Pembangunan
Berbasis Nilai
Paulus
Wirutomo ; Sosiolog UI
|
KOMPAS,
24 Mei 2014
DALAM
tulisan berjudul ”Revolusi Mental” di harian ini (10/5/2014), Joko Widodo
alias Jokowi menyatakan bangsa ini menghadapi suatu paradoks. Di satu sisi,
angka pertumbuhan ekonomi kita cukup membanggakan, yaitu tercatat sebagai
nomor dua tertinggi di dunia; dalam aspek politik kita telah menciptakan sistem demokrasi
yang memberikan rakyat peluang memilih
pemimpin daerah sampai presiden secara langsung; kita juga punya Mahkamah
Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan lain sebagainya. Akan tetapi,
mengapa rakyat Indonesia semakin galau, bahkan semakin marah dan meradang?
Ini
adalah pengamatan kritis yang amat bagus dari seorang calon pemimpin bangsa
karena ia mempersoalkan hakikat dari suatu pembangunan. Paradoks ini
menunjukkan pembangunan tak cukup hanya menghasilkan indikator ekonomi makro
yang ”indah”. Rakyat secara nyata butuh peningkatan kualitas kehidupan
sosial-budaya yang lebih menyeluruh, sistemik, dan bersifat inklusif
(menyejahterakan semua warga negara, adil, dan merata).
Jokowi
mengamati bahwa pembangunan di era Reformasi masih menitikberatkan pada
pembangunan institusi, tetapi masih belum cukup mengubah mental masyarakat.
Saya menyebutnya sebagai ”institusionalisasi tanpa internalisasi”.
Misalnya,
kita punya sistem pemilu yang canggih, tetapi belum berhasil menanamkan nilai
demokrasi yang sebenarnya pada masyarakat. Kita menghilangkan sistem
pemerintahan yang militeristik, tetapi ternyata tetap memelihara budaya
kekerasan, bahkan sampai di kalangan siswa sekolah dan organisasi umat
beragama. Kita membangun KPK, tetapi
sikap koruptif tetap merajalela dan seterusnya.
Maka,
Jokowi menawarkan suatu revolusi mental. Saya kira yang dimaksud di sini
tentu bukan mental dalam arti ”kondisi kejiwaan” atau ”kemampuan otak”
perorangan (misalnya ada istilah ”sakit mental”), tetapi lebih sebagai
”karakter bangsa” yang mencakup sikap, kebiasaan, dan pola perilaku sosial.
Secara
sosiologis, gejala ini bukan lagi merupakan gejala individual, melainkan
gejala sosial-budaya yang melanda bangsa. Oleh karena itu, tidak cukup jika
individu dituntut untuk mulai memperbaiki dari diri sendiri. Usaha ini perlu
didukung oleh pembenahan sosial-budaya secara sistemik, holistik, dan
sosietal, bukan secara sektoral (misalnya hanya dengan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi semata).
Saya
menilai tawaran melakukan revolusi mental ini menunjukkan suatu tekad politik
yang mendasar dan bersifat
paradigmatik, yaitu ingin membongkar paradigma pembangunan yang lama. Bangsa
ini tidak hanya butuh angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi untuk menghadapi
globalisasi, tetapi lebih dari itu adalah peningkatan kualitas ”kehidupan
sosial-budaya” yang secara sosiologis
harus mencakup aspek struktural, kultural, dan prosesual.
Bongkar paradigma lama
Pembangunan
struktural artinya harus secara efektif mampu mengurangi kesenjangan sosial
dan menciptakan pemerataan dan keadilan untuk seluruh strata. Pembangunan
kultural artinya harus mampu meningkatkan kualitas budaya (peradaban) bangsa,
misalnya mengembangkan nilai rukun, peduli, mandiri, dan kreatif.
Pengembangan aspek prosesual adalah memberikan ruang dan peluang bagi masyarakat
untuk berpartisipasi, menyampaikan aspirasi, kreasi, dan opini secara
demokratis sehingga bisa terjadi negosiasi yang kreatif oleh semua komponen
anak bangsa terhadap semua kebijakan pembangunan yang diambil.
Jadi, suatu pembangunan tak cukup diukur dengan
angka seperti pertumbuhan ekonomi, pertambahan jumlah mal, dan pabrik. Namun,
harus dilihat apakah pembangunan itu
bisa meningkatkan kualitas kehidupan sosial-budaya secara struktural, kultural, dan prosesual?
Pada
masa kini angka pertumbuhan ekonomi nasional kita tinggi, tetapi pada saat
yang sama ketimpangan sosial sudah mencapai titik mengkhawatirkan. Rasio gini
menunjukkan angka 0,42 dan naik terus selama 10 tahun terakhir. Inilah hasil
pembangunan yang berorientasi pertumbuhan. Jadi, tak usah heran jika rakyat galau dan marah.
Pembangunan
ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan mudah menyeret kita ke dalam arus
liberalisme yang dibawa oleh globalisasi. Maka, pembangunan sosial-budaya bangsa yang
dimotori oleh revolusi mental harus berorientasi pada suatu sistem nilai yang
dicita-citakan bersama oleh bangsa Indonesia selama ini, yaitu Pancasila.
Dengan
kata lain pembangunan kita harus berbasis pada nilai. Sistem nilai itu harus
disepakati secara nasional, dicanangkan, disosialisasikan, serta
diinternalisasikan secara konsisten dan konsekuen. Mirip dengan apa yang
dilakukan oleh bangsa Korea pada awal kemerdekaannya sehingga kini bisa jadi
bangsa unggul.
Kita
tidak perlu menargetkan terlalu banyak nilai. Cukup, misalnya, inti dari Pancasila, yaitu gotong royong. Nilai itu
harus dioperasionalkan dalam indikator yang jelas dan terukur sehingga setiap tahun bisa dipantau
perkembangannya pada setiap sektor pembangunan. Katakanlah gotong royong di bidang
ekonomi, politik, pertanian, kehidupan beragama, hubungan antarsuku, dan
sebagainya.
Pemerintah
di bawah kepemimpinan presiden yang baru harus mempertanggungjawabkan hasil
penilaian itu secara terbuka dan memperbaiki pelaksanaannya di tahun
berikutnya. Saya yakin dengan disiplin yang tinggi dan kepemimpinan yang
berkomitmen, dalam waktu lima tahun bangsa kita akan mengalami perkembangan
peradaban yang pesat. Itulah wujud
revolusi mental.
Kita
semua tahu, sistem politik kita saat ini sedang tersandera oleh oligarki
partai-partai yang membuat sistem presidensial menjadi seperti parlementer.
Dalam kondisi seperti ini, seluruh kekuatan civil society di Indonesia harus mau dan mampu bergerak menjadi
pressure group yang dapat menengahi konflik antara presiden dan parlemen,
bukan semata-mata diserahkan pada mekanisme koalisi partai.
Kita
merindukan presiden yang setia berdiri di belakang kepentingan rakyat dan setia pada sistem nilai yang sedang diusung rakyat
serta tidak perlu takut diboikot bahkan dijatuhkan oleh parlemen. Dia harus
menjadi pahlawan rakyat, pemimpin revolusi mental bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar