Penanganan
Kasus JIS
Irwanto ;
Guru
Besar Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta
|
KOMPAS,
09 Mei 2014
KASUS kekerasan seksual yang menimpa seorang siswa prasekolah Jakarta
International School telah membangkitkan kemarahan publik. Kekerasan seksual
terhadap anak atau siapa pun adalah bentuk kekerasan yang tidak dapat
ditoleransi.
Presiden Barack Obama bahkan pernah menyatakan akan menyetujui
hukuman mati untuk predator seksual yang menyasar anak-anak. Meski kasusnya
mendidihkan emosi banyak pihak, orang ataupun pihak yang menangani kasus ini
seharusnya bisa lebih bijaksana dan tahu batas-batas etik dan moral dalam
tindakan mereka.
Awalnya terkesan JIS tak terbuka dan tak kooperatif sehingga
jadi bulan-bulanan media yang cenderung sensasional. Media cenderung lebih
tertarik membuat konstruksi sosial JIS sebagai sarang penyamun dan sekolah
orang kaya yang tak bertangung jawab. Tanggapan JIS juga tak menolong,
apalagi ketika di TV One seorang ahli hukum bertingkah lebih sebagai preman
daripada pengacara berwawasan hukum rasional.
Sampai hari ini perkembangan penanganan kasus tak membaik,
justru merugikan semua pihak, terutama anak-anak. Aktivis tak memberi contoh
best practice, tetapi kerancuan berpikir.
”Best interest of the child”
Prinsip paling mendasar dalam upaya perlindungan anak adalah ”kepentingan terbaik untuk anak”, the best interest of the child, yang
diatur dalam UU Perlindungan Anak No 23/2002 dan Konvensi PBB tentang Hak-hak
Anak. Dalam kasus JIS, yang dimaksud dengan anak adalah korban (berapa pun
jumlahnya) dan semua anak yang bersekolah di sekolah itu. Semua anak ini
punya hak sama dilindungi. Bagi korban, perlindungan berarti membantu menjaga
kerahasiaan pribadinya, menentukan dan menyediakan bantuan mental-psikologis
terbaik, dan tetap dapat melanjutkan pendidikannya.
Bagi anak-anak lain, perlindungan berarti melindungi rasa aman
dan nyaman mereka dengan mencegah teror berita dan ancaman nyata dari publik
yang berpotensi merusak hidup mereka, memastikan bahwa predator sudah
benar-benar tak ada di sekolah mereka, dan memperoleh hak mereka tetap dapat
bersekolah di tempat yang mereka pilih. Yang terjadi dengan pemberitaan
negatif terus-menerus terhadap guru dan administratur sekolah disertai dengan
aksi keimigrasian (yang tentu terlambat) menyebabkan ketakutan dan mengganggu
kinerja mereka memberi pelayanan terbaik bagi anak-anak di sekolah.
Aspek buruk dari pemberitaan sampai saat ini adalah pencitraan bahwa
JIS sebagai sekolah berbau asing dan sekolah orang-orang kaya sehingga
”dibiarkan” di-bully publik.
Sekolah mahal di Jakarta bukan hanya JIS. Banyak sekolah milik swasta
nasional yang harganya fantastis. Namun, itu tak menyebabkan mereka jadi
sekolah sarang penyamun. Anak-anak yang bersekolah di sekolah itu punya hak
sama dihargai dan memperoleh kesempatan mengoptimalkan hasil belajar mereka.
Membiarkan kasus JIS ditangani seperti ini menunjukkan bahwa di
negeri ini seolah-olah tak ada yang paham tentang arti ”perlindungan anak”
itu sendiri. Apalagi jika pihak tertentu mendorong ditutupnya sekolah ini,
baik birokrat maupun aktivis di negeri ini benar-benar tak paham akan esensi
perlindungan anak dan the best interest of the child. Tindakan yang
mendeskreditkan institusi pendidikan ini hanya berbasis kategori sosial
ekonomi dan keinternasionalannya membuat kita harus becermin siapa diri kita
sebenarnya.
Kembali ke persoalan utama. Jika pendekatan atau pengelolaan
kasus terus seperti ini, persoalan yang paling utama akan terabaikan.
Akibatnya, anak-anak dan keluarga mereka yang akan dirugikan.
Persoalan utama dalam kasus ini adalah mencari predator seksual
dan (kalau ada) jaringan mereka. Tak hanya di sekolah ini. Di mana pun.
Karena itu, yang berwenang adalah kepolisian. Pihak sekolah dan yayasannya
serta orangtua harus menunjukkan sikap kooperatif sepenuhnya.
Bagaimana penyidikan dapat dilakukan dengan baik jika semua
pihak (termasuk aktivis perlindungan anak) bertindak seolah-olah mereka juga
polisi? Kehebohan penyidikan inilah yang menyebabkan predator kabur dan
mereka akan menertawai para penyidik dan ”berterima kasih” bagi yang ikut
menghebohkan kasus ini karena tidak perlu susah payah mencari informasi untuk
menyelamatkan diri.
Hal sama mungkin terjadi di sekolah dan yayasan. Bagaimana
mereka dapat berkonsentrasi membantu kepolisian jika seba- gian besar waktu
mereka habis untuk melayani pemberitaan pihak lain yang menyudutkan dan
menghancurkan citra mereka? Penyelidikan kriminal perlu suasana kontemplatif
dan rasa aman bagi yang membantu penyidikan. Ini tak terjadi dalam kasus JIS.
Persoalan utama berikutnya tentulah kesejahteraan korban dan
anak-anak yang bersekolah di JIS. Bagi korban yang telah terbuka, diperlukan
tindakan mental-psikologis segera. Bagi korban lain yang belum terbuka,
dibutuhkan suasana aman dan penjaminan kerahasiaan untuk ikut membantu
penyidikan. Suasana yang dibangun media, KPAI, dan Komnas Anak dapat memicu
pengalaman traumatik bagi anak-anak yang tak terlibat, reaksi trauma sekunder
bagi yang telah menjadi korban, dan ketakutan/kecemasan yang tinggi bagi
pengasuh, guru, dan orangtua anak-anak lainnya.
Kerja sama semua pihak
Saat ini yang diperlukan adalah kerja sama semua pihak. Pihak
sekolah harus memperoleh jaminan bahwa keberlangsungan belajar-mengajar
mereka tak terganggu. Persoalan perizinan jelas tidak hanya persoalan JIS
saja tetapi juga banyak sekolah lain. Kemdikbud tak dapat sekadar menunjukkan
jarinya saja kepada JIS karena jari yang sama harus menunjuk hidung sendiri
yang lalai. Untuk mendorong sikap kooperatif sepenuhnya, kenyamanan dan
keamanan sekolah perlu dikembalikan dan dijamin aparatur.
Lembaga HAM berbasis isu anak perlu mengkaji ulang tindakan
mereka. Yang harus mere- ka lindungi adalah semua anak, bukan satu-dua anak.
Mereka membantu JIS dan kepolisian dengan pengetahuan mereka menemukan
predator dan akar- akarnya di republik ini. Mereka membantu memberi jaminan
rasa aman dan kerahasiaan yang diperlukan bagi keluarga yang kemungkinan
anak-anaknya juga jadi korban untuk mau membantu penyidikan.
Orangtua mendorong sekolah sepenuhnya kooperatif, bahkan meminta
wakil orangtua disertakan dalam penyidikan. Orangtua harus bersatu memberikan
dukungan terhadap orangtua korban dan si korban. Semua pihak yang tak
bersalah dilindungi dan yang bersalah dipersempit ruang geraknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar