Perbudakan
dalam Kapitalis
Radhar
Panca Dahana ; Budayawan
|
SINAR
HARAPAN, 08 Mei 2014
Dalam hidup ekonomi kita belakangan ini yang notabene
mempraktikkan sebuah sistem yang kapitalistik, lebih spesifik menganut aliran
pasar bebas, sebenarnya tersembunyi beberapa skema bahkan skenario yang
ternyata memerangkap para pelakunya, baik produsen dan (terutama) konsumen,
dalam sebuah logika, cara berpikir, bahkan cara hidup yang eksploatatif.
Salah satu contoh dari skema itu adalah kebijakan atau standar
yang jelas-jelas manipulatif, namun sudah dianggap sebuah kewajaran bahkan
alami, semacam “kesukarelaan alami” yang menciptakan kesadaran keliru (fake consciusness). Itu contohnya menjadi budak adalah takdir yang sewajarnya
harus diterima. Budak? Ya, sungguh, budak dalam pengertian etimologis dan
terminologis apa pun, (per)budak(an) yang tercipta secara sistemik.
Kenyataan itu dapat dilukiskan dalam sebuah ilustrasi tentang
seorang pekerja di satu perusahaan. Sebutlah seorang desainer grafis di
sebuah perusahaan iklan, pabrik otomotif, jasa konsultan, media massa, atau campaign management sebuah organisasi
atau partai politik misalnya.
Sebagaimana tenaga kerja (profesional) umumnya, desainer
grafis yang lulus S-1 (fresh graduate)
akan mendapatkan imbalan gaji kurang lebih sama dengan upah minimum regional
(UMR), katakan sekitar Rp 2,5 juta per bulan.
Perhitungan angka itu memiliki dasar normatif saja karena ia
berlaku–entah lewat konsensus apa—pada hampir semua perusahaan. Ini sebuah
penilaian atau perhitungan yang tidak meninjau lebih jauh seberapa
besar/hebat sebenarnya kapasitas, daya kreasi, atau produktivitas dari sang
pegawai/karyawan baru itu.
Semua dipukul rata. Pegawai atau karyawan, sama dengan buruh
umumnya, hanyalah unit yang diukur dalam bentuk digit, sebagaimana item atau
unit komoditas di supermarket.
Sementara itu, dengan kemampuannya sebagai desainer grafis,
bila ia bekerja profesional secara individual atau bisa diukur bila ia
mengerjakan proyek sampingan, ia bisa mendapat bayaran untuk sebuah desain
(entah itu logo, produk/barang, ruang, media promo dan sebagainya) katakanlah,
semurah-murahnya Rp 750.000/desain.
Bila ia bisa menyelesaikan desain itu dalam dua hari,
sebagaimana tugasnya di kantor, dalam kerja profesional-individual itu, sang
desainer bisa memperoleh Rp 750.000x(30 hari:2) = Rp. 12.250.000 tiap bulan,
sekitar lima kali lipat dari gajinya di perusahaan tempatnya bekerja.
Angka Rp 12 juta lebih itulah yang sebenarnya nilai
ekonomis/finansial atau kapitalisasi dari potensi sang pegawai (desainer).
Namun atas dasar norma gaji umum di atas, ia hanya dibayar 20 persen.
Lalu kemana yang 80 persen? Tentu saja, itu menjadi keuntungan
yang diambil atau menjadi bagian “wajar” bahkan legal dari pemilik usaha (owner atau para komisaris perusahaan).
Ini sebuah perhitungan yang mengerikan bila angka itu digandakan baik dalam
kuantitas pekerja/pegawainya maupun modal yang disertakan.
Perbudakan yang Dilegalkan
Perhitungan yang tak akan terpikirkan bukan hanya oleh para
pekerjanya, melainkan juga oleh para eksekutifnya (karena sama-sama menjadi
korban) ini memberi dampak yang luar biasa. Pertama, nilai (ekonomis) para
pegawai/ buruh di seluruh perusahaan atau industri yang beroperasi dalam
sistem legal-konstitusional bernama kapitalisme sebenarnya sudah dirampok 80
persennya oleh para kapitalis atau pemilik modal/usaha.
Kedua, terciptanya kesenjangan pendapatan yang kian melebar
secara pasti di antara para kapitalis (juragan) dengan para pekerja/buru.
Ketika buruh/pekerja hanya mendapat 20 persen dari hasil kerjanya, sang
pemilik memperoleh empat kali lipatnya hanya karena menjadi pemodal usaha.
Keuntungan 400 persen diterima sebagai hal yang wajar dan
“alami” ini menumpuk berlipat-lipat di setiap satuan waktunya, bahkan bila
gaji sang pekerja meningkat di satuan waktu tertentu.
Ketiga, yang dapat dipastikan, bila gaji seorang pekerja,
desainer tadi misalnya, meningkat maka pada saat yang bersamaan, sesungguhnya
kapasitas produktif maupun kreatif dari sang desainer (kapitalisasi dari
nilai kerjanya) turut meningkat.
Entah karena bertambahnya ilmu, wawasan, dan pengalaman, nilai
sebuah desain yang semula Rp 750.000 per buah bisa jadi meningkat menjadi Rp
1 juta atau lebih karena ada pertambahan kualitas artistik, estetik, atau
etiknya. Jadi, gaji yang meningkat hanyalah konsekuensi logis dari
peningkatan kapasitas sang pekerja. Tanpa disadari, keuntungan sang
pemilik/pemodal pun meningkat dalam deret ukur, terus berlimpat empat, empat,
dan seterusnya.
Diktum “yang kaya bertambah kaya dan yang miskin bertambah
miskin” bukan lagi bualan lagu dangdut, melainkan memang menjadi
keniscayaan–bahkan prakondisi—dalam ekonomi/industri yang kapitalistik.
Perhitungan nilai pekerja di atas dapat diistilahkan dengan
terma apa lagi selain, itu semua adalah praktik kekejaman purba yang bernama
perbudakan. Dalam kasus mutakhir di Indonesia, perbudakan primitif itu
ditengarai terjadi dalam sebuah bangunan yang digerebek polisi Kota
Tangerang. Ditemukan dalam bangunan itu puluhan pekerja yang disekap selama
berbulan-bulan untuk bekerja tanpa henti, memproduksi barang tertentu.
Dalam perbudakan primitif ini, walau dengan standar yang sangat
minim, sang juragan tetap harus mengeluarkan biaya makan, minum, sewa tempat,
listrik, kesehatan, dan lain-lain agar budak-budaknya tetap bisa bekerja dan
produktif. Bisa diperkirakan biaya yang minimal itu tidak lebih dari 10
persen dari nilai ekonomi yang dihasilkan para budak. Sisanya, 90 persen,
diambil juragan.
Inilah perbudakan primitif atau purba yang terjadi pada abad
pertengahan hingga abad ke-19 di Amerika Serikat (AS). Lihatlah, angka
perolehan yang didapat sang juragan budak adalah 90 persen dari produtivitas
para budaknya. Angka yang hanya berbeda 10 persen dengan sistem kerja pegawai
dalam ekonomi kapitalistik yang legal dan formal. Apakah angka itu cukup
signifikan untuk menyatakan industri modern yang sah itu sebagai perbudakan
atau sebaliknya. Anda bisa menentukannya sendiri.
Kekelaman Tragis
Namun, yang kemudian menjadi tragedi dari kekelaman perbudakan
kapitalisme itu dan tidak terjadi dalam perbudakan primitif adalah hampir
semua pendapatan dari para pekerja yang sudah kecil itu dihabiskan membeli
produk-produk atau barang konsumsi, plus produk-produk jasa yang berharga
sangat tinggi, dari perusahaan-perusahaan para juragan alias kapitalis atau
pemilik modal/usaha yang tidak lain adalah majikannya. Artinya, uang yang
sedikit itu pun diberikan kembali sebagai biaya production cost dan profit tambahan bagi para juragan.
Lengkap sudah kekelaman itu. Tiada lagi yang tersisa bagi para
karyawan selain letih yang amat sangat, keringat yang tidak kering, persoalan
sehari-hari yang menumpuk, dan kebutuhan yang tiada habisnya.
Oleh karena itu, dengan logika sederhana tentang ketenagakerjaan
ini, sebenarnya kita dapat dengan mudah mafhum cara kapitalisme memang pada
galibnya adalah sebuah arsenal dari elite (modal, feodal, politik,
intelektual, bahkan spiritual) untuk bukan hanya mempertahankan status quo dan comfort zone yang mereka nikmati selama ini, melainkan sekaligus
menimbun kekuatan modal yang juga bermakna menimbun kekuasaan sosial politik
yang mereka miliki selama ini.
Untuk itu, ekses di tingkat publik; antara lain terciptanya
kemiskinan yang niscaya, degradasi kesejahteraan di tingkat grass root yang
menjadi kemestian, hingga perbudakan yang diterima sebagai hal yang taken for granted dan pada akhirnya
pembunuhan terhadap manusia dan kemanusiaannya itu, tidaklah menjadi
pertimbangan mereka, kaum elite.
Bumi yang kian keropos ini seperti diprediksi tidak akan mampu
lagi menampung hajat hidup manusia yang kian serakah, eksploatatif, dan
bertambah jumlahnya secara signifikan. Realitas futuristik itu pada akhirnya
hanya memberi ruang dan peluang yang sangat kecil bagi sebagian kecil manusia
itu untuk bisa survive atau bertahan hidup. Siapakah sebagian kecil dari
masyarakat manusia itu bila bukan: elite, pemilik modal, alias kapitalis
(modal/kapital apa pun).
Akan demikiankah nasib manusia dan kemanusiaan dunia pada
akhirnya? Nasib manusia dan bangsa kita juga? Inilah pekerjaan besar yang
menunggu siapa pun pemimpin yang terpilih memandu negeri dan bangsa ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar