Pemilu
Bersih Masih Jauh
Ahmad
Halim ; Bekerja di Bawaslu
|
KORAN
JAKARTA, 09 Mei 2014
Rekapitulasi
surat suara di tingkat Komisi Pemilihan Umum (KPU) nasional sedang berjalan dan
molor karena banyak interupsi para saksi partai politik (parpol) yang menduga
ada penggelembungan suara di setiap kabupaten/kota.
Maka,
rapat pleno yang seharusnya berjalan cepat, kali ini alot. Di sisi lain,
hasil hitung cepat (quick count)
sudah lebih dulu menyimpulkan lima besar partai peraih suara terbanyak.
Mereka adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golongan
Karya (Golkar), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Demokrat,
dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Partai politik papan tengah, seperti
Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai
Keadilan Sejahtera (PKS), juga sudah diketahui perolehan cepatnya.
Yang tidak
lolos ambang batas parlemen adalah Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
(PKPI) serta Partai Bulan Bintang (PBB). Saat ini, parpol yang lolos masuk
parlemen menurut quick count sudah
mulai menyelesaikan penjajakan kerja sama (koalisi) demi memenuhi ambang
batas (presidential threshold) agar
bisa mengusung kandidat calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres)
yang diinginkan partai koalisi. Menurut peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2014,
pemilihan presiden dan wakil presiden diselenggarakan pada 9 Juli 2014.
Kesibukan
menjalin kerja sama antarparpol mungkin mengakibatkan para petinggi lupa
menilai kualitas penyelenggaraan pemilu legislatif pada 9 April 2014 lalu.
Belum ada satu pun parpol yang mengomentari atau menanggapi keefektifan
pelaksanaan pemilu atau justru lebih buruk dari pemilu-pemilu sebelumnya.
Ada dua
bentuk kecurangan yang paling menonjol pada pemilihan umum anggota legislatif
(pileg) tahun ini, yaitu penggelembungan suara seperti yang terjadi pada
beberapa tempat pemungutan suara (TPS) di wilayah Sulawesi. Penyelenggara
pemilu terindikasi membiarkan masyarakat dari segala lapisan umur mencoblos
kertas suara untuk salah satu calon legislatif (caleg) tanpa berusaha
menghalangi. Beberapa petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS)
ditengarai bertemu caleg di sebuah hotel untuk mengubah hasil penghitungan
suara melalui form model C1.
Kecurangan
kedua adalah praktik politik uang. Indonesia Corruption Watch (ICW) telah
merilis 313 temuan dugaan pelanggaran, dengan klasifikasi pemberian uang
sebanyak 104 kasus, pemberian barang 128 kasus, pemberian jasa 27 kasus, dan
penggunaan fasilitas negara 54 kasus, pada pemilu kali ini lebih tinggi dari
Pileg 2009. Kecurangan tersebut terus terulang dari setiap pemilu selama era
reformasi. Tentu ini akan melahirkan politik perwakilan yang korup.
Pelajaran
penting yang dapat ditarik dari Pemilu 2014 adalah tata kelola pemilu yang
melibatkan KPU, Bawaslu, pemerintah, aparat keamanan, peserta pemilu, dan
masyarakat masih harus diperbaiki. Boleh dikata elemen-elemen yang
bertanggung jawab belum mampu menghadirkan pemilu yang jujur, adil, langsung,
bebas, dan rahasia. Cita-cita itu masih jauh dari kenyataan. Ke depan, para
penyelenggara pemilu dan pemangku kepentingan masih harus bekerja ekstrakeras
untuk mewujudkannya. Pemilu bersih masih utopis.
Meminimalisasi
Harus
disadari, praktik kecurangan yang terjadi pada pemilu 2014 dan
sebelum-sebelumnya sulit dipecahkan. Bahkan pelanggaran tersebut pada tahun
politik kali ini makin melonjak. Semestinya praktik kecurangankecurangan
tersebut dapat diatasi atau setidaknya diminimalisasi. Caranya, saat
verifikasi parpol diperketat persyaratannya, misalnya harus memiliki kantor
permanen dan anggota minimal 25 orang. Hal tersebut sangatlah penting
mengingat verifikasi parpol 2014 lalu hanya menyebutkan parpol paling sedikit
memiliki tiga anggota (ketua, sekretaris, dan bendahara). Sedangkan kantor
sekertariat parpol pun boleh menyewa selama masa pemilu.
Jadi,
wajar jika parpol hanya aktif/ hidup pada saat menjelang pemilu. Ini menjadi
”lahan basah” bagi parpol untuk mencari uang dengan menawarkan kendaraan
politik ditunggangi asal mau membayar tinggi. Akibatnya, banyak pengusaha
ataupun selebritas yang naik kendaraan tersebut menuju parlemen dengan cara
membeli nomor urut. Selan itu, komposisi penegak hukum terpadu yang terdiri
dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Kejaksaan, dan Kepolisian sesungguhnya
kurang tepat karena setiap pelanggaran selalu kandas. Selama ini, dalam
memutuskan sebuah perkara, ketiga lembaga tersebut selalu berbeda persepsi
dalam menyikapi pelanggaran tindak pidana pemilu. Ini membuat para pelaku
selalu bebas dan kembali mengulangi pelanggaran.
Maka,
harus ada terobosan baru untuk menegakkan hukum pemilu, misalnya mengganti
kepolisian dan kejaksaan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk
pidana pemilu. Hal itu akan lebih efektif dalam meminimalisasi pelanggaran
pada setiap pemilu mengingat kinerja KPK bisa dibilang sangat memuaskan
publik. Dengan begitu, niscaya kecurangan dalam pemilu akan berkurang karena
parpol akan menawarkan kader yang berkualitas dan para pelanggar pemilu
berkurang. Mudah-mudahan ke depan pelaksana teknis seperti KPU, Bawaslu, dan
kader parpol makin berkualitas dalam memperbaiki praktik demokrasi.
Hendaknya
masyarakat mengingat kembali cita-cita reformasi 1998 saat menggulingkan Orde
Baru karena mau meninggalkan cara-cara kotor seperti korupsi, kolusi,
nepotisme, dan manipulasi dalam meraih serta mempertahankan kekuasaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar