Minggu, 11 Mei 2014

Pemilu Bersih Masih Jauh

Pemilu Bersih Masih Jauh

Ahmad Halim  ;   Bekerja di Bawaslu
KORAN JAKARTA,  09 Mei 2014

                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
Rekapitulasi surat suara di tingkat Komisi Pemilihan Umum (KPU) nasional sedang berjalan dan molor karena banyak interupsi para saksi partai politik (parpol) yang menduga ada penggelembungan suara di setiap kabupaten/kota.

Maka, rapat pleno yang seharusnya berjalan cepat, kali ini alot. Di sisi lain, hasil hitung cepat (quick count) sudah lebih dulu menyimpulkan lima besar partai peraih suara terbanyak. Mereka adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Demokrat, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Partai politik papan tengah, seperti Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), juga sudah diketahui perolehan cepatnya.

Yang tidak lolos ambang batas parlemen adalah Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) serta Partai Bulan Bintang (PBB). Saat ini, parpol yang lolos masuk parlemen menurut quick count sudah mulai menyelesaikan penjajakan kerja sama (koalisi) demi memenuhi ambang batas (presidential threshold) agar bisa mengusung kandidat calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) yang diinginkan partai koalisi. Menurut peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2014, pemilihan presiden dan wakil presiden diselenggarakan pada 9 Juli 2014.

Kesibukan menjalin kerja sama antarparpol mungkin mengakibatkan para petinggi lupa menilai kualitas penyelenggaraan pemilu legislatif pada 9 April 2014 lalu. Belum ada satu pun parpol yang mengomentari atau menanggapi keefektifan pelaksanaan pemilu atau justru lebih buruk dari pemilu-pemilu sebelumnya.

Ada dua bentuk kecurangan yang paling menonjol pada pemilihan umum anggota legislatif (pileg) tahun ini, yaitu penggelembungan suara seperti yang terjadi pada beberapa tempat pemungutan suara (TPS) di wilayah Sulawesi. Penyelenggara pemilu terindikasi membiarkan masyarakat dari segala lapisan umur mencoblos kertas suara untuk salah satu calon legislatif (caleg) tanpa berusaha menghalangi. Beberapa petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) ditengarai bertemu caleg di sebuah hotel untuk mengubah hasil penghitungan suara melalui form model C1.

Kecurangan kedua adalah praktik politik uang. Indonesia Corruption Watch (ICW) telah merilis 313 temuan dugaan pelanggaran, dengan klasifikasi pemberian uang sebanyak 104 kasus, pemberian barang 128 kasus, pemberian jasa 27 kasus, dan penggunaan fasilitas negara 54 kasus, pada pemilu kali ini lebih tinggi dari Pileg 2009. Kecurangan tersebut terus terulang dari setiap pemilu selama era reformasi. Tentu ini akan melahirkan politik perwakilan yang korup.

Pelajaran penting yang dapat ditarik dari Pemilu 2014 adalah tata kelola pemilu yang melibatkan KPU, Bawaslu, pemerintah, aparat keamanan, peserta pemilu, dan masyarakat masih harus diperbaiki. Boleh dikata elemen-elemen yang bertanggung jawab belum mampu menghadirkan pemilu yang jujur, adil, langsung, bebas, dan rahasia. Cita-cita itu masih jauh dari kenyataan. Ke depan, para penyelenggara pemilu dan pemangku kepentingan masih harus bekerja ekstrakeras untuk mewujudkannya. Pemilu bersih masih utopis.

Meminimalisasi

Harus disadari, praktik kecurangan yang terjadi pada pemilu 2014 dan sebelum-sebelumnya sulit dipecahkan. Bahkan pelanggaran tersebut pada tahun politik kali ini makin melonjak. Semestinya praktik kecurangankecurangan tersebut dapat diatasi atau setidaknya diminimalisasi. Caranya, saat verifikasi parpol diperketat persyaratannya, misalnya harus memiliki kantor permanen dan anggota minimal 25 orang. Hal tersebut sangatlah penting mengingat verifikasi parpol 2014 lalu hanya menyebutkan parpol paling sedikit memiliki tiga anggota (ketua, sekretaris, dan bendahara). Sedangkan kantor sekertariat parpol pun boleh menyewa selama masa pemilu.

Jadi, wajar jika parpol hanya aktif/ hidup pada saat menjelang pemilu. Ini menjadi ”lahan basah” bagi parpol untuk mencari uang dengan menawarkan kendaraan politik ditunggangi asal mau membayar tinggi. Akibatnya, banyak pengusaha ataupun selebritas yang naik kendaraan tersebut menuju parlemen dengan cara membeli nomor urut. Selan itu, komposisi penegak hukum terpadu yang terdiri dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Kejaksaan, dan Kepolisian sesungguhnya kurang tepat karena setiap pelanggaran selalu kandas. Selama ini, dalam memutuskan sebuah perkara, ketiga lembaga tersebut selalu berbeda persepsi dalam menyikapi pelanggaran tindak pidana pemilu. Ini membuat para pelaku selalu bebas dan kembali mengulangi pelanggaran.

Maka, harus ada terobosan baru untuk menegakkan hukum pemilu, misalnya mengganti kepolisian dan kejaksaan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk pidana pemilu. Hal itu akan lebih efektif dalam meminimalisasi pelanggaran pada setiap pemilu mengingat kinerja KPK bisa dibilang sangat memuaskan publik. Dengan begitu, niscaya kecurangan dalam pemilu akan berkurang karena parpol akan menawarkan kader yang berkualitas dan para pelanggar pemilu berkurang. Mudah-mudahan ke depan pelaksana teknis seperti KPU, Bawaslu, dan kader parpol makin berkualitas dalam memperbaiki praktik demokrasi.

Hendaknya masyarakat mengingat kembali cita-cita reformasi 1998 saat menggulingkan Orde Baru karena mau meninggalkan cara-cara kotor seperti korupsi, kolusi, nepotisme, dan manipulasi dalam meraih serta mempertahankan kekuasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar