Menjaga
Keselamatan Anak
Muhammad
Busro ; Doktor Sosiologi,
Pengarang buku Sosiologi Pendidikan, Dosen STIE Banten
|
REPUBLIKA,
08 Mei 2014
|
Bendera setengah tiang untuk
keselamatan anak dari predator kejahatan seksual telah berkibar. Jerat
hukuman berat bagi pelaku kejahatan terhadap anak telah dipasang. Dukungan
terhadap orang tua untuk melaporkan kejahatan seksual yang menimpa anaknya telah
dibuka lebar. Bantuan psikologi untuk anak-anak yang menjadi korban sudah
disiapkan. Lembaga perlindungan anak sudah siap memberikan advokasi.
Keseriusan negara, polisi,
dan penegak hukum lainnya juga telah tampak kompak berpadu menangani kasus
ini hingga tuntas. Dengan kata lain, genderang perang melawan penjahat
asusila sudah dibunyikan. Namun untuk mengurangi laju tren peningkatan tindakan
amoral terhadap anak yang semakin hari semakin brutal, perlu dicarikan jalan
keluar penyelesaiannya.
Langkah preventif
tersebut, antara lain, pertama, memberikan edukasi peran orang tua era modern
melalui kegiatan sosialisasi di berbagai media massa, baik elektronik maupun
cetak. Hal ini dilakukan bukan karena orang tua sudah lupa akan peran dan
fungsinya, melainkan hanya sekadar sharingbahwa peran orang tua saat ini
lebih berat dibandingkan masa lalu. Kewajiban orang tua tidak hanya memenuhi
kebutuhan fisik (sandang, pangan), tetapi juga kebutuhan keamanan, kebutuhan
sosialisasi, kehormatan, dan aktualisasi diri. Selama ini semua kebutuhan itu
sudah dipenuhi orang tua. Hanya saja, kebutuhan rasa aman yang dibutuhkan
anak terkadang terlewatkan karena merasa keselamatan mereka telah dijamin.
Kedua, selalu curiga
terhadap orang terdekat anak, seperti pengasuh, saudara, teman, tetangga,
guru di sekolah, guru les/bimbingan belajar, guru mengaji, dan teman
bermainnya. Berbagai kasus memberikan pembelajaran kepada kita bahwa orang
terdekatlah yang berpeluang melakukan kekerasan terhadap anak. Dalam proses
mencurigai ini, kita sebagai orang tua tidak boleh selalu percaya penuh
kepada orang terdekat anak. Hal ini dilakukan dalam upaya posesif dan
protektif terhadap anak.
Ketiga, mengajari kepada
anak tentang "budaya malu" memperlihatkan anggota tubuh yang sama
sekali tidak boleh diperlihatkan, dilihat, dijamah, bahkan disakiti orang
lain meskipun sesama jenis kelamin. Anak harus selalu dibiasakan untuk selalu
menceritakan apa saja yang terjadi saat di sekolah, tempat bermain, tempat
mengaji, dan tempat lain yang tidak mendapat pengawasan orang tua.
Keempat, selalu mengawasi
anak tanpa mengurangi kebebasan anak dalam bermain, berekspresi, dan bersosialisasi.
Proses pengawasan bisa langsung dan tidak langsung. Pengawasan langsung dilakukan
dengan melakukan pengawasan terhadap seluruh perilaku anak. Pengawasan tidak
langsung dilakukan dengan berbagai cara, antara lain, dengan cara selalu
melakukan komunikasi dengan anak, baik saat berada di luar rumah maupun di
dalam rumah.
Nilai anak bagi orang tua
sangat bervariasi. Ada anak yang bernilai hanya sekadar untuk membantu orang
tua mencari nafkah sehingga setelah anak dewasa langsung diminta bekerja membantu
orang tua dalam mencari rezeki. Ada juga nilai anak yang menjadi penerus
cita-cita orang tua sehingga anak harus selalu belajar untuk meraih cita-cita
tertinggi yang diharapkan orang tua. Ada juga anak yang bernilai untuk
menegakkan agama sehing ga anak dimasukkan ke pondok pesantren agar menjadi
anak yang shaleh-shalehah, berguna bagi agama, bermasalahat bagi umat.
Seluruh nilai anak yang
sangat diharapkan dapat tercapai, terkadang tergadaikan manakala ada pihak
lain yang merusak harkat dan martabat anak dengan cara melakukan kekerasan,
termasuk kekerasan seksual. Betapa hancurnya perasaan dan hati orang tua
ketika nilai anak yang digadang-gadang luluh lantak, hancur berkeping-keping,
di tangan para predator seks yang menyukai anak.
Kehancuran kebanggaan
orang tua menjadi alasan yang sangat mahal untuk dinilai. Bahkan, nilai
kerugian imaterial yang akan ditanggung anak dirasakan sangat besar dan tidak
terhingga. Semua orang mempunyai harapan bahwa tidak akan terjadi sesuatu
yang menimpa pada diri anak dan keluarga terdekatnya. Akan tetapi, ketika
musibah itu benar-benar telah terjadi pada mereka, tentu kita tidak boleh
emosional. Evaluasilah, apakah kita sebagai orang tua telah melaksanakan
berbagai upaya preventif sebagaimana telah diuraikan di atas atau belum.
Upaya kuratif yang bisa
dilakukan oleh orang tua ketika orang terdekat kita menjadi korban pelecehan
seksual atau korban kekerasan lainnya. Pertama, adalah melapor kepada pihak
yang berwajib sehingga mampu memberi efek jera kepada pelaku dan tidak ada
korban lain yang berjatuhan.
Kedua, memberikan
bimbingan psikologis kepada anak agar guncangan psikologis pada anak segera
reda dan anak bisa bermain dan menjadi anak yang semestinya. Ketiga,
memindahkan anak dari lingkungan pergaulan lamanya ke lingkungan baru yang
sama sekali tidak orang lain di lingkungan baru tersebut yang mengetahui
bahwa anak ter sebut pernah menjadi korban kekerasan seksual.
Keempat, selalu membangun
kepercayaan diri anak bahwa dirinya akan mampu menjadi anak yang kokoh dan
mampu mengatasi berbagai permasalahan hidup, bisa berhasil mencapai cita-cita,
dan mampu menjadi orang yang beruntung dalam mencari hidup dan kehidupan
dunia dan akhirat. Dengan upaya kuratif seperti itu, diharapkan anak yang
pernah menjadi korban kekerasan seksual atau korban kekerasan lainnya dapat
segera bangkit.
Membaca seluruh uraian di
atas, bebagai upaya preventif dan kuratif yang telah dijelaskan di atas hendaknya
dapat diterapkan secara saksama sesuai dengan situasi dan kondisi fisik dan
psikis anak. Sekali lagi diingatkan bahwa tugas dan tanggung jawab orang tua
kepada anak di era yang serbamodern saat ini menjadi semakin berat sehingga
orang tua perlu belajar lebih banyak demi keselamatan anak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar