Penguatan
Kapasitas Kelembagaan
FX
Sugiyanto ; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
(FEB) Universitas Diponegoro
|
SUARA
MERDEKA, 07 Mei 2014
|
RENDAHNYA
kapasitas kelembagaan merupakan penyebab rendahnya tingkat kemudahan
menjalankan bisnis di Indonesia. Demikian gambaran besar yang tertuang dalam Doing Business (DB) 2014.
Laporan
itu memberi konfirmasi atas hasil survei World
Economic Forum (WEF) 2013-2014 yang menyimpulkan hal sama. Walaupun
kesimpulan dua survei badan dunia tersebut sama, keduanya berangkat dari
basis data berbeda. Jika WEF mendasarkan analisnya lebih pada persepsi para
pelaku bisnis dan data makroekonomi, analisis DB 2014 mendasarkan data mikro
yang mencakup prosedur dan mekanisme perizinan usaha, biaya perizinan dan
regulasi yang terkait dengan usaha menjalankan bisnis.
Meningkatnya
kompleksitas manajemen makroekonomi memerlukan penguatan dan peningkatan
kapasitas kelembagaan secara memadai dan kontinu. Kapasitas kelembagaan bukan
hanya mencakup institusi yang efisien melainkan juga staf birokrasi yang
berkualitas, serta regulasi yang kuat dan sehat. Kapasitas kelembagaan yang
memadai dapat menjamin ketercapaian stabilitas perekonomian, baik melalui
pengelolaan fiskal maupun moneter yang sehat dan relevan.
Pada
aras mikroekonomi, penguatan dan peningkatan kapasitas kelembagaan dapat
meningkatkan kemudahan menjalankan usaha sehingga sektor swasta menjadi lebih
sehat. Keduanya bermuara pada kemeningkatan daya saing perekonomian. Survei
yang dilakukan Bank Dunia juga menunjukkan korelasi kuat antara tingkat
kemudahan menjalankan bisnis dan tingkat daya saing ekonomi (World Bank: Doing Business 2014). Isu
kelembagaan ini memang sangat serius bagi Indonesia.
World Economic Forum (WEF)
dalam laporannya tahun 2014 menyebut penyebab terbesar rendahnya daya saing
ekonomi Indonesia adalah birokrasi yang tidak efisien dan tingkat korupsi
tinggi. Pebisnis melihat ada 5 masalah penghambat utama, yaitu korupsi
(19,3%), birokrasi pemerintahan yang tidak efisien (15%), kurangnya
infrastruktur (9,1%), kurangnya akses mendapatkan modal (6,9%), dan peraturan
ketenagakerjaan yang restriktif (6,3%).
Faktor Kelembagaan
Empat
dari lima masalah utama tersebut, kecuali infrastruktur adalah
masalah-masalah faktor kelembagaan. Tidak heran jika WEF menempatkan posisi
daya saing Indonesia pada urutan ke-138 dari 187 negara. Pada aras
mikroekonomi, tingkat kemudahan menjalankan bisnis di Indonesia juga sangat
rendah (World Bank: Doing Business 2014).
Posisi
Indonesia ada pada urutan ke-120 dari 189 negara yang disurvei; jauh di bawah
Singapura (1), Malaysia (6), Thailand (18), Tiongkok (96), Vietnam (99), dan
Filipina (108). Hasil survei DB 2014 yang berbasis pada data kuantitatif
mengonfirmasi hasil survei daya saing yang berbasis pada data persepsi
lingkungan bisnis oleh WEF.
Ada
korelasi kuat dan signifikan antara posisi EDP dan posisi daya saing global
yang dilakukan WEF. Makin baik dan berkualitas aspek-aspek terkait dengan
indikator EDB akan makin tinggi kualitas lingkungan bisnis dan daya saing
perekonomian.
Penguatan
dan peningkatan kapasitas kelembagaan setidak-tidaknya berfokus pada tiga
faktor yaitu pengefisienan institusi melalui penyederhanaan prosedur dan
percepatan proses pelayanan, penurunan biaya transaksi dalam pelayanan
melalui pengurangan jenis pungutan dan penghapusan pungutan yang tak relevan,
serta penyehatan regulasi sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan lingkungan
usaha.
Pertama;
buruk dan tidak efisiennya institusi di Indonesia tampak dari masih berbelit
dan panjangnya rantai birokrasi, serta lambatnya pelayanan. Kondisi itu
ditunjukkan oleh banyaknya tahapan dan prosedur dalam mengurus berbagai
perizinan. Adapun lambatnya pelayanan terlihat dari hari yang dibutuhkan
untuk mengurus berbagai perizinan.
Dalam 10
tahun terakhir memang sudah ada perubahan berarti. Dalam hal memulai bisnis
misalnya, jumlah tahapan perizinan sudah berkurang dari 12 menjadi 10, dan
lama pengurusan sudah berkurang dari rata-rata 168 hari menjadi 48 hari. Tapi
perbaikan tersebut masih jauh lebih lambat bila dibandingkan dengan beberapa
negara tetangga.
Mengacu
pada hasil survei EDP 2014, tiap memulai usaha masih diperlukan ratarata 10
tahapan perizinan dan waktu ratarata 48 hari. Kita bisa membandingkan dengan
Singapura yang hanya memerlukan 3 tahapan dan waktu rata-rata 2,5 hari,
Thailand 4 tahapan dan waktu ratarata 27,5 hari, bahkan Malaysia hanya perlu
3 tahapan dan waktu rata-rata 6 hari. Pengurusan izin konstruksi di Indonesia
perlu 13 tahapan dan waktu rata-rata 158 hari. Kedua; kepastian dan besarnya
biaya transaksi atau pungutan.
Biaya
mengurus perizinan di Indonesia, selain masih sangat tinggi juga banyak
jenisnya, bahkan sering ditemukan biaya di luar ketentuan resmi. Untuk
memulai bisnis di Indonesia masih diperlukan biaya resmi rata-rata 20,5%
pendapatan per kapita. Bandingkan dengan Singapura yang hanya 0,6%, Thailand
hanya 6,7% dan Malaysia hanya 7,6% dari pendapatan per kapita masing-masing
negara. Ketiga; regulasi yang kuat dan sehat.
Premis
dasar dalam menjalankan usaha adalah adanya regulasi yang baik. Peran
pemerintah bukan meniadakan aturan melainkan memastikan berlakunya aturan
yang baik dan sehat. Regulasi yang kuat dan sehat seharusnya SMART; sederhana
dan efektif sehingga menghasilkan outcome
yang efisien (streamlined),
berdampak terukur (meaningful),
fleksibel terhadap perkembangan lingkungan (adaptable), relevan terhadap permasalahan yang berkembang (relevant), serta jelas dan dapat
diakses dengan mudah (transparent).
Reformasi kelembagaan dikatakan berhasil hanya bila penguatan dan peningkatan
kapasitas kelembagaan mampu menciptakan dampak positif tersebut yang bermuara
pada makin meningkatnya daya saing perekonomian secara berkelanjutan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar