MERS
Mengintip di Beranda Kita
CA
Nidom ; Anggota Komnas
PINERE Kementerian Kesehatan
|
KOMPAS,
14 Mei 2014
PENYAKIT
Middle East Respiratory Syndrom (MERS) gejalanya mirip dengan influenza,
khususnya flu burung. Tidak aneh jika kemudian disebut flu arab.
Virus
MERS telah menginfeksi 396 orang, 111 meninggal, dan menyebar ke 15 negara
termasuk Asia Tenggara dan Amerika Serikat. Karena sudah masuk Malaysia,
timbul kekhawatiran juga masuk ke Indonesia.
Penyakit
flu burung, baik H5N1 maupun H7N9, belum hilang dari Indonesia, kini penyakit
baru, MERS atau flu arab, sudah mengintip di beranda rumah kita.
Penyakit-penyakit seperti ebola dan hendra menanti giliran.
Tim
peneliti AIRC-UA dan Kementan telah mengidentifikasi adanya antibodi terhadap
virus ebola pada serum orangutan Kalimantan dan mamalia domestik. Bagaimana
dengan kasus infeksi ebola pada orang Indonesia?
Ada
perbedaan cara pandang terhadap demam berdarah antara orang Afrika dan
Indonesia. Orang Afrika mencurigai virus ebola pada setiap kasus demam
berdarah, sedangkan orang Indonesia mencurigai virus dengue pada kasus demam
berdarah.
Satu rumpun
Virus
MERS dan SARS berasal dari golongan Coronaviridae
yang punya empat kelas, yaitu alfa, beta, gama, dan delta. Virus MERS dan
SARS masuk beta bersama virus korona lain dari kelelawar, tikus, babi, dan
sapi.
Seperti
virus korona lain, MERS punya struktur RNA beruntai positif tunggal. Beda
dengan virus flu burung yang beruntai negatif dan berfragmen. Jadi, pola
mutasi MERS lebih lambat dan sederhana. Virus korona hanya bermutasi dengan
tujuan adaptasi. Dengan struktur seperti ini, virus korona tidak berpotensi
saling bertukar genoma. Tidak seperti virus flu yang berpotensi bertukar
fragmen di antara mereka sehingga bisa membentuk subtipe baru dengan tingkat
keganasan yang tidak terduga.
Reseptor,
tempat perlekatan virus MERS berupa DPP-4 (dipeptidyl peptidase-4) atau
dikenal CD-26, sebagian besar terletak pada saluran napas bagian bawah, mulai
dari sel bronkhial sampai sel paru. Lokasi reseptor ini mirip lokasi virus
flu burung sehingga infeksi MERS menyebabkan radang paru akut dan menyulitkan
diagnosis. Jika pengambilan spesimen tidak tepat lokasi dan waktu, bisa
dihasilkan diagnosis negatif palsu. Virus MERS juga bisa ditemukan pada
cairan tubuh seperti darah, urine, dan tinja.
Tingkat
kefatalan (CFR) penyakit MERS (58 persen) berada di antara SARS (10 persen)
dan flu burung (80 persen). Gejala klinis hampir mirip, yaitu terganggunya
pernapasan. Jika infeksi ringan, MERS akan dianggap flu biasa.
Unta juga flu
Mekanisme
penularan virus MERS dari unta ke manusia atau sebaliknya belum diketahui.
Kenyataannya unta juga memiliki reseptor DPP-4, seperti manusia dan kuda,
yang lebih mudah terinfeksi virus MERS dibandingkan kambing dan kelelawar.
Sebetulnya
berdasarkan pada urutan RNA mirip dengan virus MERS dari spesimen unta.
Sampai saat ini belum diumumkan adanya virus MERS yang hidup. Urutan RNA
virus MERS telah ditemukan pada unta di beberapa negara jazirah Arab.
Artinya, dalam tubuh unta pernah atau sedang terjadi replikasi virus meski
hanya RNA yang ditemukan.
Kejadian
ini mirip dengan ditemukan struktur virus flu burung H17N10 dari kelelawar di
Amerika Latin atau virus lloviu, suatu virus mirip ebola yang ditemukan pada
kelelawar di Eropa. Semua ini berkat perkembangan alat diagnosis urai
nukleotida/RNA yang disebut Next Generation Sequencing.
Jadi,
belum ada kejelasan siapa yang menjadi sumber virus MERS, apakah manusia,
unta, kelelawar, kuda, atau spesies lainnya. Namun, berdasarkan pengalaman,
jika suatu virus sudah menular zig-zag dari hewan ke manusia atau sebaliknya,
pengendalian virus akan menjadi sulit. Salah satu cara yang diyakini memutus
rantai adalah pemusnahan hewan pembawa. Mungkinkah memusnahkan unta demi
keselamatan jiwa manusia?
Belajar
dari kejadian flu burung di Indonesia, penyakit ini tetap beredar selama 10
tahun di Indonesia karena tidak ada tindakan pemusnahan sumber virus flu
burung. Unta dan virus MERS di Arab Saudi berisiko jauh lebih tinggi menulari
mengingat adanya kunjungan jemaah umrah dan haji dari seluruh dunia.
Pencegahan
Obat
antiviral khusus MERS belum tersedia. Beberapa negara menganjurkan obat
antiviral alternatif, seperti Ribavirin
dan Peg interferon. Sebetulnya
Indonesia kaya tanaman obat sebagai alternatif pencegahan. Sebagaimana hasil
riset AIRC-UA tentang penggunaan tanaman/ herbal pada flu burung, untuk
mencegah penyakit MERS bisa menggunakan ramuan tradisional seperti
empon-empon (kunyit, jahe, temulawak, lengkuas, dan sebagainya) untuk
meningkatkan respons imun tubuh.
Ada dua
produk perkebunan yang pernah diteliti sebagai antiviral flu burung, yaitu
teh putih (EGWT) dan ekstrak kakao. Keduanya merupakan hasil klon PT Riset
Perkebunan Nusantara melalui Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) Bandung dan
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (PPKKI) Jember. Teh putih dan
ekstrak kakao mampu menetralisasi virus flu burung manusia dengan cara
menghambat virus menempel pada reseptor sel dan meningkatkan respons imun
tubuh.
Selain
menghindari kontak langsung dengan sumber penyakit MERS, para jemaah harus
memakai masker standar (N-95) secara terus-menerus selama di Arab Saudi.
Selain itu, juga sering cuci tangan dan kaki dengan detergen, berhenti
merokok, mengurangi aktivitas bicara, dan menguatkan fungsi kekebalan tubuh.
Sampai
saat ini, vaksin MERS belum tersedia. Ini agak sedikit mengherankan karena
virus MERS muncul sejak 2012.
Sebetulnya
di Indonesia telah dibentuk Forum Komunikasi Peneliti Vaksin Indonesia dengan
para anggota kebanyakan dari perguruan tinggi. Tujuannya untuk saling
menginformasikan platform, model, dan hambatan yang ditemukan mulai dari
aktivitas hulu (riset dasar) sampai pengembangan industri vaksin.
Kemampuan
para peneliti menyiapkan vaksin sudah teruji. AIRC-UA, misalnya, telah
berhasil mengembangkan platform atau model vaksin dengan teknologi Reverse Genetic. Jika sewaktu-waktu
terjadi wabah pandemi flu burung, mereka mampu menyiapkan vaccine seed dalam waktu tak lebih
dari satu bulan.
Demikian
juga platform teknologi vaksin DNA telah dikembangkan oleh tim peneliti
IVHCB-UI. Sekarang tinggal bagaimana memberdayakan para peneliti dalam
menyiapkan platform aplikatif untuk penyakit MERS atau penyakit lain yang
bersifat mendadak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar