Jumat, 09 Mei 2014

Menjaga Keselamatan Anak

Menjaga Keselamatan Anak

Muhammad Busro ;   Doktor Sosiologi,
Pengarang buku Sosiologi Pendidikan, Dosen STIE Banten
REPUBLIKA,  08 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Bendera setengah tiang untuk keselamatan anak dari predator kejahatan seksual telah berkibar. Jerat hukuman berat bagi pelaku kejahatan terhadap anak telah dipasang. Dukungan terhadap orang tua untuk melaporkan kejahatan seksual yang menimpa anaknya telah dibuka lebar. Bantuan psikologi untuk anak-anak yang menjadi korban sudah disiapkan. Lembaga perlindungan anak sudah siap memberikan advokasi.

Keseriusan negara, polisi, dan penegak hukum lainnya juga telah tampak kompak berpadu menangani kasus ini hingga tuntas. Dengan kata lain, genderang perang melawan penjahat asusila sudah dibunyikan. Namun untuk mengurangi laju tren peningkatan tindakan amoral terhadap anak yang semakin hari semakin brutal, perlu dicarikan jalan keluar penyelesaiannya.

Langkah preventif tersebut, antara lain, pertama, memberikan edukasi peran orang tua era modern melalui kegiatan sosialisasi di berbagai media massa, baik elektronik maupun cetak. Hal ini dilakukan bukan karena orang tua sudah lupa akan peran dan fungsinya, melainkan hanya sekadar sharingbahwa peran orang tua saat ini lebih berat dibandingkan masa lalu. Kewajiban orang tua tidak hanya memenuhi kebutuhan fisik (sandang, pangan), tetapi juga kebutuhan keamanan, kebutuhan sosialisasi, kehormatan, dan aktualisasi diri. Selama ini semua kebutuhan itu sudah dipenuhi orang tua. Hanya saja, kebutuhan rasa aman yang dibutuhkan anak terkadang terlewatkan karena merasa keselamatan mereka telah dijamin.

Kedua, selalu curiga terhadap orang terdekat anak, seperti pengasuh, saudara, teman, tetangga, guru di sekolah, guru les/bimbingan belajar, guru mengaji, dan teman bermainnya. Berbagai kasus memberikan pembelajaran kepada kita bahwa orang terdekatlah yang berpeluang melakukan kekerasan terhadap anak. Dalam proses mencurigai ini, kita sebagai orang tua tidak boleh selalu percaya penuh kepada orang terdekat anak. Hal ini dilakukan dalam upaya posesif dan protektif terhadap anak.

Ketiga, mengajari kepada anak tentang "budaya malu" memperlihatkan anggota tubuh yang sama sekali tidak boleh diperlihatkan, dilihat, dijamah, bahkan disakiti orang lain meskipun sesama jenis kelamin. Anak harus selalu dibiasakan untuk selalu menceritakan apa saja yang terjadi saat di sekolah, tempat bermain, tempat mengaji, dan tempat lain yang tidak mendapat pengawasan orang tua.

Keempat, selalu mengawasi anak tanpa mengurangi kebebasan anak dalam bermain, berekspresi, dan bersosialisasi. Proses pengawasan bisa langsung dan tidak langsung. Pengawasan langsung dilakukan dengan melakukan pengawasan terhadap seluruh perilaku anak. Pengawasan tidak langsung dilakukan dengan berbagai cara, antara lain, dengan cara selalu melakukan komunikasi dengan anak, baik saat berada di luar rumah maupun di dalam rumah.

Nilai anak bagi orang tua sangat bervariasi. Ada anak yang bernilai hanya sekadar untuk membantu orang tua mencari nafkah sehingga setelah anak dewasa langsung diminta bekerja membantu orang tua dalam mencari rezeki. Ada juga nilai anak yang menjadi penerus cita-cita orang tua sehingga anak harus selalu belajar untuk meraih cita-cita tertinggi yang diharapkan orang tua. Ada juga anak yang bernilai untuk menegakkan agama sehing ga anak dimasukkan ke pondok pesantren agar menjadi anak yang shaleh-shalehah, berguna bagi agama, bermasalahat bagi umat.

Seluruh nilai anak yang sangat diharapkan dapat tercapai, terkadang tergadaikan manakala ada pihak lain yang merusak harkat dan martabat anak dengan cara melakukan kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Betapa hancurnya perasaan dan hati orang tua ketika nilai anak yang digadang-gadang luluh lantak, hancur berkeping-keping, di tangan para predator seks yang menyukai anak.

Kehancuran kebanggaan orang tua menjadi alasan yang sangat mahal untuk dinilai. Bahkan, nilai kerugian imaterial yang akan ditanggung anak dirasakan sangat besar dan tidak terhingga. Semua orang mempunyai harapan bahwa tidak akan terjadi sesuatu yang menimpa pada diri anak dan keluarga terdekatnya. Akan tetapi, ketika musibah itu benar-benar telah terjadi pada mereka, tentu kita tidak boleh emosional. Evaluasilah, apakah kita sebagai orang tua telah melaksanakan berbagai upaya preventif sebagaimana telah diuraikan di atas atau belum.

Upaya kuratif yang bisa dilakukan oleh orang tua ketika orang terdekat kita menjadi korban pelecehan seksual atau korban kekerasan lainnya. Pertama, adalah melapor kepada pihak yang berwajib sehingga mampu memberi efek jera kepada pelaku dan tidak ada korban lain yang berjatuhan.

Kedua, memberikan bimbingan psikologis kepada anak agar guncangan psikologis pada anak segera reda dan anak bisa bermain dan menjadi anak yang semestinya. Ketiga, memindahkan anak dari lingkungan pergaulan lamanya ke lingkungan baru yang sama sekali tidak orang lain di lingkungan baru tersebut yang mengetahui bahwa anak ter sebut pernah menjadi korban kekerasan seksual.

Keempat, selalu membangun kepercayaan diri anak bahwa dirinya akan mampu menjadi anak yang kokoh dan mampu mengatasi berbagai permasalahan hidup, bisa berhasil mencapai cita-cita, dan mampu menjadi orang yang beruntung dalam mencari hidup dan kehidupan dunia dan akhirat. Dengan upaya kuratif seperti itu, diharapkan anak yang pernah menjadi korban kekerasan seksual atau korban kekerasan lainnya dapat segera bangkit.

Membaca seluruh uraian di atas, bebagai upaya preventif dan kuratif yang telah dijelaskan di atas hendaknya dapat diterapkan secara saksama sesuai dengan situasi dan kondisi fisik dan psikis anak. Sekali lagi diingatkan bahwa tugas dan tanggung jawab orang tua kepada anak di era yang serbamodern saat ini menjadi semakin berat sehingga orang tua perlu belajar lebih banyak demi keselamatan anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar