yang oleh RRT selama
ini dianggap tak memiliki pertikaian apa pun.
Insiden
tabrak kapal ini adalah insiden politik. Bukan persoalan ekonomi yang
mendorong RRT menghadirkan badan usaha negara China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) dan akan
menghabiskan 1 miliar dollar AS di wilayah yang belum tentu menjanjikan
minyak dan gas.
Perspektif
politik RRT itu mengecilkan ASEAN sebagai organisasi politik dan keamanan
kawasan. Hal itu sekaligus bagian dari strategi mendefinisikan klaim
ekspansifnya karena ketidakjelasan klaim teritorialnya yang tak sesuai dengan
UNCLOS, yakni sembilan garis putus-putus yang mengelilingi Kepulauan Paracel,
Spratly, dan bahkan Natuna.
Berhubung
RRT menganggap persoalan ini dalam perspektif politik, Indonesia juga harus
melihat itu dari perspektif politik sebagai ambisi ”kebangkitan Tiongkok yang tidak damai”. Dalam konteks ini, tiba
waktunya bagi Indonesia untuk mempertahankan sentralitas ASEAN dengan
menggelar pertemuan informal yang bisa kita sebut ”Southeast Asia Seven-Party Talk”, memainkan peranan interlocutor.
Presiden
SBY di akhir masa jabatannya perlu segera merumuskan pertemuan informal ini,
seperti yang dilakukan di Kamboja awal 1990-an. Indonesia perlu mengundang
negara-negara pengklaim, yakni Brunei, RRT, Malaysia, Filipina, dan Vietnam,
serta Sekjen ASEAN Le Luong Minh sebagai peninjau, duduk dan bicara solusi
damai yang bisa ditempuh.
Jika
Beijing tak mau datang dan menganggap ”bukan
waktu yang tepat untuk pertemuan informal ini”, biarkan saja. Namun
mereka harus paham bahwa upaya ini bertujuan mempertahankan keutuhan dan
kesatuan menuju konektivitas ASEAN masa depan yang juga jadi bagian tanggung
jawab Tiongkok.
Pertemuan
informal ini tak perlu menjadi agenda resmi organisasi ASEAN. Ini upaya
informal untuk keluar dari kungkungan perspektif politik Tiongkok dan
pembahasan kode tata berperilaku yang sulit mencapai kesepakatan bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar