Jumat, 09 Mei 2014

Perbudakan dalam Kapitalis

Perbudakan dalam Kapitalis

Radhar Panca Dahana  ;   Budayawan
SINAR HARAPAN,  08 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Dalam hidup ekonomi kita belakangan ini yang notabene mempraktikkan sebuah sistem yang kapitalistik, lebih spesifik menganut aliran pasar bebas, sebenarnya tersembunyi beberapa skema bahkan skenario yang ternyata memerangkap para pelakunya, baik produsen dan (terutama) konsumen, dalam sebuah logika, cara berpikir, bahkan cara hidup yang eksploatatif.

Salah satu contoh dari skema itu adalah kebijakan atau standar yang jelas-jelas manipulatif, namun sudah dianggap sebuah kewajaran bahkan alami, semacam “kesukarelaan alami” yang menciptakan kesadaran keliru (fake consciusness). Itu contohnya menjadi budak adalah takdir yang sewajarnya harus diterima. Budak? Ya, sungguh, budak dalam pengertian etimologis dan terminologis apa pun, (per)budak(an) yang tercipta secara sistemik.

Kenyataan itu dapat dilukiskan dalam sebuah ilustrasi tentang seorang pekerja di satu perusahaan. Sebutlah seorang desainer grafis di sebuah perusahaan iklan, pabrik otomotif, jasa konsultan, media massa, atau campaign management sebuah organisasi atau partai politik misalnya.

Sebagaimana tenaga kerja (profesional) umumnya, desainer grafis yang lulus S-1 (fresh graduate) akan mendapatkan imbalan gaji kurang lebih sama dengan upah minimum regional (UMR), katakan sekitar Rp 2,5 juta per bulan.

Perhitungan angka itu memiliki dasar normatif saja karena ia berlaku–entah lewat konsensus apa—pada hampir semua perusahaan. Ini sebuah penilaian atau perhitungan yang tidak meninjau lebih jauh seberapa besar/hebat sebenarnya kapasitas, daya kreasi, atau produktivitas dari sang pegawai/karyawan baru itu.

Semua dipukul rata. Pegawai atau karyawan, sama dengan buruh umumnya, hanyalah unit yang diukur dalam bentuk digit, sebagaimana item atau unit komoditas di supermarket.

Sementara itu, dengan kemampuannya sebagai desainer grafis, bila ia bekerja profesional secara individual atau bisa diukur bila ia mengerjakan proyek sampingan, ia bisa mendapat bayaran untuk sebuah desain (entah itu logo, produk/barang, ruang, media promo dan sebagainya) katakanlah, semurah-murahnya Rp 750.000/desain.

Bila ia bisa menyelesaikan desain itu dalam dua hari, sebagaimana tugasnya di kantor, dalam kerja profesional-individual itu, sang desainer bisa memperoleh Rp 750.000x(30 hari:2) = Rp. 12.250.000 tiap bulan, sekitar lima kali lipat dari gajinya di perusahaan tempatnya bekerja.

Angka Rp 12 juta lebih itulah yang sebenarnya nilai ekonomis/finansial atau kapitalisasi dari potensi sang pegawai (desainer). Namun atas dasar norma gaji umum di atas, ia hanya dibayar 20 persen.

Lalu kemana yang 80 persen? Tentu saja, itu menjadi keuntungan yang diambil atau menjadi bagian “wajar” bahkan legal dari pemilik usaha (owner atau para komisaris perusahaan). Ini sebuah perhitungan yang mengerikan bila angka itu digandakan baik dalam kuantitas pekerja/pegawainya maupun modal yang disertakan.

Perbudakan yang Dilegalkan

Perhitungan yang tak akan terpikirkan bukan hanya oleh para pekerjanya, melainkan juga oleh para eksekutifnya (karena sama-sama menjadi korban) ini memberi dampak yang luar biasa. Pertama, nilai (ekonomis) para pegawai/ buruh di seluruh perusahaan atau industri yang beroperasi dalam sistem legal-konstitusional bernama kapitalisme sebenarnya sudah dirampok 80 persennya oleh para kapitalis atau pemilik modal/usaha.

Kedua, terciptanya kesenjangan pendapatan yang kian melebar secara pasti di antara para kapitalis (juragan) dengan para pekerja/buru. Ketika buruh/pekerja hanya mendapat 20 persen dari hasil kerjanya, sang pemilik memperoleh empat kali lipatnya hanya karena menjadi pemodal usaha.

Keuntungan 400 persen diterima sebagai hal yang wajar dan “alami” ini menumpuk berlipat-lipat di setiap satuan waktunya, bahkan bila gaji sang pekerja meningkat di satuan waktu tertentu.

Ketiga, yang dapat dipastikan, bila gaji seorang pekerja, desainer tadi misalnya, meningkat maka pada saat yang bersamaan, sesungguhnya kapasitas produktif maupun kreatif dari sang desainer (kapitalisasi dari nilai kerjanya) turut meningkat.

Entah karena bertambahnya ilmu, wawasan, dan pengalaman, nilai sebuah desain yang semula Rp 750.000 per buah bisa jadi meningkat menjadi Rp 1 juta atau lebih karena ada pertambahan kualitas artistik, estetik, atau etiknya. Jadi, gaji yang meningkat hanyalah konsekuensi logis dari peningkatan kapasitas sang pekerja. Tanpa disadari, keuntungan sang pemilik/pemodal pun meningkat dalam deret ukur, terus berlimpat empat, empat, dan seterusnya.

Diktum “yang kaya bertambah kaya dan yang miskin bertambah miskin” bukan lagi bualan lagu dangdut, melainkan memang menjadi keniscayaan–bahkan prakondisi—dalam ekonomi/industri yang kapitalistik.

Perhitungan nilai pekerja di atas dapat diistilahkan dengan terma apa lagi selain, itu semua adalah praktik kekejaman purba yang bernama perbudakan. Dalam kasus mutakhir di Indonesia, perbudakan primitif itu ditengarai terjadi dalam sebuah bangunan yang digerebek polisi Kota Tangerang. Ditemukan dalam bangunan itu puluhan pekerja yang disekap selama berbulan-bulan untuk bekerja tanpa henti, memproduksi barang tertentu.

Dalam perbudakan primitif ini, walau dengan standar yang sangat minim, sang juragan tetap harus mengeluarkan biaya makan, minum, sewa tempat, listrik, kesehatan, dan lain-lain agar budak-budaknya tetap bisa bekerja dan produktif. Bisa diperkirakan biaya yang minimal itu tidak lebih dari 10 persen dari nilai ekonomi yang dihasilkan para budak. Sisanya, 90 persen, diambil juragan.

Inilah perbudakan primitif atau purba yang terjadi pada abad pertengahan hingga abad ke-19 di Amerika Serikat (AS). Lihatlah, angka perolehan yang didapat sang juragan budak adalah 90 persen dari produtivitas para budaknya. Angka yang hanya berbeda 10 persen dengan sistem kerja pegawai dalam ekonomi kapitalistik yang legal dan formal. Apakah angka itu cukup signifikan untuk menyatakan industri modern yang sah itu sebagai perbudakan atau sebaliknya. Anda bisa menentukannya sendiri.

Kekelaman Tragis

Namun, yang kemudian menjadi tragedi dari kekelaman perbudakan kapitalisme itu dan tidak terjadi dalam perbudakan primitif adalah hampir semua pendapatan dari para pekerja yang sudah kecil itu dihabiskan membeli produk-produk atau barang konsumsi, plus produk-produk jasa yang berharga sangat tinggi, dari perusahaan-perusahaan para juragan alias kapitalis atau pemilik modal/usaha yang tidak lain adalah majikannya. Artinya, uang yang sedikit itu pun diberikan kembali sebagai biaya production cost dan profit tambahan bagi para juragan.

Lengkap sudah kekelaman itu. Tiada lagi yang tersisa bagi para karyawan selain letih yang amat sangat, keringat yang tidak kering, persoalan sehari-hari yang menumpuk, dan kebutuhan yang tiada habisnya.

Oleh karena itu, dengan logika sederhana tentang ketenagakerjaan ini, sebenarnya kita dapat dengan mudah mafhum cara kapitalisme memang pada galibnya adalah sebuah arsenal dari elite (modal, feodal, politik, intelektual, bahkan spiritual) untuk bukan hanya mempertahankan status quo dan comfort zone yang mereka nikmati selama ini, melainkan sekaligus menimbun kekuatan modal yang juga bermakna menimbun kekuasaan sosial politik yang mereka miliki selama ini.

Untuk itu, ekses di tingkat publik; antara lain terciptanya kemiskinan yang niscaya, degradasi kesejahteraan di tingkat grass root yang menjadi kemestian, hingga perbudakan yang diterima sebagai hal yang taken for granted dan pada akhirnya pembunuhan terhadap manusia dan kemanusiaannya itu, tidaklah menjadi pertimbangan mereka, kaum elite.

Bumi yang kian keropos ini seperti diprediksi tidak akan mampu lagi menampung hajat hidup manusia yang kian serakah, eksploatatif, dan bertambah jumlahnya secara signifikan. Realitas futuristik itu pada akhirnya hanya memberi ruang dan peluang yang sangat kecil bagi sebagian kecil manusia itu untuk bisa survive atau bertahan hidup. Siapakah sebagian kecil dari masyarakat manusia itu bila bukan: elite, pemilik modal, alias kapitalis (modal/kapital apa pun).

Akan demikiankah nasib manusia dan kemanusiaan dunia pada akhirnya? Nasib manusia dan bangsa kita juga? Inilah pekerjaan besar yang menunggu siapa pun pemimpin yang terpilih memandu negeri dan bangsa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar