Kamis, 08 Mei 2014

Keluar dari Ketergantungan Impor Pangan

Keluar dari Ketergantungan Impor Pangan

Agus Kuncaka  ;   Pegiat Kedaulatan Pangan Nasional;
Dosen Jurusan Kimia, FMIPA UGM Yogyakarta
KOMPAS,  06 Mei 2014

                                                                                         
                                                      
BERTURUT-turut Kompas memuat tulisan Dwi Andreas Santosa (26/3/14) dan Siswono Yudo Husodo (28/3/14). Keduanya mengingatkan pentingnya memperbarui kebijakan ketahanan pangan sekarang agar Indonesia tidak semakin dalam terjebak pada ketergantungan impor dan memicu bencana pangan nasional.
Syarat wajib untuk keluar dari ketergantungan impor adalah mengubah sebagian besar tanah pertanian ataupun perkebunan yang sekarang berada pada kondisi levelling-of (akibat eksploitasi intensif serta penggunaan pupuk kimia berlebihan) menjadi tanah ideal berbahan organik tanah yang ideal untuk pertanian dan perkebunan lestari. Selain itu mengubah tanah marjinal menjadi tanah ideal untuk perluasan tanah pertanian dan perkebunan.
Tanah ideal adalah tanah yang mempunyai kadar bahan organik tanah (BOT) minimal 5 persen, kadar C organik minimal 2,5 persen, dan kadar humin (penyusun humus terbesar) dalam BOT sebesar 50 persen.
Kondisi tanah levelling-of kita sekarang hanya mempunyai kadar C organik jauh di bawah 2,5 persen, humin (komponen humus yang tidak larut dalam air) rusak akibat pemakaian urea berlebihan.
Tanah dalam kondisi levelling-of ini tidak akan mampu menaikkan produksi panen walaupun diberi pupuk, karena efisiensi pemupukan kimia hanya 25 persen.
Contoh empirisnya, selama 2001 sampai 2011, produksi panen padi nasional rata-rata hanya berkisar 4,4-5,0 ton per hektar (ha).
Menurut Doberman, dengan produktivitas rata-rata per ha tersebut efisiensi padi menyerap nitrogen dari pemupukan ataupun yang lainnya hanya 30 persen. Angka ini sangat jauh bila dibandingkan dengan yield maksimal varietas padi modern, di atas 100 kuintal per ha gabah kering panen.
Tanah pada kondisi levelling-of memang tidak mungkin mengantarkan kedaulatan pangan Indonesia.
Petani gurem Indonesia yang tersubsidi di bawah 10 persen dengan akses tanah garapan hanya 0,36 ha tidak mungkin menang bersaing dengan petani luar negeri yang diberi subsidi tinggi dan diberi akses tanah garapan jauh lebih luas, masih ditambah politik dumping.
Humus
Hal terpenting lain dari pandangan modern terhadap humus adalah pemberian urea menghasilkan efek mirip dengan pemberian NaOH yang berefek merusak humus.
Contoh klasik humus sintetis yang dibuat manusia adalah terra pretta de indio atau tanah hitam dari suku Indian di Amazon yang mengandung biochar tinggi, sangat stabil walau umurnya sudah ribuan tahun. Oleh karena itu tanah ini sekarang menjadi kiblat ahli tanah dunia.
Terra pretta de indio mengandung biochar dan mengandung unsur hara lengkap, berkomponen humus mirip dengan usulan Hayes dan kawan-kawan. Humus sintetis sangat sulit dibuat dengan cara pengomposan, harus secara kimia. Namun, tampaknya, humus sintetis adalah satu-satunya pilihan untuk menjadikan tanah pertanian dan perkebunan indonesia ideal.
Humus sintetis hampir cocok dengan persyaratan teknis pupuk organik yang diatur melalui Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 02/Pert/HK.060/2/2006.
Hanya saja peraturan tersebut belum mengatur material humus yang mengandung C-organik stabil. Bukti empiris sampai saat ini, peraturan ini belum mampu menanggulangi proses mineralisasi yang lebih cepat daripada proses humifikasi, sehingga peraturan tersebut sebaiknya disempurnakan.
Sejatinya, telah banyak usaha dari para ilmuwan dunia untuk membuat humus sintetis, dengan berbagai cara pengomposan. Namun, sekali lagi, belum banyak yang berhasil, sehingga diperlukan terobosan.
Salah satu contoh terobosan adalah konsep pembuatan pupuk slow release organic paramagnetic(SROP) yang dikembangkan Jurusan Kimia FMIPA UGM, didasarkan pada konsep terra pretta de Indiodan konsep Hayes dan kawan-kawan.
Konsep ini, secara ekonomi, ditujukan untuk mengatasi politik dumping dari negara maju terhadap komoditas pertanian, seperti beras, kentang, dan tebu. Secara lingkungan ditujukan untuk penghentian siklus karbon serta nitrogen. Adapun secara molekuler sebagai pembenah tanah dan mampu mengendalikan makro dan mikronutrien organik yang diikatkan pada humus sintetis, serta sebagai pengendali transfer elektron dalam tanah.
Aplikasi pupuk SROP (dengan dosis pupuk kimia seperti anjuran) pada tanaman padi di tanahinceptisol di daerah bencana Merapi, Yogyakarta, dan kentang di daerah Batur, Dieng, Banjarnegara, Jawa Tengah, menghasilkan panen hampir dua kali lipat dibanding rata-rata panen padi dan kentang nasional. Dampaknya, break even point (BEP) per kilogram padi dan kentang lokal jauh di bawah harga beras dan kentang impor.
Sebagai penutup, bahan baku humus sintetis tersedia secara melimpah, seperti limbah padi 80 juta ton per tahun, limbah kelapa sawit 120 juta ton per tahun, dan masih banyak limbah lainnya. Ini merupakan subsidi secara alamiah yang harus dikelola.
Jumlah lahan padi yang harus diberi humus sintetis adalah sekitar 13 juta ha, memerlukan 26 ton humus sintetis. Adapun lahan kelapa sawit sekitar 9,25 juta ha memerlukan sekitar 19 juta ton humus sintetis. Dengan demikian, secara kasar, dari hanya dua komoditas itu diperlukan 45 juta ton humus sintetis dengan nilai Rp 45 triliun, suatu jumlah besar untuk menambah pendapatan petani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar