Infrastruktur
: Menggeliat Saja Tidak Cukup
A
Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat
Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
|
KOMPAS,
19 Mei 2014
|
BURUKNYA
infrastruktur sudah lama dirasakan menjadi salah satu titik terlemah dalam
daya saing perekonomian Indonesia, selain produktivitas tenaga kerja, level
pendidikan, birokrasi, dan korupsi yang akut. Meski demikian, kendati pelan,
sebenarnya pembangunan infrastruktur mulai menggeliat. Namun, ke depan, yang
diperlukan adalah mengakselerasikannya. Menggeliat saja tidak cukup.
Mulai
Juni 2014, rel kereta api ganda Jakarta-Surabaya berjarak 727 kilometer
dioperasikan, yang bisa memangkas waktu tempuh perjalanan penumpang jalur itu
sekitar 3 jam, dari 11 jam menjadi 8 jam. Demikian pula untuk angkutan kargo.
Dengan
waktu tempuh yang lebih pendek, apa yang akan dilakukan PT Kereta Api
Indonesia (KAI)? Opsi pertama, karena pelayanan yang lebih baik, tentunya
timbul ide untuk menaikkan harga. Adalah wajar dengan waktu tempuh yang lebih
cepat, konsumen membayar lebih banyak.
Namun,
bisa juga menggunakan cara pandang sebaliknya. Dengan adanya rel ganda, PT
KAI bisa memperbanyak frekuensi pelayanan. Bahkan, PT KAI bisa menarik para
pelanggan (baik penumpang maupun barang) yang semula menggunakan moda
transportasi jalan raya. Dengan frekuensi yang lebih besar, PT KAI berpeluang
untuk menambah volume kegiatan atau transaksinya. Dengan mengandalkan
peningkatan frekuensi, bisa saja tarif justru diturunkan. Ini akan memicu
penambahan permintaan, yang kemudian akan berujung pada kenaikan laba.
Opsi
mana yang dipilih? Saya harap opsi kedua. Kalau ini yang dipilih, akan
menimbulkan ”lingkaran surga” (virtuous circle), penurunan tarif akan
menyebabkan penurunan biaya logistik. Pada putaran berikutnya, hal ini akan
menurunkan inflasi.
Banyak
analisis menunjukkan bahwa biaya logistik karena kemacetan di jalur jalan
pantai utara (pantura) Jawa merupakan salah satu sumber inflasi yang
signifikan. Distribusi barang tersendat karena kepadatan, kerusakan jalan,
dan banjir, merupakan faktor-faktor penyebab inflasi. Di Indonesia, inflasi
bukanlah semata-mata fenomena moneter berupa kenaikan jumlah uang beredar.
Inflasi juga karena buruknya saluran distribusi barang dan tersendatnya
mobilitas manusia (penumpang).
Meski
demikian, penurunan inflasi tidak lantas terjadi. Untuk ke sana, banyak
inisiatif yang harus dilakukan. Misalnya, para pengusaha mempertanyakan
perlunya kendaraan pengumpan (feeder)
dari titik konsumen ke stasiun kereta api. Kejadian ini mirip upaya
pemerintah Jakarta menyediakan transjakarta. Moda angkutan kota transjakarta
diyakini bisa menekan tingkat kemacetan, dengan beralihnya para pengguna
kendaraan pribadi menjadi menumpang kendaraan umum. Namun, hal itu tidak
serta-merta terjadi jika tidak disiapkan bus pengumpan.
Karena
itu, PT KAI juga harus melengkapi keberhasilan pembangunan jalur rel ganda
dengan menyediakan angkutan pengumpan tersebut. Saya yakin hal ini bisa cepat
dilakukan karena relatif tidak sulit diadakan.
Selanjutnya,
pemerintah juga akan membangun rel ganda jalur selatan, yang melintasi
Cirebon-Kutoarjo dan Solo-Madiun-Surabaya. Juga akan mengurangi kepadatan
jalur jalan raya. Hitungannya juga sama dengan kasus rel ganda di jalur
utara, biaya logistik bisa ditekan 7 hingga 20 persen.
Jika
diasumsikan biaya transportasi menyumbang 5 hingga 10 persen dalam proses
produksi, potensi penurunan inflasi bisa 0,35 persen hingga 1 persen.
Sepertinya angka ini kecil, tetapi tetap mengandung arti strategis dalam
upaya menekan inflasi yang masih tinggi, 7,25 persen. Inflasi ideal untuk
Indonesia adalah di bawah 5 persen.
Tidak
saja pembangunan rel ganda, inisiatif pembangunan infrastruktur yang lain
akhir-akhir ini juga terus dilakukan, misalnya mass rapid transit (MRT) dan
monorel di Jakarta, perluasan Pelabuhan Tanjung Priok, bandara baru yang
terus bermunculan, sampai rencana pembangunan jembatan Selat Sunda yang
gairahnya meredup seiring dengan segera berakhirnya pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono.
Antusiasme
pembangunan infrastruktur yang menonjol adalah bandara. Ini bisa dimaklumi
karena sektor transportasi—bersama telekomunikasi—merupakan sektor yang
pertumbuhannya paling cepat dibandingkan sektor lain. Yang menonjol karena
kemegahannya adalah Bandara Kualanamu (Sumatera Utara), Ngurah Rai (Bali),
dan Hasanuddin (Makassar).
Namun,
di sisi lain, cukup ironis juga melihat kenyataan bahwa bandara-bandara di
Pulau Jawa justru terlambat melakukan pembangunan. Hanya Jakarta dan Surabaya
yang kini sibuk berbenah. Itu pun dengan catatan, keduanya amat terlambat
meningkatkan kapasitasnya. Fenomena low cost carrier sejak 1990-an tidak
terantisipasi.
Bandar
udara di Jawa yang ketinggalan zaman adalah Yogyakarta, Semarang, dan
Bandung. Kasus bandara Yogyakarta termasuk ironis. Sebagai destinasi wisata
kedua sesudah Bali, Yogyakarta termasuk amat terlambat melakukan relokasi
bandara. Bandara Adisutjipto sudah tidak layak melayani ledakan penumpang
yang kini mencapai 5 juta orang.
Namun,
setiap kali bandara tersebut akan direlokasi, ada saja sejumlah alasan dan
kendala. Misalnya, calon lokasi bandara baru di Kecamatan Temon, Kabupaten
Kulon Progo, dianggap terlalu jauh, sekitar 40 kilometer dari Yogyakarta.
Selain itu, ternyata lokasinya bersinggungan dengan penambangan pasir besi,
yang cerobong pabriknya bisa mengganggu penerbangan.
Bandara
baru Yogyakarta harus dibangun di hamparan tanah seluas 600 hektar agar mampu
mengantisipasi lonjakan penumpang ke depan. Sebagai perbandingan, luas Bandara
Soekarno-Hatta 1.700 hektar, Bandara Kualanamu 1.500 hektar.
Dalam
hal infrastruktur, masih banyak pekerjaan rumah yang harus cepat dilakukan
pemerintah baru. Pemerintah sebelumnya sudah melakukan beberapa inisiatif,
tetapi akselerasinya belum cukup. Pemerintah baru dituntut untuk lebih
cekatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar