Keluar
dari Ketergantungan Impor Pangan
Agus
Kuncaka ; Pegiat Kedaulatan Pangan Nasional;
Dosen Jurusan Kimia, FMIPA UGM Yogyakarta
|
KOMPAS,
06 Mei 2014
|
BERTURUT-turut Kompas memuat
tulisan Dwi Andreas Santosa (26/3/14) dan Siswono Yudo Husodo (28/3/14).
Keduanya mengingatkan pentingnya memperbarui kebijakan ketahanan pangan
sekarang agar Indonesia tidak semakin dalam terjebak pada ketergantungan
impor dan memicu bencana pangan nasional.
Syarat wajib untuk keluar dari
ketergantungan impor adalah mengubah sebagian besar tanah pertanian ataupun
perkebunan yang sekarang berada pada kondisi levelling-of (akibat eksploitasi
intensif serta penggunaan pupuk kimia berlebihan) menjadi tanah ideal
berbahan organik tanah yang ideal untuk pertanian dan perkebunan lestari.
Selain itu mengubah tanah marjinal menjadi tanah ideal untuk perluasan tanah
pertanian dan perkebunan.
Tanah ideal adalah tanah yang
mempunyai kadar bahan organik tanah (BOT) minimal 5 persen, kadar C organik
minimal 2,5 persen, dan kadar humin (penyusun humus terbesar) dalam BOT
sebesar 50 persen.
Kondisi tanah levelling-of kita sekarang hanya
mempunyai kadar C organik jauh di bawah 2,5 persen, humin (komponen humus
yang tidak larut dalam air) rusak akibat pemakaian urea berlebihan.
Tanah dalam kondisi levelling-of
ini tidak akan mampu menaikkan produksi panen walaupun diberi pupuk, karena
efisiensi pemupukan kimia hanya 25 persen.
Contoh empirisnya, selama 2001
sampai 2011, produksi panen padi nasional rata-rata hanya berkisar 4,4-5,0
ton per hektar (ha).
Menurut Doberman, dengan
produktivitas rata-rata per ha tersebut efisiensi padi menyerap nitrogen dari
pemupukan ataupun yang lainnya hanya 30 persen. Angka ini sangat jauh bila
dibandingkan dengan yield maksimal varietas padi modern, di atas 100 kuintal
per ha gabah kering panen.
Tanah pada kondisi levelling-of memang tidak mungkin
mengantarkan kedaulatan pangan Indonesia.
Petani gurem Indonesia yang
tersubsidi di bawah 10 persen dengan akses tanah garapan hanya 0,36 ha tidak
mungkin menang bersaing dengan petani luar negeri yang diberi subsidi tinggi
dan diberi akses tanah garapan jauh lebih luas, masih ditambah politik
dumping.
Humus
Hal terpenting lain dari
pandangan modern terhadap humus adalah pemberian urea menghasilkan efek mirip
dengan pemberian NaOH yang berefek merusak humus.
Contoh klasik humus sintetis
yang dibuat manusia adalah terra pretta de indio atau tanah hitam dari suku
Indian di Amazon yang mengandung biochar tinggi, sangat stabil walau umurnya
sudah ribuan tahun. Oleh karena itu tanah ini sekarang menjadi kiblat ahli
tanah dunia.
Terra
pretta de indio mengandung biochar dan mengandung unsur hara
lengkap, berkomponen humus mirip dengan usulan Hayes dan kawan-kawan. Humus
sintetis sangat sulit dibuat dengan cara pengomposan, harus secara kimia.
Namun, tampaknya, humus sintetis adalah satu-satunya pilihan untuk menjadikan
tanah pertanian dan perkebunan indonesia ideal.
Humus sintetis hampir cocok
dengan persyaratan teknis pupuk organik yang diatur melalui Peraturan Menteri
Pertanian RI Nomor 02/Pert/HK.060/2/2006.
Hanya saja peraturan tersebut
belum mengatur material humus yang mengandung C-organik stabil. Bukti empiris
sampai saat ini, peraturan ini belum mampu menanggulangi proses mineralisasi
yang lebih cepat daripada proses humifikasi, sehingga peraturan tersebut
sebaiknya disempurnakan.
Sejatinya, telah banyak usaha
dari para ilmuwan dunia untuk membuat humus sintetis, dengan berbagai cara
pengomposan. Namun, sekali lagi, belum banyak yang berhasil, sehingga
diperlukan terobosan.
Salah satu contoh terobosan
adalah konsep pembuatan pupuk slow release organic paramagnetic(SROP) yang
dikembangkan Jurusan Kimia FMIPA UGM, didasarkan pada konsep terra pretta de
Indiodan konsep Hayes dan kawan-kawan.
Konsep ini, secara ekonomi,
ditujukan untuk mengatasi politik dumping dari negara maju terhadap komoditas
pertanian, seperti beras, kentang, dan tebu. Secara lingkungan ditujukan
untuk penghentian siklus karbon serta nitrogen. Adapun secara molekuler
sebagai pembenah tanah dan mampu mengendalikan makro dan mikronutrien organik
yang diikatkan pada humus sintetis, serta sebagai pengendali transfer
elektron dalam tanah.
Aplikasi pupuk SROP (dengan
dosis pupuk kimia seperti anjuran) pada tanaman padi di tanahinceptisol di
daerah bencana Merapi, Yogyakarta, dan kentang di daerah Batur, Dieng,
Banjarnegara, Jawa Tengah, menghasilkan panen hampir dua kali lipat dibanding
rata-rata panen padi dan kentang nasional. Dampaknya, break even point (BEP)
per kilogram padi dan kentang lokal jauh di bawah harga beras dan kentang
impor.
Sebagai penutup, bahan baku
humus sintetis tersedia secara melimpah, seperti limbah padi 80 juta ton per
tahun, limbah kelapa sawit 120 juta ton per tahun, dan masih banyak limbah
lainnya. Ini merupakan subsidi secara alamiah yang harus dikelola.
Jumlah lahan padi yang harus
diberi humus sintetis adalah sekitar 13 juta ha, memerlukan 26 ton humus
sintetis. Adapun lahan kelapa sawit sekitar 9,25 juta ha memerlukan sekitar
19 juta ton humus sintetis. Dengan demikian, secara kasar, dari hanya dua
komoditas itu diperlukan 45 juta ton humus sintetis dengan nilai Rp 45
triliun, suatu jumlah besar untuk menambah pendapatan petani. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar