Paralisis
Bagja
Hidayat ; Wartawan Tempo
|
TEMPO.CO,
08 Mei 2014
|
Manakah
yang lebih mengerikan: sebuah novel horor atau tayangan berita kriminal di
televisi? Barangkali kita sulit membedakan mana yang lebih mengejutkan di
tengah zaman ketika cerita yang seharusnya hanya ada dalam prosa meruyak
dalam kehidupan nyata, mengisi halaman-halaman berita.
Seorang
guru di Wates, Jawa Tengah, menusuk guru lain yang sedang mengajar di depan
kelas, di depan puluhan murid-muridnya. Pembunuhan itu berlangsung cukup lama
karena korbannya melawan dan terjadi perkelahian, darah membanjir, guru itu
meregang nyawa dengan 25 tusukan, disaksikan murid-muridnya sendiri! Sukar
dibayangkan, berapa lama adegan horor ini akan melekat dalam ingatan dan
menghantui siswa-siswa itu.
Dunia
adalah mahaprosa yang tak tepermanai. Dunia dan manusia telah melampaui
imajinasi para penulis prosa, dengan lebih banal. Dunia seperti sedang
membangkitkan kembali Nikolai Chernyshevsky yang meyakini realitas jauh lebih
mengejutkan, jauh lebih mengagumkan, ketimbang karya seni. Gagasan abad ke-19
itu kini menemukan muaranya lewat televisi, Internet, dan telepon pintar.
Betapa
kini realitas telah merebut apa yang dulu diimajinasikan orang-karena dulu
kabar-kabar kriminal tak menyebar melalui media massa. Sebuah peristiwa
pembunuhan kini lebih mencengangkan dibanding sebuah cerita pendek di halaman
koran pada hari Minggu. Di halaman prosa, kita tak mendapat kejutan pada pagi
hari seraya menyesap kopi di beranda. Cerita-cerita berhamburan tak membekas
dan nama-nama berseliweran tanpa berhenti menjadi "tokoh".
Para "tokoh"
telah diambil alih oleh pelaku nyata di luar beranda rumah kita, di luar
halaman-halaman fiksi. Di Wates, guru itu membunuh karena tersinggung dimaki
temannya yang ia bunuh itu, dan ia melakukannya di sekolah-tempat anak-anak
membekali diri dengan imajinasi dan kearifan, tempat mereka berlindung pada
sosok yang layak digugu dan ditiru. Di Jakarta, ada sekolah yang menjadi
sarang predator seks yang bertahun-tahun pelakunya tak tersentuh oleh hukum.
Di Sukabumi, seorang remaja menyodomi anak empat tahun hingga tewas, dan
korbannya mencapai lebih dari 100 orang.
Daftar
itu bisa diperpanjang hingga kita akrab lalu melupakan kengerian-kengerian
itu, karena sebuah kebrutalan akan tertindih oleh kebrutalan lain. Paralisis
itu akan menumbuhkan frustrasi karena kita seolah tak punya andalan terakhir
menghentikan kesakitan massal itu. Kita dipaksa siap menerima kesakitan dan
kengerian yang sedang terjadi di tempat lain dan di waktu yang lain.
Peristiwa-peristiwa
itu hanya menunggu giliran diberitakan karena Internet dan telepon pintar
memungkinkan sebuah peristiwa tersiar tanpa melalui pena wartawan. Pada
akhirnya, dan mungkin ini yang sedang terjadi, kita akan menjadi bebal
bersama.
Toh,
berita-berita kekerasan itu kita lihat dan baca sambil bergelantungan di
kereta malam, minum cappucino yang hangat di kafe yang gemerlap, lalu membagi
dan memberi komentar kengerian itu melalui media sosial, kemudian beralih
membaca atau menonton berita lain tentang kuliner yang lezat atau
menganalisis langkah elite-elite partai memperdagangkan perolehan suara dalam
pemilihan umum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar